Posisi agama bagi masyarakat Indonesia sangat dominan, survei rutin yang dilakukan Alvara Research Center menunjukkan lebih dari 95% masyarakat Indonesia mengatakan agama sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Angka ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil survei yang dilakukan Pew Research Center. Maka tidak mengherankan bila akhir-akhir ini hampir semua persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia selalu dikaitkan dengan agama. Fenomena ini tidak hanya di generasi tua, generasi mudapun juga berpendapat demikian.
Fenomena ini seiring dengan lahirnya “generasi baru muslim”, siapa mereka?
Mereka adalah masyarakat muslim yang berusia muda, tinggal diperkotaan, dan secara sosial ekonomi masuk dalam kategori kelas menengah. Secara jumlah generasi baru muslim ini bila mengacu pada hasil sensus penduduk 2010 berjumlah dikisaran 30 juta orang.
Secara umum generasi baru muslim ini sangat suka dengan teknologi dan memiliki semangat belajar agama yang tinggi. Sebagian dari mereka kemudian menamakan proses belajar agama sebagai hijrah. Semangat hijrah tersebut berangkat dari latar belakang pengalaman masa lalu, bahwa dulu mereka memang belum memiliki pemahaman agama yang baik, atau ada juga karena penyesalan atas noda-noda hitam perjalanan hidup yang pernah dijalani dimasa lalu.
Namun sayangnya sebagian dari kelompok hijrah ini karena saking semangatnya belajar agama kadang berimbas pada pemikiran sempit dan eksklusif dalam beragama. Hal terlihat dalam beberapa ekspresi keagamaan yang mereka tampilkan, merasa paling benar sendiri dan menganggap orang lain diluar kelompok mereka salah dan sesat. Inilah yang kemudian menjadi biang kerok tercabiknya harmonisme kehidupan keagamaan kita selama ini.
Praktek tradisi kehidupan keagamaan kita yang sudah turun temurun dan bahkan sudah mendapatkan legitimasi hujjah dan dalil dari ulama-ulama nusantara tiba-tiba dituduh sebagai bid’ah dan kurafat atas nama paling “nyunnah” oleh orang masih diragukan kepakarannya dalam bidang agama.
Pemikiran eklusif ini bila dibiarkan lebih jauh bisa berkembang menjadi praktek kehidupan yang cenderung intoleran, mereka mulai membatasi pergaulan dan hanya mau bergaul atau bertetangga dengan orang yang sekeyakinan dengan mereka. Mata rantai ini bila berlanjut terus menerus tidak menutup kemungkinan tumbuhnya benih radikalisme dan terorisme.
Lalu bagaimana memutus mata rantai yang membahayakan ini?. Moderasi Beragama adalah jawabannya.
Moderasi Beragama sebagai jalan tengah cara pandang dan praktik keberagamaan semakin penting untuk diimplementasikan bagi anak muda Indonesia. Setidaknya 3 alasan kenapa ini penting, pertama, secara jumlah mereka sangat dominan, 53% penduduk indonesia adalah Gen Z dan Milenial. Kedua, konsumsi internet sangat tinggi, lebih dari 80% anak muda Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. Ketiga, Anak muda paling rawan terpapar paham radikal, survei BNPT 2020 mengkonformasi temuan tersebut.
Selama ini masih ada beberapa kalangan yang masih salah memaknai moderasi beragama, ada yang beranggapan menganggap bahwa Moderasi Beragama adalah untuk memperkuat stigma buruk terhadap kelompok agama tertentu, atau ada juga berpendapat Moderasi Beragama sebagai bentuk sinkrektisme, mencampuradukkan berbagai aliran agama atau keyakinan.
Padahal semua itu tidak benar, bila kita mengutip definisi moderasi beragama yang termaktub dalam peta jalan moderasi beragama adalah “Cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa”
Bila kita membaca secara seksama ada tiga kalimat kunci dalam definisi Moderasi Beragama tersebut yaitu, pertama, cara pandang, sikap, dan praktek beragama, kedua melindungi martabat kemanusiaan dan kemaslahatan umum, dan ketiga, prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi.
Jadi moderasi beragama adalah upaya untuk mengembalikan ajaran agama yang luhur untuk menjadi sumber inspirasi kehidupan yang damai, toleran, dan rukun.
Disinilah pentingnya generasi Milenial dan Gen Z terutama yang sedang menjalani hijrah untuk memahami dengan benar konsep Moderasi Beragama agar tidak terjerumus dalam perangkap keberagamaan yang keras dan eksklusif.
Dalam islam kita mengenal 3 komponen utama yaitu iman, islam, dan ihsan. Iman terkait dengan keyakinan, islam terkait dengan praktek ritual keagamaan, ihsan terkait akhlak dan budi pekerti. Jadi berislam tidak hanya melulu bicara soal halal-haram; soal sunnah-bid’ah tapi sesungguhnya puncak dari kehidupan beragama adalah akhlak dan budi pekerti kepada semua mahluk.
Untuk itu bagi mereka yang sedang hijrah sebaiknya membuka mata dan pikiran untuk melihat khasanah keagaman yang begitu luas dan tidak berhenti pada satu titik pemahaman keagamaan tertentu
Berhijrah itu tidak lantas menutup diri dan lantas memandang diri sebagai yang paling benar dan yang lain salah. Berhijrah adalah proses menemukan jati diri dan sekaligus berdamai dengan sendiri dan ujungnya adalah rasa kerendahan hati sebagai hamba sang khalik.
Belajar agama secara paripurna memang tidak mudah, dan tidak bisa instan dari sosial media, belajarlah pada ulama-ulama atau kyai yang memiliki kedalaman ilmu agama yang paripurna, sesekali mampirlah ke pesantren-pesantren yang tersebar diseluruh penjuru tanah air, rasakan denyut kehidupan agama disana yang penuh keakraban dan welas asih.
Yang terakhir, mari kita semua terutama ulama-ulama moderat menemani generasi baru muslim ini, mari kita memberikan mereka asupan ajaran agama lebih banyak, karena hanya dengan cara itulah kita bisa “melunakkan” pemahaman keagamaan yang mereka anut selama ini.