Di sebuah pagi menjelang siang, Edwin dan Ibu-ibu paruh baya sibuk mengkurasi sampah. Ya, benar-benar sampah. Mereka memisahkan mana (sampah) plastik yang lentur dan mana plastik yang keras. Juga memisahkan botol dengan tutupnya. Alasannya, harga dari masing-masing barang rongsok tersebut adalah berbeda. Tutup botol yang masuk kategori ember berwarna akan berharga lebih mahal ketimbang plastik botol. Dengan menggunakan ruangan 4×5 berdinding kayu dan triplek, mereka mengoperasikan Bank Sampah.
Edwin Widianto (23) baru saja pulang dari pelatihan di Jambi ketika mendapatkan ide untuk mengolah sampah di kampung Nitiprayan. Di Jambi Edwin mengikuti pelatihan untuk membuat pangkalan data desa. Di sana ia dan rekannya mencoba mengumpulkan data berupa golongan darah warga. Jika sukses, mereka bisa membuat bank darah; siapa butuh donor, hubungi server dan dapatkan kontaknya. Lalu bagaimana kalo darah diganti sampah? Pasti bagus!
“Dengan berbasis data, total sampah yang diproduksi rumah itu terlacak berapa kilo perminggu: yang organik berapa? yang anorganik berapa? Kemudian juga treatment per-keluarga itu bagaimana? Apakah dibakar, dipendam, atau dibuang dengan jasa sewa? Cuma, aku harus bikin contohnya dulu, kecil-kecilan. Ini jadi bukti ke masyarakat bahwa sampah bisa dimanfaatkan”, Edwin menyatakan cita-citanya terkait Bank Sampah.
Keinginan ini juga diperkuat oleh keresahan Edwin tentang bagaimana sampah diperlakukan.
“Sampah itu dibakar, beberapa juga menyewa jasa orang untuk ngambil sampah. Ini ada yang keliru, harusnya orang dapat uang tapi malah keluar uang” terang Edwin.
Sepulang dari Jambi, ia menghubungi Sri Wahyaningsih, Ibu Kost sekaligus Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Barokah di RT 4 Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
“Setelah dari jambi, saya pulang ke Nitiprayan. Nitiprayan ini bukan kampung saya, saya kost disini,” ujar Edwin menerangkan posisinya.
Gayung bersambut, Sri Wahya menghubungkan Edwin dengan Anggota KWT dan terjadilah pertemuan antara Edwin dan anggota komunitas KWT. Kepada Ibu-Ibu sekiranya berusia 40-60 itu Edwin mengajukan proposalnya.
“Kami bertemu di tempat Bu Wahya. Aku ngobrol tentang bank sampah, bagaimana memanfaatkannya sebagai pemasukan alternatif. Kira-kira mau nggak?”
Meski begitu, sejenak ia sempat dihinggapi ketakutan. “Jangan-jangan, Ibu-ibu disini kan sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Masa mau menambah pekerjaan,” pikirnya.
Edwin yang awalnya takut terjadi penolakan akhirnya bisa bernafas lega setelah ibu-ibu di komunitas KWT ternyata justru menyambut baik idenya. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa tiap hari minggu jam 8 mereka akan berkumpul untuk membuka ‘kantor’ sampai jam 11. Kemudian, jam 11 sampai selesai mereka akan memilah sampah bersama-sama. Forum itu juga menyepakati Edwin sebagai ketua Bank Sampah.
Tak perlu menunggu SK turun, Edwin dan kelompok KWT Barokah mulai bekerja. Tepat pada 1 Agustus 2021, kegiatan Bank Sampah bernama “Migunani” pun dimulai.
