Kekonyolan Sebuah Panggilan: Dari Titisan Allah Hingga Imam Bonjol

Kekonyolan Sebuah Panggilan: Dari Titisan Allah Hingga Imam Bonjol

Entah kenapa, politisi ini justru berkomentar konyol-konyol

Kekonyolan Sebuah Panggilan: Dari Titisan Allah Hingga Imam Bonjol
Prabowo, Amien Rais dan Habib Rizieq berjumpa di Arab Saudi. Ketiganya, belakangan, menjadi sangat dekat. Ijtima Ulama tempo hari yang mendukung Prabowo juga atas rekomendasi Habib Rizieq

Sebuah gelar/panggilan biasanya dilekatkan bukan hanya karena kiprah individunya atas dunia yang digeluti, melainkan juga kontribusinya yang dianggap memberikan perubahan sekaligus perbedaan untuk masyarakat. Gelar tidak hanya dianggap sebagai sebuah kebanggaan, melainkan bentuk keistimewaan tersendiri bagi orang yang menyandangnya.

Sebuah gelar biasanya diberikan oleh institusi, baik level internasional, regional, nasional, ataupun bersifat lokal. Dalam struktur masyarakat feodal, di mana ikatan primordialisme begitu kuat, sebuah gelar dan panggilan menjadi legitimasi seseorang untuk mengangkat derajat sosial dan politiknya sendiri untuk diakui oleh komunitas dan masyarakatnya. Di sini, gelar tidak melulu lebih terkait dengan pemberian dari sebuah institusi pendidikan ataupun lembaga, gelar bisa juga disematkan secara kultural oleh masyarakatnya dengan citra rasa geografis kekhasan daerahnya.

Dalam konteks agama, seseorang dilekatkan dengan kata Kiai karena dianggap memiliki kemampuan dan kecakapan dalam bidang agama Islam. Selain sering memberikan ceramah keagamaan, memiliki pondok pesantren, orang disebut Kiai juga karena ditokohkan oleh masyarakat sekitarnya. Dalam konteks Jawa Timur, panggilan kata Gus juga merujuk kepada tokoh agama. Secara detail seorang disebut Gus juga karena ia merupakan salah satu anak kiai, yang biasanya memiliki pondok pesantren.

Untuk Sumatera Barat, panggilan untuk Buya, bermakna dua hal; panggilan kepada orang lebih tua laki-laki dan panggilan kepada seorang ulama. Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dipanggil sebagai Buya Syafi’i Maarif bukan Kiai. Hal ini merujuk kepada asal daerah ia tumbuh. Meskipun ketika besar dan kemudian berkarir Buya Syafi’i ini lebih banyak menghabiskan waktunya di Jogja. Hal yang sama juga dengan ungkapan kata Tuan Guru, yang diperuntukan kepada tokoh agama yang memiliki murid di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Dalam dunia politik gelar atau panggilan itu juga memainkan peranan penting. Suharto digelari sebagai Bapak Pembangunan karena dianggap sebagai pencetus pembangunan di Indonesia dengan perencanaan-perencanaannya dari Repelita 1-V. Amin Rais digelari sebagai tokoh reformasi karena dianggap sebagai salah satu pencetus untuk bergulirnya reformasi di Indonesia yang menginginkan Suharto untuk turun dari jabatannya. Gelar politik itu disempatkan karena lebih terkait dengan kiprah dan kontribusi individu yang kemudian berusaha untuk dilekatkan.

Dalam upaya untuk melekatkan ini tentu saja, ada yang masyarakat menerima dan tidak. Di sini proses waktu kemudian menjadi jalan ujian atas gelar kultural yang disempatkan oleh seseorang dan kemudian diterima oleh publik. Terkait dengan sepakterjang Amien Rais yang jauh dari kesan reformis dan cenderung menjadi provokator, misalnya, banyak orang kemudian menggugat panggilan beliau sebagai Bapak Reformasi.

Namun, gelar dan panggilan kultural tersebut bukan menjadi sesuatu yang sakral. Dengan sangat mudah orang menganggap individu dengan sebutan yang mereka inginkan dan melakukan proses desakralisasi. Ini dilakukan semata-mata bukan karena kiprahnya sekaligus kontribusinya yang memberikan perbedaan untuk komunitasnya sekaligus masyarakat Indonesia secara luas, melainkan karena sekedarnya saja ingin menyebutkan seperti itu. Ironisnya, panggilan itu kemudian diterima begitu saja tanpa proses seleksi oleh media. Meskipun harus diakui, media melakukan hal tersebut, karena bersumber dari informasi yang diwawancarai dan didapatkan.

Sejumlah kekonyolan itu bisa kita lihat sejak tahun 2014. Atas nama menguatkan elektabilitas politiknya, pendukung sekaligus Ketua Umum DPN Srikando Partai Gerindra Nurcahya pada tahun 2014 memberikan orasi kepada para pendukung Prabowo Rumah Polonia dalam Pilpres 2014 dengan menyebut Prabowo sebagai Titisan Allah. “…Bukan cuma jihad nasionalisme. Kita tidak hanya mendukung Bapak Prabowo, tetapi hanya visi besar Pak Prabowo sebagai titisan Allah SWT…,” (www.kompas.com, 7 Agustus 2014).

Begitu juga dengan Rizieq Shihab yang menjadi salah satu tokoh agama yang penting dalam konstelasi politik nasional. Bagi para pendukungnya, ia dianggap tidak hanya sekedar sebagai seorang habib keturunan Nabi Muhammad, melainkan juga Imam dengan skala Dunia. Ini ditegaskan oleh sendiri oleh Novel Chaidir Bakmukmin ketika dikonfirmasi mengenai kemungkinan Rizieq Shihab untuk maju dalam Pilpres 2019. Meskipun diinginkan oleh masyarakat, Rizieq tidak mau maju dalam politik praktis, mengingat skalanya sudah mendunia (www.suara.com, 7 Mei 2017).

Sementara itu, ditasbihkan oleh Presiden PKS Sohibum Imam, Sandiaga Uno, meskipun belum sekalipun merasakan mondok di pesantren, mendadak dianggap sebagai santri di era Post-Islamisme. Namun, belum sampai sebulan, ia naik kelas, sederajat dengan ulama, sebagaimana dikatakan oleh Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS. Tidak tanggung-tanggung, Dahniel Anzar juga menyematkan Sandiaga Uno dengan Bung Hatta, yang membuat cucunya Gustika Jusuf Hatta protes keras.

Tidak berhenti di sini. Dalam akun twitternya, Hanum Rais juga menyebutkan bahwasanya Ratna Sarumpaet itu seperti Cut Nyak Dien, karena berani dan kritis terhadap rejim Jokowi sehingga ia kemudian dianiaya oleh orang tidak dikenal. Setelah dilakukan konfirmasi lebih detail dan Ratna melakukan hoaks, panggilan tersebut bergeser menjadi nyinyiran di media sosial karena begitu mudahnya ia termakan oleh kebohongan yang diciptakan oleh Ratna. Begitu juga dengan para pendukungnya Rocky Gerung yang menyematkan dirinya sebagai Presiden Akal Sehat. Ini disematkan saat Rocky menyatakan diri akan menjadi Calon Presiden dalam Pilpres 2024 saat menghadiri deklarasi Alumni Perguruan Tinggi seluruh Indonesia pendukung Prabowo-Sandi di Padepokan Silat TMII pada 26 Januari 2019.

Vonis penjara selama 1, 5 tahun oleh putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta pada 28 Januari 2019 kepada Ahmad Dani terkait dengan ujaran kebencian yang dituitkan di akun media sosialnya itu dianggap sebagai perjuangan bangsa. Bahkan, bagi Hendarsam Marantoko, pengacaranya Dani, tindakan pemenjaraan itu layaknya perjuangan Imam Bonjol dan Diponegoro. Ini karena, baginya, banyak dari Pahlawan Indonesia juga mengalami proses penahanan karena sebelumnya telah melakukan perjuangan.

Memang, dari penjelasan tersebut, tidak ada yang salah dari upaya memanggil ataupun menyematkan tokoh politik dengan referensi yang diinginkan. Namun, penyematan dengan referensi yang tidak sebanding itu tidak hanya menghilangkan konteks sebuah peristiwa melainkan juga kontribusi sebenarnya dari individu politik yang diusung.

Sikap ini tidak hanya melecehkan rasionalitas publik Indonesia dalam menilai apa yang dianggap pantas dan tidak seiring dengan jejak rekam sebuah tokoh, melainkan juga adanya upaya untuk mengelabui publik bahwasanya tokoh politik yang diusungnya dianggap sangat dipenting-pentingkan. Meskipun harus diakui, upaya pemelintiran fakta ini sebenarnya menemukan momentumnya di tengah massifnya pengguna media sosial.

Di sini, warganet biasa memungkinkan menjadi mikro-selebriti yang membikin sejumlah ahli dalam pelbagai bidang menemui ajalnya di era pasca-kebenaran. Di tengah situasi banalitas tersebut, meme kemudian menjadi ruang untuk melawan dengan cara mentertawakan diri.

Kemampuan dan inovasi meme inilah yang membuat demokrasi Indonesia menjadi terlihat sehat, mengingat banyak masyarakat Indonesia seringkali tersenyum akibat ulah petualang politik untuk mendapatkan suara.