Sering terbersit di benak kita suatu pertanyaan yang dialami semua orang. Terkadang kita rajin beramal, dan suatu saat menurun. Terkadang semangat ingin mendekatkan diri pada Allah, lalu down kembali. Iman ini selalu naik turun dan tidak stabil. Saat mendengar ceramah dari guru, seakan ingin membuang kecintaan kepada dunia dan fokus menuju Allah. Namun setelah keluar dari pengajian, semangat itu pudar.
Bagi anda yang mengalami masalah ini, jangan pernah putus asa. Karena masalah ini dialami oleh semua orang. Pernah seorang sahabat datang kepada Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, saat kami sedang duduk bersamamu, kami seakan tidak ingin lagi berhubungan dengan apapun kecuali mendekatkan diri kepada Allah. Namun ketika pulang, kami meluakan hal itu.”
Rasulullah menjawab, “Jika kalian tetap seperti saat duduk denganku dan mendengar ucapanku, pasti kalian akan mampu berjabat tangan dengan malaikat.”
Kisah ini membuat hati kita tenang, karena bukan hanya kita yang mempunyai masalah tentang naik turunnya semangat dalam beribadah. Orang-orang yang duduk bersama nabi pun mengalami hal itu. Lalu bagaimana cara agar kita bisa selalu semangat mendekatkan diri kepada Allah? Bagaimana cara untuk menstabilkan iman agar tak pernah lalai dari perintah dan larangan-Nya?
Sebelum kita bertanya tentang hal ini, kita harus tau terlebih dahulu tentang apa yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu? Apa yang membuatnya semangat dan rajin untuk beramal?
Manusia melakukan sesuatu karena dua hal. Apakah dia ingin mendapat keuntungan atau ingin terhindar dari bencana. Tak lebih dari itu. Jika kita tau ada keuntungan yang besar, pasti kita akan rajin untuk berusaha meraihnya. Jika kita tau cara untuk menolak bencana, pasti kita akan berupaya keras untuk melakukannya.
Karena itu, kita harus mencari tau apa keuntungan terbesar dan apa bencana terbesar bagi kita. Jangan sampai kita menghabiskan waktu hanya untuk keuntungan yang kecil dan melupakan keuntungan yang besar. Jangan sampai umur kita habis sementara kita belum terbebas dari bencana terbesar.
Puncak keberuntungan seorang manusia adalah ketika dia memasuki surga. Karena dia akan hidup kekal abadi didalamnya. Dan dibalik surga itu ada kerelaan Allah swt yang lebih besar dari semua keuntungan apapun. Sementara bencana terbesar adalah saat manusia harus hidup selamanya dalam siksaan neraka. Adakah yang lebih besar dari ini? Imam Ali pernah berpesan,
“Setiap kenikmatan tanpa surga adalah hina, dan setiap bencana tanpa neraka adalah keselamatan”
Segala keberuntungan yang tidak menyampaikan kita pada surga, sebenarnya itu adalah hal yang semu dan hina. Dan seluruh bencana yang tidak mengantarkan kita pada api neraka bukanlah bencana. Semua itu tidak bisa dibandingkan dengan bencana api neraka.
Sekedar pengetahuan tidaklah cukup untuk membuat kita rajin beramal. Sekedar rasa percaya pun tidaklah cukup untuk menjadikan diri selalu semangat mendekat pada tuhan. Ada faktor lain yang menjadi bahan bakar kita dalam melakukan sesuatu. Apakah faktor itu?
Jika ada seorang yang terpercaya menjanjikan uang 50 juta jika kita datang ker rumahnya hari ini, pasti kita tidak akan tidur karena takut akan terlambat. Hal itu karena kita yakin kepada seorang yang berbicara. Kadar amal kita sebanding dengan kadar keyakinan kita. Semakin kita yakin maka kita akan semakin rajin untuk beramal.
Ya, faktor yang membuat kita mau melakukan sesuatu adalah keyakinan. Pengetahuan kadang tak cukup untuk membuat kita melakukan sesuatu. Coba perhatikan, Allah swt tidak mengutus para nabi kecuali dengan Mukjizat. Allah memberikan mukjizat itu agar manusia yakin kepada apa yang dibawa oleh para nabi. Karena tanpa keyakinan, mustahil mereka akan mengikuti para nabi.
وَجِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَطِيعُونِ -٥٠-
“Dan aku datang kepadamu membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhan-mu. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.”
(Ali Imran 50)
Para nabi menampilkan mukjizat terlebih dahulu, barulah mereka menyeru kepada kebenaran.
Bayangkan jika ada seorang yang dikenal sering bergurau, dia berkata bahwa dibelakang ada api. Mungkin kita akan tertawa dan tidak mempercayainya. Kata-katanya tidak membuat orang lain bergerak untuk lari. Tapi ketika yang berbicara adalah orang yang berwibawa dan tidak pernah berbohong, spontan kita akan lari terbirit-birit walau kita tidak melihat api itu.
Begitulah kerja keyakinan. Seberapa yakin kita pada sang pembawa berita, sebesar itulah kadar amal kita. Seberapa yakin kita terhadap Rasulullah saw, sebesar itupula kadar amalan yang kita lakukan.
Karenanya, Allah swt berfirman,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ -٢-
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
(Al-Baqarah 2)
Allah mengawali al-Qur’an dengan menafikan segala bentuk keraguan didalamnya. Tidak ada lagi yang bisa diragukan dari Al-Qur’an. Mengapa Allah mengawalinya dengan sifat ini? Karena seseorang tidak akan mengamalkan ajaran Al-Qur’an jika dia belum yakin pada kebenaran Kitab ini.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ -٥٠-
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
(Al-Ma’idah 50)
Semuanya kembali pada keyakinan. Surga dan neraka tidaklah menarik bagi mereka yang tidak yakin kepada Rasulullah saw.
Keyakinan adalah pengetahuan yang tidak bisa digoyahkan. Kepercayaan yang tidak lagi mampu dilunturkan. Lihatlah bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang orang yang ragu terhadap keputusan Rasulullah saw.
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ -٤٥-
“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu (Muhammad), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.”
(At-Taubah 45)
Coba perhatikan, Allah swt menggandengkan sifat ragu itu dengan tidak beriman. Karena tidak ada keyakinan terhadap Rasulullah dalam hati mereka. Keraguan selalu menyelimut hati mereka.
Jika tidak percaya kepada Rasulullah saw, lalu akan mempercayai siapa? Jika tidak pada Sang Pencipta, siapa lagi yang akan dipercaya?
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّهِ حَدِيثاً -٨٧-
“Siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?”
(An-Nisa’ 87)
Seorang yang selalu ragu tidak akan pernah memiliki sikap yang pasti dalam hidupnya. Selalu maju mundur. Berada dalam kebingungan yang tak menentu. Dan orang seperti ini tidak akan memiliki ketenangan dalam hidupnya.
Coba lihat bagaimana keyakinan seorang Ali bin Abi tholib, ketika berbicara tentang keyakinan, beliau hanya berkomentar,
“Andai seluruh hijab ini disingkap dariku, maka tak bertambah sedikitpun keyakinanku”
Komentar ini menunjukkan puncak keyakinan Imam Ali bin Abi tholib. Apapun hijab langit dan bumi jika disingkap hakekat aslinya, tidak akan menambah keyakinan beliau karena keyakinan itu telah berada dipuncaknya. Karena beliau telah mengetahui hakekat alam semesta.
“Demi Allah, Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah sebelum dan setelahnya”
Yakin = Mati
Terkadang, kata Yakin dalam Al-Qur’an memiliki arti kematian. Karena tidak ada yang lebih pasti dari kematian. Dan ketika detik-detik menuju kematian, semua akan dibuka dihadapan matanya. Dia akan melihat kilas balik di masa hidupnya. Dan dia akan melihat hakekat yang tidak dilihat oleh orang disekitarnya.
Bukankah orang-orang durjana baru akan yakin ketika mereka menghadap Allah swt. Dan baru kemudian mereka meminta untuk diberi kesempatan kembali ke dunia untuk beramal baik.
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُؤُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحاً إِنَّا مُوقِنُونَ -١٢-
Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhan-nya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin.”
(As-Sajdah 12)
Artinya, keyakinanlah yang mendorong manusia untuk beramal. Jika kita bisa yakin saat masih di dunia, mengapa harus menunggu di alam akherat untuk yakin? Sementara saat itu tidak ada lagi kesempatan kita untuk beramal baik.
Apapun yang disampaikan Rasulullah saw tidak boleh ditawar lagi. Karena beliau telah melihat segalanya dengan Ainul Yaqin. Akan tetapi mereka mengabaikan perintahnya. Karena belum mengerti siapa Rasulullah saw. Siapa orang yang membawa kabar langit ini. Keyakinan kita pada seseorang menentukan keyakinan kita pada apa yang dibawanya. Sudah yakinkah kita pada Rasulullah saw?
Apa sebenarnya yakin itu?
Apakah keyakinan itu memiliki tingkatan?
Apa tanda-tanda orang yang telah yakin?
Apa efek positif jika seseorang telah yakin?
Temukan Jawabannya dalam Kenapa Iman Manusia Selalu Naik Turun? (Bag 2)
*Bisa juga dibaca di sini