Kegalauan Wacana Pemikiran Islam

Kegalauan Wacana Pemikiran Islam

Kegalauan Wacana Pemikiran Islam

Pasca jatuhnya Baghdad tahun 1285 M, laju pemikiran Islam mulai mengalami kemunduran. Berangsur-angsur dominasi peradaban dan ilmu pengetahuan berpindah dari Timur ke Barat. Beberapa sejarawan Arab meluapkan kegalauannya dengan mengatakan bahwa karya-karya sarjana abad pertengahan tidak lebih dari sekadar memberi komentar atas karya-karya pendahulunya.

Beberapa abad setelahnya, nusantara sedang mengalami proses Islamisasi besar-besaran. walisongo hadir mendakwahkan ajaran Islam ke masyarakat Nusantara. Para muballigh ini memang bukan seperti Imam al-Ghazali, Imam Nawawi, dan sarjana-sarjana besar Islam lainnya yang memiliki segudang karya dan berjilid-jilid.

Meski demikian, para wali songo dan penyebar Islam lainnya di nusantara lebih memilih jalur “praksis” dengan menyebarkan Islam secara langsung kepada masyarakat ketimbang menjadi penulis. Dan bisa jadi, secara kapasitas keilmuan, beliau-beliau ini tidak kalah hebat dibanding ulama Timur Tengah saat itu.

Beberapa abad kemudian, tepatnya di abad ke-17 hingga abad 19, wacana pemikiran Islam di Timur Tengah kembali menunjukkan tanda-tanda adanya kebangkitan. Para sarjana-sarjana Islam sudah mulai bangun dari tidur panjangnya untuk kembali meramaikan dunia pemikiran. