Kekalahan Prabowo, Tarian Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi

Kekalahan Prabowo, Tarian Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi

Kekalahan Prabowo membuktikan bahwa mayoritas masyarakat masih tetap menjaga nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil alamain, yang santun, toleran, sehat, dan mengedepankan persatuan.

Kekalahan Prabowo, Tarian Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi
Foto: CNN Indonesia

Tanggal 21 Mei 2019, KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengumumkan secara resmi hasil rekapitulasi Pilpres 2019. Pengumuman tersebut menyatakan bahwa Prabowo-Sandi kalah karena hanya mendapatkan suara 44.5% dengan total sekitar 68 juta pemilih. Sedangkan Ir. Joko Widodo dan Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin memperoleh suara 55.5%  persen atau dengan jumlah lebih dari 85 juta pemilih.

Penulis tertarik untuk menganalisis ulang kampanye yang dilakukan oleh paslon Prabowo-Sandi untuk membaca demokrasi dan wajah Islam di Indonesia pasca Pilpres 2019. Untuk membaca demokrasi dan wajah Islam tersebut, akan lebih baik jika kita terlebih dahulu mendiskusikan Islam dan narasi demokrasi di Indoenesia pasca kekalahan Ahok di Pilkada Jakarta  2017.

Kekalahan Ahok-Jarot dari rivalnya, Anis-Sandi, dalam Pilkada Jakarta 2017 silam tidak hanya persoalan kalah-menang dalam politik semata, tetapi juga membentuk wajah baru Islam dan narasi demokrasi Indonesia di mata dunia.

Beberapa media ternama seperti New York Times (19/04/2017), dalam artikel yang berjudul Jakarta Governor Concedes Defeat in Religiously Tinged Election, mem-frame bahwa kekalahan Ahok merupakan dampak daripada agama yang dijadikan senjata politik dan merupakan upaya kelompok Islam garis keras untuk menekan pemerintah Jakarta dan mengupayakan penerapan hukum Islam dan melarang peredaran alkohol.

Dalam artikel tersebut juga disebutkan pernyataan Bonar Tigor Naispospos, Wakil Badan Eksekutif the Setara Institute for Democracy and Peace, sebuah lembaga yang bergerak di bidang riset di Jakarta, yang menegaskan bahwa kekalahan Ahok merupakan tantangan bagi demokrasi di Indonesia dan menujukkan bahwa Islamisasi semakin menguat di masyarakat, khususnya di daerah perkotaan.

Masih dalam narasi yang sama, Wasington Post (20/04/2017) dalam artikel yang berjudul “In Indonesia’s Capital, Voters Oust Renowned Christian Politician in Show of Islamist Power,” menyatakan bahwa Anis menyerukan toleransi sambil memainkan politik sentimen.

Dalam artikel tersebut dikutip pernyataan Anis, “Kita, sebagai umat Muslim, tidak akan pernah memilih seorang Kristen sebagai gubernur.” Hal yang sama juga dilansir oleh beberapa media seperti CNN, USA Today, Wall Street Journal, BBC, ataupun Routers.

Penulis menyimpulkan terdapat, paling tidak, dua narasi yang berkembang terkait dengan kekalahan Ahok-Jarot tersebut. Pertama, kekalahan Ahok-Jarot merupakan kemenangan Islam atas ‘orang kafir’ dengan mengedepankan sentimen, politik identitas, dan eksklusifitas untuk mencapai kemenangan dalam panggung politik. Hal ini yang menjadi sorotan atas demokrasi di Indonesia oleh sejumlah media-media luar negri.

Kedua, kemenangan Anis-Sandi merupakan ukuran menguatnya kelompok Islamis di perkotaan, lebih-lebih di ibu kota negara, merupakan kekuatan bagi kelompok Islamis yang berada di daerah-daerah lainnya untuk menampakkan diri di ruang publik. Yang penulis maksud sebagai kelompok Islamis di sini adalah kelompok Islam yang intoleran, kaku, eksklusif, bahkan radikal. Kedua narasi tersebut merupakan wajah baru Islam—dalam hal politik— dan  narasi demokrasi di Indonesia pasca Pilkada Jakarta 2017.

Paslon Prabowo-Sandi diusung oleh Partai Gerinda, PAN, PKS, dan Demokrat, yang juga sebagai partai pengusung Anis-Sandi dalam Pilkada 2017. Oleh karenanya, Pilpres 2019 turut diwarnai dengan politik yang hampir sama dengan pola Pilkada Jakarta 2017. Narasi-narasi kampanye Prabowo-Sandi masih dalam kategori politik identitas yang mana Islam dijadikan sebagai senjata untuk mencapai kemenangan.

Reuni Alumi 212 pada tanggal 02 Desember 2018 merupakan upaya untuk menggalang kekuatan untuk memenangkan Prabowo sebagai presiden Indonesia. Berkaitan dengan 212, Aziz Anwar menyatakan bahwa reuni alumni 212 lebih banyak bermuatan politik pilpres dan berseteru dengan Jokowi.

Reuni ini juga penegasan terhadap “Bela Tauhid” karena pada saat itu terdapat Banser NU yang membakar bendera tauhid. Dari sini, bisa dijadikan kesimpulan bahwa narasi kelompok Prabowo masih mengandalkan kekuatan dengan cara memobilisasi agama seperti dalam Pilkada Jakarta 2017.

Meskipun demikian, kenyataannya cara-cara tersebut sudah tidak ampuh lagi digunakan untuk Pilpres 2019. Kekalahan Prabowo memunculkan beberapa fakta bahwa demokrasi di Indonesia, sebagaimana dipertanyakan dan dikhawatirkan oleh media-media luar negeri di awal, sedang baik-baik saja.

Kemenangan Jokowi di 21 provinsi di Indonesia juga membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia masih stabil. Sebagaimana laporan KPU, Jokowi-Ma’ruf memperoleh suara 2.351.057 (91.68%) di Bali, yang notabene mayoritas penduduknya adalah non-Muslim. Demikian pula di Provinsi Papua, Jokowi-Ma’ruf memperoleh suara 3.021.713 (90.66%).

Jika berbicara tentang narasi menguatnya politik identitas di Indonesia, kemenangan Jokowi di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan ukuran seberapa kuat politik identitas tersebut merebak. Penulis tidak menyangkal bahwa kampanye kubu Prabowo dengan segala narasi yang di bangun dari Pilkada Jakarta 2017 hingga Pilpres 2019 menjadi penyebab merebaknya sikap intoleransi, sentimen, dan polarisasi di Indonesia melalui berbagai cara, dari door-to-door hingga sosial media.

Sayangnya, kekalahan Prabowo membuktikan bahwa mayoritas masyarakat masih tetap menjaga nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil alamain, yang santun, toleran, sehat, dan mengedepankan persatuan yang tentu saja hal ini sangat berpengaruh terhadap perpolitikan dan demokrasi di Indonesia.

Wallahu a’lam.