Kenapa di dalam al-Qur’an terdapat kata yang bersifat umum? Begini Penjelasannya!

Kenapa di dalam al-Qur’an terdapat kata yang bersifat umum? Begini Penjelasannya!

Kenapa di dalam al-Qur’an terdapat kata yang bersifat umum? Begini Penjelasannya!

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mendengar perkataan yang bersifat umum. Bunga misalnya, mempunyai makna yang lebih luas daripada mawar. Mengapa demikian? Karena bunga bukan hanya mawar, sedangkan mawar hanya sebagian dari jenis bunga.

Jika kita melihat kajian ilmu al-Qur’an, kata yang bersifat umum biasanya disebut dengan istilah Isim nakirah. Syekh Muhammad bin ‘Abd Allah bin Malik al-Andalusy berpandangan bahwa isim nakirah adalah setiap isim yang menunjukkan arti umum pada jenisnya dan tidak dikhususkan pada suatu barang tertentu.

Pertanyaannya kemudian, kenapa di dalam al-Qur’an terdapat kata yang bersifat umum pada beberapa ayatnya? Berikut penjelasannya:

Pertama, untuk menunujukkan arti satu (iradah al-wahidah). Sebagaimana firman-Nya :

وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَىٰ قَالَ يَا مُوسَىٰ إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ

Artinya: “Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu”. (Q.S Al-Qashash: 20).

Lafadz rajulun pada ayat tersebut berarti ‘seorang laki-laki’ yaitu Habib al-Najjar yang bergegas datang kepada Nabi Musa untuk memberitahukan kepadanya agar keluar dari kota dikarenakan pembesar kota hendak membunuhnya. Jadi, maknanya hanya untuk satu lelaki, bukan dimaksudkan untuk semua kaum lelaki.

Kedua, untuk menunjukan ragam atau macam (iradah al-nau’). Sebagaimana firman-Nya:

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling serakah kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih serakah lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Q.S Al-Baqarah: 96)

Lafadz hayatun pada ayat tersebut berarti sesuatu ragam dari berbagai ragam kehidupan. Maksudnya adalah mencari tambahan untuk masa depan, karena suatu keinginan itu bukan hanya perihal masa lalu atau masa sekarang saja.

Ketiga, untuk mengagungkan atau memuliakan keadaan (li al-ta’dzim). Sebagaimana firman-Nya:

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Q.S Al-Baqarah: 279).

Lafadz harbun pada ayat tersebut berarti perang. Maksudnya adalah menggambarkan suatu tindakan dasyat yang membuat jiwa menjadi takut. Dengan dipakainya lafadz harbun dalam bentuk nakirah, maka semakin terasa bahwa perang mempunyai konotasi umum, artinya yang namanya perang dalam bentuk apapun senantiasa membuat orang takut menghadapinya.

Keempat, untuk menyatakan banyak (at-taktsir). Sebagaimana firman-Nya :

فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ

Artinya: “Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, merekapun bertanya kepada Fir’aun: “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?” (Q.S Asy-Syuara: 41).

Lafadz ajrun pada ayat tersebut menurut al-Zamarkhsyari berarti berlimpah ruah dan banyak sekali. Pemahaman demikian diambil dari kata yang nakirah. Seandainya dipakai kata yang ma’rifah maka pengertiannya menjadi sempit dan tidak umum.

Kelima, untuk merendahkan (al-tahqir). Sebagaimana firman-Nya:

مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ

Artinya : “Dari apakah Allah menciptakannya. Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya”. (Q.S Abasa: 18-19).

Pada lafadz tersebut menunjuk sesuatu yang hina, seperti kata شيء itu terlalu umum. Karena itu al-Zamakhsyari menafsirkannya dengan من شيءحقير (ia diciptakan dari sesuatu yang hina dina). Disebabkan ayat itu terlalu umum, maka ayat 19 berikutnya menjelaskan dengan من نطفةخلقه (dari setetes mani, Allah menciptakannya).

Keenam, untuk menyatakan sedikit (at-taqlil). Sebagaimana firman-Nya:

وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (Q.S At-Taubah: 72).

Maksudnya adalah kesenangan yang berasal dari limpahan kasih sayang Allah. Meskipun sedikit, namun jauh lebih besar artinya dibandingkan dengan surga. Karena bagaimanapun mewahnya surga, jika si pemilik surga itu tidak senang kepada kita, maka nikmat surga tersebut tak akan terasa sedikit pun. Justru sebaliknya, surga yang serba mewah itu akan terasa bagaikan neraka yang menyiksa lahir batin bagi setiap penghuninya. Jadi, keridhaan Allah yang sedikit itu, jauh lebih besar daripada surga-surga yang ada, karena ridha Allah merupakan pangkal segala kebahagiaan.

Ketujuh, Untuk menunjukan makna “tunggal” dan “macam” sekaligus. Sebagaimana firman-Nya:

وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَىٰ أَرْبَعٍ ۚ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya : “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S An-Nur: 45).

Maksudnya adalah setiap macam dari segala macam binatang melata itu berasal dari satu macam dari macam-macam air, dan setiap individu binatang itu berasal dari satu nuthfah.

Kedelapan, Untuk menunjuk pengertian yang umum jika nakirah tersebut mengandung unsur nafi (peniadaan) atau nahi (larangan). Sebagaimana firman-Nya :

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا ۖ وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ

Artinya: “(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah”. (Q.S Al-Infitar: 19).

Lafadz nafs pada ayat tersebut bersifat umum. Maksudnya, pada hari kiamat siapa saja mempunyai kedudukan sama dari segi ketidakmampuannya membantu orang lain. Demikian juga dengan kata sya’ian. Pada hari kiamat, hal apa saja tidak akan mampu diberikan kepada orang lain, baik bertujuan untuk menghindarkan dari bahaya maupun siksa yang akan menimpanya.