Kelas Menengah Muslim dan Makna “Hijrah” yang Dibajak

Kelas Menengah Muslim dan Makna “Hijrah” yang Dibajak

Kelas Menengah Muslim dan Makna “Hijrah” yang Dibajak

Mempercakapkan hijrah kini memerlukan kelonggaran tendensius terhadap paham keagamaan penganutnya. Bahwa sejauh ini, hijrah tidak lagi menjadi term yang menguat ‘hanya’ pada lingkungan selebritas saja. Sanak keluarga, tetangga di kampung, dan teman-teman masa kecil turut serta memeriahkan panggung hijrah.

Fenomena ini saya dapati dan dirasakan oleh tetangga kampung saya yang kebetulan aktivis ormas besar di Indonesia. Sebelum bergerak lebih jauh, sedikit saya paparkan bahwa di lingkungan kampung saya didominasi oleh orang-orang NU dan Muhammadiyah. Terdapat dua institusi besar yang dinaungi dua ormas tersebut sehingga kedua institusi itu sangat mempengaruhi kecenderungan masyarakat dalam beragama, berkebudayaan maupun berpolitik. Meskipun jarang terjadi silang-sengkarut di antara keduanya, tapi perang urat saraf masih sering terlihat, apalagi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.

Pada saat yang bersilaturrahim ke rumahnya, kami bermaaf-maafan dilanjutkan dengan obrolan dan pertanyaan menohok yang mulai membasi di tahun 2019 ini, yang kemudian ia ganti topiknya dengan menyampaikan sedikit pandangannya tentang Syahrini, setelah Ramadan kemarin mengamini mukena Fatimah Syahrini seharga 3,5 Juta yang laku 5000 buah. “Kalau artis-artis seperti Syahrini tidak menonjolkan identitas keislamannya, barangkali umat Islam merasa minder juga mengakui keberislamannya.”

Dan karena itu, gerakan hijrah baginya menjadi tren positif untuk edukasi umat Islam terhadap model keberislaman zaman kekinian. Terlebih bagi Islamnya anak-anak muda. Dari paparan itu, saya mulai tertegun. Bagaimana tren dan edukasi keberislaman disejajarkan dan menjadi pola pikir yang atratktif sehingga mudah ditelan oleh masyarakat, meskipun agak absurd.

Saya kemudian mencoba menilisik secara terseo-seok (karena di kampung susah sinyal) tentang “Mukena dan ke-Syahrini-an” melalui jejaring online. Karena Syahrini artis yang fenomenal, pencarian terhadapnya tidaklah susah. Perihal karir bisnisnya, Syahrini, pada taraf tertentu memang patut diapresiasi. Selain menanam saham di industri fesyen, Syahrini juga memiliki bisnis makanan yaitu Bakpia.

Barangkali dari faktor bisnis itu pula, kita fardu bersyakwasangka terhadap mukena 3,5 juta tersebut. Nilai konsumsi terhadap segmentasi pasar dari mukena itu jelas menunjukkan stratifikasi kelas sosial. Pada umumnya, konsumen terbanyak datang dari borjuasi elite atau new middle class muslim di Indonesia. Sehingga ia kembali menegaskan fungsi panggung dakwah yang tidak hanya menjadi medium penyebaran ajaran agama, melainkan cenderung sebagai ‘ruang endorse’. Fakta ini juga mempertegas perkawinan Islam dan modernitas yang menjadi Islam Populer pasca krismon 98 yang membuka keran kebebasan ekspresi keagamaan di Indonesia.

Lain ceritanya di medio abad ke-19 lompatan jumlah kelas menengah Muslim ditandai oleh kalangan borjuasi elite yang menguasai perdangan besar, utamanya batik. Kemunculan tokoh-tokoh seperti halnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Haji Muhammad Yunus (Persis), maupun juga Samanhudi (Syarikat Islam) merupakan figur organisasi yang tumbuh dari basis kelas menengah urban. Sebagai produk utama, batik kemudian melejit rasio pemakaiannya hingga pada 2 Oktober 2009 batik diakui UNESCO sebagai warisan dunia dari Indonesia.

Perdagangan menjadi titik kunci sekaligus media kultural dalam membangun kelas menengah Muslim (Muslim Middle-Class) di Indonesia. Kita tidak bisa mengelak jika persebaran Islam di Indonesia melalui jalur perdagangan. Namun, jika dikembalikan pada Syahrini, saya sendiri tidak terlalu menyepakati labelling system yang ia pakai karena dua hal. Pertama, krisis moneter 98 menjadi momentum kapitalis baru untuk memanfaatkan pasar dagang Indonesia dalam menjajaki konsumen. Sialnya, era tersebut berbarengan dengan ekspresi keagamaan yang membuas, membangkitkan corak keislaman yang cenderung fundamentalisme. Sehingga persemaian produk Islami terkapitalisasi secara apik dan ditelan oleh new middle class muslim Indonesia.

Kedua, krisis kebudayaan. Segala hal setidaknya bersumbu pada kebudayaan. Romantisme sejarah bukanlah cara yang sehat karena ia menjadi hal yang terlampau jauh. Akan tetapi, panggung selebritas kini menjadi panggung dakwah bisa dikatakan memberi jarak antara titik temu identitas lokal dengan identitas asing. Gejala Arabisasi yang sempat ditolak Gus Dur masih berpijak ranumnya dalam ekspresi beragama masyarakat.

Maraknya produk Islami yang dipakai secara masif mengubah pola pikir masyarakat dalam memilih public figure keagamaan. Sehingga sumber keagamaan utamanya mereka terima dari pengajian yang terdapat di layar televisi di rumah-rumah. Bagi orang kampung seperti tetangga saya tadi, televisi merupakan hiburan utama di rumah. Kalaupun mereka memakai youtube, figur ustaz/ustazah yang mereka ikuti tidak berbeda dari ustaz/ah di televisi. Maka tidak mengherankan apabila tren dan edukasi keislaman digebyah-uyah dalam satu figur, Syahrini.

Karena itu, penerimaan transformasi Islam politik ke Islam modernis melalui pendekatan masyarakat madani tidak lebih diterima oleh new middle class muslim daripada prinsip “hijrah” yang disemarakkan melalui panggung selebritas Indonesia. Dari sini, urgensitas re-edukasi “hijrah” perlu diarus-utamakan baik melalui halaqah ataupun media online, guna meluruskan paham umat Islam terhadap penggunaan makna hijrah yang sudah lama dibajak.