Akhir-akhir ini kita sering melihat orang-orang memakai baju agama, menggunakan simbol-simbol agama, mengatasnamakan agama, bahkan mengatasnamakan Tuhan sebagai alat legitimasi atas segala perbuatan yang diklaim sebagai sebuah kebenaran. Sampai di sini tentu masih wajar-wajar saja sebagai orang yang mengaku beragama, saya pun demikian.
Akan tetapi ketika agama dijadikan alat legitimasi atas perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum atau paling tidak mengusik situasi sosial. Contohnya saja adalah kasus hoax yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam yang sama sekali tidak mencerminkan akhlak Islam.
Terus terang batin saya merasa terusik dengan hal tersebut. meskipun yang melakukan adalah orang yang seagama dengan saya. Sebab, perilaku tersebut sangat mencoreng agama yang saya anut. Bagaimana tidak, dalam agama saya diajarkan tentang kejujuran. Tidak hasud, dan tidak boleh menfitnah. Dengan tujuan dakwah sekalipun, menggunakan berita bohong sama sekali tidak dibenarkan. Kegiatan dakwah sendiri pada intinya adalah mengajak. Namun jika cara mengajak saja seperti itu, bagaimana bisa orang tertarik?.
Lalu sebenarnya apa motiv dari perbuatan mereka? Apakah ingin menciderai elektabilitas Presiden Jokowi guna mendukung sosok yang merepresentasikan golongan mereka? Kalaupun iya, saya setuju dengan statemen salah satu kader partai politik yang menyatakan bahwa saat ini pihak oposisi tidak ada tawaran-tawaran yang kompetibel yang dapat menandingi program-program pemerintah, maka digunakanlah cara-cara licik seperti itu.
Dilihat dari perspektif budaya, sebagian bangsa Indonesia saat ini sudah terlalu jauh melenceng dari budaya ketimuran meskipun tidak semuanya. Budaya yang dulu sangat dibangga-banggakan kini tinggal sisa-sisa seperti mi ayam yang tinggal kuahnya saja. Budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun dan tata krama kini telah berganti menjadi budaya caci maki, kebohongan, dan fitnah yang entah dari mana datangnya.
Entah kenapa, Islam sekarang ini direpresentasikan sebagai agama yang pemarah, pembenci, pengadu domba. Tentunya sifat-sifat seperti itu sangat kontradiktif dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah yang menjunjung tinggi kasih sayang, keramahan, dan pemaaf. Maka jika yang disebut umat Islam adalah orang yang mengikuti dan meneladani Rasulullah, apakah mereka ini pantas disebut umat Islam? (tidak perlu dijawab).
Namun saya masih mempunyai rasa optimis pada bangsa ini ketika melihat teman-teman yang gemar mengikuti diskusi-diskusi kebangsaan, kebudayaan, atau keagamaan yang ramah entah itu dalam forum diskusi formal ataupun dengan sekadar ngobrol di kafe atau di angkringan pinggiran jalan. Dari sana banyak muncul orang-orang yang kritis dan rasional yang menurut saya sangat erat hubungannya dengan nilai kemanusiaan. Namun sayang sekali orang-orang seperti itu justru seringkali dicap sebagai kaum liberal, sesat, atau hal-hal senada lainnya.
Menurut saya, fundamentalisme agama adalah salah satu faktor penyebab kemunduran negara ini. Sebab, fundamentalisme kerap kali meniadakan rasionalitas. Rasionalitas inilah yang menjadi penyebab negara-negara lain mengalami kemajuan. Negara maju terutama di Eropa sudah meninggalkan apa yang disebut dengan masa kegelapan. Namun nampaknya masa kegelapan itu sekarang berpindah ke negeri ini. Semoga saya salah. Sedangkan dalam sejarahnya umat Islamlah yang lebih dulu memotori rasionalitas ini.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam agama apapun terdapat wilayah yang rasional dan wilayah irrasional. Inilah yang menjadi pembeda antara agama dan ilmu sains. Namun tampaknya ada sekelompok orang yang seolah memaksa menjadikan wilayah rasional menjadi wilayah yang irrasional. Maka hal ini adalah sebuah tindakan ceroboh yang mematikan nalar. Kalau demikian keadaanya, maka bagaimana mereka bisa berdebat dengan orang sekelas Stephen Hawking. Ya, itu menjadi mimpi saja, toh beliau baru saja meninggal.