Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. Beliau adalah istri nabi yang ke-5. Kalau dirunutkan, ia dinikahi Nabi setelah Hafshoh binti Umar ibn Khattab. Ada hal menarik dari kisah Zainab sebelum beliau dipinang oleh Nabi Muhammad SAW. Zainab, seorang perempuan santun nan baik, adalah janda dari Ubaidah bin Harist, salah seorang pejuang di perang Badar yang terkenal. Takdir menggariskan bahwa ia harus gugur dalam permulaan duel melawan orang musyrik Quraish. Lalu, apa keistimewaan dari Zainab sehingga penulis tertarik untuk share di sini?
Sebelum membahas keistimewaan Sayyidah Zainab, penulis harus utarakan bagaimana kekaguman penulis setiap membaca sejarah dari istri-istri Nabi—yang kita sebut sebagai Ummahat al-Mu’minin (ibunya orang-orang mu’min). Ini tentunya sangat berbeda ketika penulis membaca sejarah kelam peperangan saudara antara sesama muslim di awal-awal tahun sepeninggal nabi (sekitar 25 tahun setelah beliau wafat).
Kembali pada pembahasan Zainab. Ketika penulis membaca sejarah perempuan-perempuan muslim di masa Nabi maupun sesudahnya, penulis bisa sedikit menguatkan kesimpulan bahwa perempuan dalam pandangan Islam sangat dihargai—tidak seperti anggapan kaum Islamophobia (anti Islam). Setidaknya itu tergambar dengan jelas misalkan di masa-masa peperangan, dalam hal ini posisi Sayyidah Zainab sebelum dinikahi Nabi adalah sebagai juru obat (bisa dikatakan dokternya umat Islam zaman dulu).
Dikisahkan dalam kitab Syubuhatun wa Abatilun Haula Ta’addudi Zaujatin Nabi oleh Ali as-Shobuni (ulama’ kontemporer), bahwa ketika ia (Zainab) mengetahui suaminya gugur di dalam medan pertempuran Badar, alih-alih meratapi dan menangisi kematian Ubaidah, ia malah tetap saja menjalankan kewajibannya sebagai juru obat atau dokter bagi beberapa pejuang muslim yang waktu itu terluka. Ini salah satu bukti betapa kuatnya dan teguhnya hati beliau.
Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seseorang ketika ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintainya, namun di sisi lain ia tetap saja menjalankan kewajibannya yang lebih besar, yakni Nusru Dinillah (membantu agama Allah). Mungkin karena sifat baik dan kesabarannya ini—disamping karena perintah Allah—kemudian Nabi menikahinya.
Ada catatan penting terkait dengan Sayyidah Zainab yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad Mahmud Showwaf dalam salah satu kitabnya Zaujatun Nabi at-Thohirat. Usia Sayyidah Zainab ketika dinikahi Nabi telah menginjak kepala enam (tepatnya enam puluh tahun), dan ia tidak bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan Nabi kecuali hanya dua tahun saja, karena setelah itu ia dipanggil Allah SWT. Jadi bisa dibayangkan bagaimana tertolaknya anggapan kelompok Islamophobia atau Orientalis yang mengatakan bahwa Nabi melakukan poligami hanya karena ingin menyalurkan gairah seksual dan hawa nafsunya belaka.
Penulis perlu utarakan alasan-alasan logis dan data sejarah di sini karena sampai sekarang—asumsi penulis—masih banyak orang Islam yang kadang tidak bisa menjawab pertanyaan atau tuduhan-tuduhan yang disematkan pada persoalan pernikahan Nabi. Di sisi lain, para perempuan muslim zaman now juga sudah selayaknya dapat meniru atau mencontoh bagaimana sikap-sikap istri Nabi. Lebih spesifiknya, perempuan muslim itu harus menunjukkan kemandiriannya, dan tidak terlalu bergantung dengan laki-laki (suaminya).
Memang kalau dilihat dari sisi kecenderungan alamiahnya (sexuality), perempuan memang memilki sifat yang lebih mengedepankan hati atau peraasan. Tapi, kalau boleh jujur, para laki-laki lebih menyukai perempuan yang tidak terlalu bergantung dan selalu mementingkan perasaan, tapi juga rasional. Penulis berkata seperti ini bukan tanpa alasan, karena hal inilah yang sering terjadi di lapangan.
Pada intinya, penulis—selain ingin menolak anggapan kaum Islamophobia—juga ingin mengajak kawan-kawan muslim, terkhusus para perempuan muslim untuk selalu meneladani sifat dari istri-istri Nabi yang begitu setia, kuat, mandiri dan tentunya solihah sebagaimana terekam jelas di atas. Sebaliknya, bukan menjadi perempuan yang selalu mementingkan perasaannya dan terlalu bergantung kepada laki-laki, karena sifat seperti ini akan membuat posisi perempuan selalu inferior, nomor dua, dan kurang dipertimbangkan. Wallahhu a’lam.
Zaimul Asroor, penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.