Sampah Adalah Emas
Bank Sampah “Migunani” cukup diuntungkan oleh teknologi informasi yang mudah diperoleh lewat internet. Setelah sebelumnya berusaha menjual ke tempat rosok di sekitaran tapi urung karena hanya memperjanjang rantai pasokan, Edwin menemukakan Mitra dari salah satu usaha rintisan yang bergerak di bidang sampah. Mereka memutuskan menjual ke perusaan rintisan ini karena sampah yang mereka kumpulkan akan dikembalikan kembali ke perusahaan produsen sampah untuk dioleh kembali.
Mereka menghindari pengolahan sampah menjadi sapu atau barang plastik lainnya karena hanya memperpanjang umur sampah. Hal itu juga terkesan seakan-akan perusahaan produsen sampah plastik tidak perlu bertanggung jawab karena sudah ada orang yang memanfaatkan.
Dengan nasabah lebih dari 40 orang, terdiri dari anggota KWT Barokah, Komunitas Belajar Sanggar Anak Alam, dan beberapa RT sebelah yang tertarik, kini tiap bulannya Bank Sampah “Migunani” bisa mengantongi penghasilan kurang lebih satu jutaan. Kelak, sampah tidak ditabung dalam bentuk uang, namun dalam bentuk emas. Dengan begitu, sampah adalah emas, sehingga bisa dimaknai secara tersirat juga tersurat.
“Yang lagi kita susun itu, orang yang menabung sampah itu keluarannya emas. Sekarang masih uang. Targetnya, kalo lihat sampah itu lihat emas. Sudah bukan imajinasi lagi” Ujar Edwin optimis.
Tak Melulu Uang, Tapi Juga Urusan Spiritual
Sinergi dalam pengelolaan sampah ini cukup penting sekali dalam gerakan sederhana sebagaimana dirintis oleh Edwin dan komunitas KWT Barokah. Tanpa peran Bu Wahya, Edwin tak tahu harus bekerjasama dengan siapa. Ia beruntung karena ‘menumpang hidup’ pada sosok yang juga punya konsen pada pemberdayaan: KWT Barokah dan Sanggar Anak Alam. Namun ini juga bukan berkah jatuh dari langit.
Gerakan ini juga didukung oleh para ibu-ibu yang memberikan waktu dan tenaga untuk satu perubahan di lingkungan sekitar, Ibu Is salah satunya.
Jauh sebelum (gerakan) Bank Sampah “Migunani” dimulai, secara mandiri Bu Is sudah memilah sampah di sekitarnya untuk menghidupi kegiatan POSYANDU di RT 4 yang ia pimpin. Namun, selain uang, memilah sampah baginya juga bermotif spiritual.
“Buat tabungan hari tua to mas” cerita Bu Is di sela-sela kegiatan memilah sampah.
“Kegiatan (memilah sampah) ini berpahala, karena kita mengurangi sampah dan tidak menyakiti bumi”, kata Bu Is, memberikan alasannya aktif memilah sampah. “Untuk untuk anak cucu juga”, sambungnya.
Tidak hanya Bu Is, Ibu-Ibu yang lain juga punya minat yang serius untuk urusan sampah ini. Setiap Minggu pagi, mereka selesaikan dulu semua pekerjaan rumah tangga seperti bebersih, mencuci dan memasak. Sehingga, sejak jam 8 sampai selesai mereka bisa sepenuhnya berkegiatan di Bank Sampah.
“Nanti kalo Mas Edwin pergi gimana?” adalah pertanyaan yang jamak ditanyakan Ibu-Ibu anggota Bank Sampah kepada Edwin. Ia tidak menampik jika perannya masih terlalu besar dalam menggerakkan Bank Sampah. Untuk itu ia berharap, komunitas Bank Sampah “Migunani” menjadi lebih mandiri.
“Ke depan, kita bisa berjalan sendiri, sehingga Bank Sampah “Migunani” bisa pure menjadi kegaitan KWT,” harap Edwin sembari melihat selama 4 bulan terakhir ternyata sampah bisa menjadi menjadi sumber pemasukan finansial dan spiritual bagi anggotanya.
*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth