Kekeliruan Sugi Nur dalam Memahami Surat al-A’raf Ayat 176

Kekeliruan Sugi Nur dalam Memahami Surat al-A’raf Ayat 176

Kekeliruan Sugi Nur dalam Memahami Surat al-A’raf Ayat 176

Tahun politik seharusnya menjadi tahun yang menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Karena pada tahun tersebut bangsa Indonesia memiliki hajatan besar yang berbentuk pesta demokrasi bagi rakyat untuk memilih siapa yang mereka harapkan untuk memimpin mereka untuk lima tahun ke depan. Namun sayangnya, kebahagiaan tersebut harus diciderai oleh keberadaan fenomena yang sangat mengiris hati nurani. Fenomena tersebut berbentuk kemunculan orator-orator yang membawa nama ajaran agama, namun isi orasinya malah berbanding terbalik dengan nilai-nilai luhur ajaran agama itu sendiri.

Tujuan mereka sebenarnya murni politis, agar pilihan hatinya bisa menang di pemilu mendatang, namun, karena statusnya sebagai orator yang diagung-agungkan sebagai “pemuka agama” oleh sebagian kelompok, mereka mencoba melegitimasi apapun yang mereka katakan mengenai lawan politiknya dengan dalil-dalil keagamaan yang selama ini menjadi tuntunan hidup masyarakat Indonesia yang agamis.

Salah satu yang mewakili fenomena tersebut adalah sebuah video yang merekam bagaimana sugik nur ditegur oleh salah seorang ibu yang merasa tak nyaman hati ketika mendengar sugik nur senantiasa menyematkan julukan “cebong” untuk pendukung paslon Jokowi-KH.Maruf Amin.

Sang ibu dengan tegas mengingatkan “cebong itu binatang ustadz, jadi jangan bilang cebong ya, cebong itu binatang, stop (menyebut) cebong, bilang aja paslon nomor 01”.

Menanggapi protes dan teguran sang ibu, sugik nur tak merasa bersalah, dan malah menyuruh sang ibu untuk membuka surat QS Al-Isra ayat 176 yang sebenarnya QS Al-A’raf ayat 176, yang berbunyi:

 وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون

Artinya:

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf: 176)

Karena nafsu politis untuk melegitimasi kebolehan merendahkan lawan politik dengan sebutan “cebong” sugik nur sampai keliru menyebut nama surat, yang harusnya surat Al-Araf malah disebutnya surat Al-Isra. Wajar saja netizen geram karena surat Al-Isra sendiri tidak memiliki ayat ke 176, karena jumlah ayatnya yang hanya sampai pada ayat ke 111.

Sebenarnya selain keliru menyebutkan nama surat, ada kekeliruan lain yang sangat substansial dari pemahaman sugik nur terhadap ayat tersebut. Kekeliruan tersebut entah karena ketidak-tahuannya, atau karena nafsu politisnya yang dia balut dengan nama “ajaran agama”.

Jika kekeliruannya dikarenakan ketidak-tahuannya harusnya ia diam dan menerima nasihat baik dari seorang ibu tersebut, bukan malah membantah, dan menyesatkan orang lain dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang sebenarnya tidak membenarkan sikapnya melabeli orang lain dengan sebutan “cebong” yang tak layak bagi manusia, dan jika kekeliruannya karena nafsu politisnya ayat yang ia kutip sebenarnya malah bisa menjadi berlaku terbalik bagi dirinya sendiri. Karena sebab nafsu politisnya ia malah merusak citra islam yang seolah-olah melegalkan penghinaan terhadap orang yang berbeda pilihan dan pandangan dengannya.

Untuk memahami ayat ke 176 dari surat al-A’raf kita harus melihat kepada ayat sebelumnya. Karena ayat tersebut sejatinya merupakan lanjutan dari ayat ke 175 yang berbicara mengenai kisah yang diminta untuk disampaikan kepada kaum Yahudi dan Musyrikin tentang seorang laki-laki yang telah Allah SWT berikan ilmu pengetahuan tentang isi Al-Kitab dan ketuhanan serta pemahaman mengenai dalil-dalil keesaan Allah SWT sehingga ia menjadi orang yang alim. Hanya saja kealimannya tidak membawanya untuk mengamalkan apa yang diketahuinya, sehingga ia dikategorikan ke dalam orang-orang yang tersesat.

Kemudian sebagai lanjutan dari kisah tersebut, Allah SWT menjelaskan dalam ayat ke 176 bahwa sekiranya Allah berkehendak mengangkat derajat lelaki tersebut dengan ilmu yang telah diberikan kepadanya, tentulah Allah berkuasa untuk berbuat demikian. Akan tetapi, lelaki itu telah membuat pilihannya sendiri untuk memilih jalan yang sesat dan berlawanan dengan fitrahnya, sehingga ia berpaling dari ilmu yang telah dikaruniakan kepadanya, dan malah mengikuti hawa nafsunya sendiri, sehingga ia diumpamakan seperti seekor anjing.

Dan yang perlu dijadikan catatan bahwasannya kisah lelaki tersebut diminta untuk disampaikan kepada kaum Yahudi dan Musyrikin sebagai sebuah peringatan, karena ketika itu keduanya terindikasi ingin mengingkari apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW padahal keduanya mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bernilai kebenaran.

Pertanyaannya, apakah pendukung paslon 01 masuk kategori tersebut hanya karena berbeda pandangan politik, bukankah di pihak paslon 01 sangat banyak yang juga berjuang untuk agama dalam berbagai macam “problematika” yang dihadapinya?

Maka, penggunaan ayat tersebut sebagai legitimasi kebolehan menyematkan nama binatang “cebong” kepada orang yang berbeda ijtihad politik sangatlah keliru.

Bahkan, penulis khawatir, sugik nur yang malah bisa masuk ke dalam kategori tersebut, karena penulis yakin sugik nur sebagai orator keagamaan pasti mengetahui ajaran luhur untuk tidak saling menghina dan merendahkan yang diajarkan kandungan ayat ke 11 dari surat al-Hujurat. dan, mungkin karena nafsu politiknya sugik nur malah berpaling dari nilai-nilai luhur tersebut.

Namun, semoga semua itu hanya kekhawatiran penulis saja, karena sejatinya yang diharapkan penulis adalah, kita tetap bisa saling menghargai dalam bingkai demokrasi, yang memfasilitasi perbedaan kecondongan hati, ketika berijtihad dalam berpolitik.