Beberapa media, juga sejumlah politisi pendukung Paslon Prabowo-Gibran, belakangan mengatakan jika konteks dari pernyataan Jokowi (24/1/2024) terkait “presiden boleh kampanye dan memihak” adalah untuk menanggapi pertanyaan wartawan terkait fenomena menteri-menterinya presiden yang ikut berkampanye.
(Baca Bagian 1: Netralitas Jokowi Dipertanyakan)
Seperti diketahui, dalam kontestasi Pilpres 2024 ada cukup banyak menteri dan pejabat bawahan Presiden Jokowi yang terlibat dalam aktivitas kampanye pemenangan Paslon, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung.
Adanya sejumlah fakta sosial-politik yang terlalu benderang itu sebetulnya memudahkan kepentingan penulisan artikel ini dalam menjelaskan konteks makro dari wacana netralitas Presiden Jokowi yang mulai dipertanyakan publik.
Pertama, level situasional. Ini mengasumsikan bahwa produksi teks terjadi dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik, sehingga ia bisa dimengerti sebagai tindakan untuk merespon situasi atau konteks sosial tertentu.
Jadi, pernyataan Jokowi terkait “Presiden boleh kampanye, juga boleh memihak” itu pada dasarnya tidak hadir dari ruang kosong. Ia menjadi ada karena dorongan konteks sosial tertentu, atau sebentuk letupan akumulasi dari faktor sosial, orientasi politik, ekonomi, bahkan budaya yang lebih luas dan kompleks.
Selain dipicu oleh pertanyaaan awak media di Lanud Halim Perdanakusuma, wacana netralitas pejabat negara yang digulirkan Presiden Jokowi juga didorong oleh elektabilitas Paslon Prabowo-Gibran yang tampak konsisten jalan di tempat.
Gibran, yang dianggap bisa mewarisi persona bapaknya di kancah politik kekuasaan, justru tampak jauh dari karakter Jokowi, terutama dalam hal sopan-santun, rendah hati, dan merakyat.
Kedua, level institusional. Melihat performa putra sulungnya yang tampak madesu, walau sudah digendong oleh segenap aparatus bawahan presiden seperti menteri, gubernur, atau bahkan Ormas keagamaan, Jokowi tentu tak bisa tinggal diam.
Jadi, apa yang Jokowi nyatakan di Lanud Halim Perdanakusuma (24/1/2024) adalah legitimasi moral untuk memompa kembali adrenalin para “pejabat publik sekaligus pejabat politik” yang menjadi makmum Presiden Jokowi supaya lebih giat dalam melakukan konsolidasi kekuasaan di Pilpres 2024. Kuncinya adalah semua sudah ada aturannya, asal tidak menggunakan fasilitas negara (terlepas bahwa pernyataan itu justru muncul dalam momentum tugas kenegaraan).
Ketiga, level praksis sosial. Ini sepenuhnya mengasumsikan adanya exercise of power dari Presiden Jokowi melalui bahasa sebagai strategi (mempertahankan) kekuasaan.
Lebih jelasnya, saya lampirkan sekali lagi secara verbatim pernyataan Jokowi kepada wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma (24/1/2024):
“Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting, waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara…”
Pertanyaannya, apakah Presiden Jokowi di sini sedang berada dalam kapasitas menyampaikan informasi atau literasi tentang UUD Pemilu (seperti tertuang dalam klarifikasinya belakangan hari)?
Logika serupa juga bisa diaplikasikan, umpamanya, ketika di momentum debat Pilpres ronde ketiga Gibran berkata kepada Mahfud MD, “bagaimana cara mengatasi greenflation? … Ini tadi tidak saya jelaskan, karena beliau kan profesor. Greenflation adalah inflasi hijau, sesimple itu.”
Apakah di situ Gibran tampak sedang mencari tahu dan/atau memberikan informasi kepada Prof. Mahfud MD?
Alih-alih merendahkan partisipan debat, apakah greenflation yang dimengerti Gibran sebagai inflasi hijau adalah sesimple mengapa itu why, karena itu because, dan itu and?
Contoh lain adalah ketika tahun 2019 Prabowo Subianto mengatakan “para media hati-hati, kami mencatat kelakuan-kelakuanmu satu-satu .. Kami bukan kambing-kambing yang bisa kau atur-atur. Hati-hati kau ya! Hati-hati kau! Suara rakyat adalah suara Tuhan.”
Apakah di situ Prabowo tampak sedang memberi khutbah atau informasi kepada para wartawan, alih-alih ancaman?
Maka dengan melihat sekaligus mempertimbangkan segenap dinamika politik dua bulan terakhir ini, pernyataan Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma (24/1/2024) justru menunjukkan dirinya sebagai sebuah kontrol wacana yang pada gilirannya menjadi kekerasan simbolik (symbolic violence).
Sebagai informasi, kekerasan simbolis merupakan seperangkat konsep dari Pierre Bourdieu di mana korban dari kekerasan jenis ini menyetujui jika dirinya menjadi korban. Mengapa demikian?
Kekerasan simbolis beroperasi melalui bahasa, simbol, dan representasi. Pada stadium tingkat lanjut, kekerasan simbolik akan menjadi pintu masuk bagi kekerasan psikologis, dan paling parah menjadi kekerasan fisik.
Jokowi sebagai presiden–yang berarti memiliki semua akses, sumber daya, dan instrumen kekuasaan–sangat potensial melakukan kekerasan simbolik kepada para pendukung Paslon Prabowo-Gibran.
Apalagi dengan status sebagai bapaknya Gibran, Jokowi mungkin sekali memainkan symbolic violence kepada publik awam. Toh, Jokowi sendiri juga pernah bilang kalau “orang tua itu tugasnya mendoakan dan merestui”.
Terakhir yang tak kalah penting dari pernyataannya di Lanud Halim Perdanakusuma (24/1/2024), pada dasarnya Jokowi sedang memancang kuda-kuda jika, kelak, secara kasat mata dan kasat media turun lapangan untuk mendongkrak suara Paslon yang dia dukung.
Hal demikian agaknya juga berlaku untuk memenuhi asupan kesehatan mental “pejabat publik sekaligus pejabat politik” lainnya yang berada di shaf belakang Presiden Jokowi agar (dalam frasa populer para user tiktok) “semakin yakin, tetap all in, okegas, okegas.”