Kejawaan dan Tafsir Al-Quran

Kejawaan dan Tafsir Al-Quran

Kejawaan dan Tafsir Al-Quran

Sebagai ruang budaya, Jawa memang unik. Ia bukan hanya dipahami sebagai identitas tentang wilayah kepulauan, tetapi di dalamnya terdapat juga kesadaran tentang tradisi, kearifan, dan makna diri.

Dalam aspek bahasa, unsur-unsur nilai ditumbuhkan di dalamnya. Islam sebagai kearifan dan ajaran dari luar tidak serta merta ditolak atau sebaliknya, kesadaran kejawaan dibuang karena alasan puritan. Yang terjadi adalah persenyawaan antarkeduanya: adopsi dan adaptasi.

Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam bentuk arsitektur masjid di Jawa masa lalu. Mereka tetap mempertahankan tradisi Jawa sembari mengadopsi unsur nilai dari Islam serta mempertimbangkan aspek ruang dan cuaca.

Kita juga bisa menemukannya dalam hal bahasa, identitas nama, serta definisi definisi tentang nilai dan kesadaran. Di Jawa kita mengenal istilah “tolak balak”.
Istilah ini sejatinya berasal dari bahasa Arab “daf’ul-bala'”; “dilalah” berasal dari “bi idznillah” atau “la dlilla illallah”. Dan masih banyak lagi.

Nama-nama orang, kadangkala juga memainkan teknik ini. Ada nama Bagus Ngarpah. Nama ini berasal dari Bagus ‘Arafah. Nama Saridin berasal dari Sadruddin dan nama nama lain.

Lebih dari itu, dalam konsep keagamaan, orang Jawa juga membangun istilah sendiri. misalnya, kita kenal ada istilah sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah sukma. Dari semuanya itu, dalam hidup orang Jawa, agama menjadi demikian sentral posisinya. Dalam serat Wedhatama bait pertama dan baris terakhir dikatakan: “kang tumprap ing tanah Jawi agama ageming aji”.

Dalam hal tradisi penulisan Tafsir Al-Quran, bahasa Jawa saya kira juga menjadi fenomena yang sangat menarik. Bahasa Jawa dipakai para ulama di Jawa dalam menulis tafsir dengan variasi aksara. Variasi aksara ini juga mengandung kepentingan dan konteks ruang sosial politik.

Bahasa Jawa dengan aksara Pegon dan teknik makna gandul secara umum lazim dipakai oleh orang-orang yang hidup dalam tradisi dan ruang pesantren. Misalnya, kiai Saleh Darat menulis Faid al-Rahman, Hidayaturrahman; Tabshir Anam menulis Tafsir Al-Quran al-Karim; Kiai Bisri Mustafa menulis Tafsir Yasin dan Tafsir Al-Ibriz; Kiai Misbah Mustafa menulis Tafsir Al-Iklil dan Tajul Muslimin; Kiai Imam Ghazali Solo menulis Tafsir Al-Balagh.

Tafsir Al-Quran bahasa Jawa dengan aksara Jawa, lazim dipakai di kalangan orang-orang kauman yang secara sosiologis dekat dengan Jawa pedalaman. Contoh model ini adalah Kiai Bagus Ngarpah menulis Tafsir Jawen, anonim Tafsir Serat Patekah; Cucu Cahyati menulis Tafsir Walngasri.

Adapun Tafsir Al-Quran bahasa Jawa aksara Latin banyak diinisiasi oleh kiai dengan basis kaumam dengan kesadaran sosial masyarakat urban. Misalnya, kiai Moenawar Choelil Semarang menulis Tafsir Hidayaturrahman; Ja’far Amir Solo menulis Tafsir Al-Huda; Bakri Syahid Yogya menulis Tafsir Al-Huda; Kiai Raden M. Adnan menulis Tafsir Suci Boso Jawi.

Ini adalah kisah tentang orang Jawa dan bahasa Jawa bergulat dalam tradisi penafsiran Al-Quran. Bagaimana tentang dialektika, kontestasi, dan kepentingan politik yang terjadi di dalamnya, selengkapnya bisa dibaca dalam artikel yang saya tulis di Jurnal Shuhuf. Sila klik tautannya di bawah ini.

Tabik..
Islah Gusmian

*) Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh web Kementrian Agama.