Di antara banyak karya tafsir yang bercorak sufistik dalam khazanah keilmuan Islam, salah satu yang menonjol adalah kitab Lathaif al-Isyarat karya Abdul Karim al-Qusyairi. Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh kitab Lathaif al-Isyarat.
Kitab Lathaif al-Isyarat adalah salah satu karya di bidang tafsir Al-Qur`an yang digolongkan ke dalam tafsir bercorak sufistik. Kitab tafsir yang terdiri atas 3 jilid ini adalah karya seorang sufi asal Naisabur bernama Imam Abdul Karim Al-Qusyairi (w. 465 H).
Al-Qusyairi menulis kitab Lathaif al-Isyarat lebih dulu dibandingkan dengan karyanya yang populer di bidang Tasawuf, yakni al-Risalah al-Qusyairiyyah. Jika kitab al-Risalah selesai ditulis pada tahun 438 H, maka kitab Lathaif al-Isyarat telah diselesaikan pada tahun 434 H.
Profil Singkat
Di balik penamaan sebuah kitab, terdapat maksud dan tujuan tertentu yang dibawa oleh seorang mufassir. Munir Sulthon dalam Manahij fi Tahlili Nadhmil Qur`ani, menjelaskan alasan penamaan Lathaif al-Isyarat oleh Imam Al-Qusyairi.
Menurut Munir, kata Lathaif digunakan untuk menyebut bahasa yang dipakai oleh seorang pencinta bersama kekasihnya. Sedangkan, kata al-Isyarat digunakan untuk menyebut petunjuk kepada maksud yang samar-samar. Samarnya petunjuk itu lantaran redaksi yang tertulis tidak cukup untuk menampung seluruh maksud yang terkandung di dalamnya.
Terkait dengan metode penafsiran kitab Lathaif al-Isyarat, Imam Al-Qusyairi menjelaskan secara singkat dalam mukaddimah kitabnya. Beliau mengatakan bahwa penjelasan makna isyarat di dalam kitabnya didasarkan pada penjelasan maupun ajaran-ajaran para ahli makrifat (sufi).
Tidak hanya mengutip penjelasan para sufi, Imam Al-Qusyairi juga mengikuti jalan yang ditempuh oleh para sufi. Jalan yang dimaksud adalah upaya-upaya membersihkan hati dan jiwa dari kotoran-kotoran yang dapat menghalangi cahaya pengetahuan masuk ke dalam hati. Beliau menambahkan, semua usaha itu juga diiringi dengan memohon pertolongan kepada Allah Swt. agar terhindar dari kekurangan dan kekeliruan.
Muhammad Ali Iyazi dalam al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum merinci sistematika penafsiran yang digunakan oleh Imam Al-Qusyairi. Ali Iyazi menjelaskan, Imam Al-Qusyairi terlebih dulu menjelaskan makna basmalah di setiap awal surat. Selanjutnya, beliau menjelaskan makna ayat-ayat dengan dilengkapi penjelasan kebahasaan secara singkat, syair-syair, serta pendapat para sufi terdahulu.
Meski demikian, hal-hal yang disebutkan oleh Ali Iyazi tidak selalu diaplikasikan oleh Imam Al-Qusyairi dalam setiap ayat. Terkadang beliau langsung menuju kepada penjelasan makna isyarat. Bahkan, beberapa ayat juga tidak diberikan penafsiran.
Keistimewaan Kitab Lathaif al-Isyarat
Kitab Lathaif al-Isyarat menjadi salah satu kitab tafsir sufistik yang banyak dikaji oleh sarjana Al-Qur`an. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keistimewaan yang dimiliki kitab tersebut. Penulis setidaknya menemukan dua keistimewaan yang menonjol dari kitab ini.
Pertama, penjelasan lafal basmalah setiap surat. Bagi Imam Al-Qusyairi, lafal basmalah, meskipun bukan bagian dari surat (kecuali Al-Fatihah), tetaplah memiliki makna masing-masing. Perbedaan itu memiliki keterkaitan dengan substansi dalam setiap suratnya. Karena itu, beliau berusaha mengungkap isyarat-isyarat yang terkandung di dalam setiap basmalah.
Kedua, selamat dari kritik para sarjana Al-Qur`an. Bagi para pengkaji Al-Qur`an, tafsir sufistik memang cukup kontroversial. Selain karena ajaran Tasawuf yang dituduh tidak memiliki landasan syariat, makna-makna batin yang diekstrak oleh para mufassir sufi dalam penafsirannya sering dianggap menyelisihi zahir ayat. Memang tak dapat dipungkiri, sejumlah mufassir sufi terkadang kebablasan dalam menakwil ayat Al-Qur`an.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi kitab Lathaif al-Isyarat. Kehati-hatian Imam Al-Qusyairi dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an membuat kitabnya terhindar dari kritik. Padahal, mufassir sufi sebelum dirinya, Abu Abdurrahman al-Sulami, dan mufassir sufi setelahnya, Muhyiddin Ibn ‘Arabi, tidak luput dari kritik. Bahkan, ada juga yang sampai mengafirkan kedua tokoh tersebut.
Sekalipun Imam Al-Qusyairi fokus pada penggalian makna batin ayat, dirinya tetap menghindari makna atau istilah yang sekiranya bertentangan dengan zahir ayat. Bahkan, tidak jarang beliau menyandarkan penafsirannya pada hadis-hadis Nabi. Itu tak lepas dari kepribadiannya yang selain sebagai seorang sufi, juga sebagai salah seorang muhaddits besar di Naisabur.
Demikianlah profil kitab Lathaif al-Isyarat beserta keistimewaan yang dimilikinya. Keistimewaan sebuah karya tafsir tidak hanya membuktikan kedalaman ilmu pengarangnya, namun juga kegigihannya dalam mempelajari dan merenungi Al-Qur`an serta mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya. [NH]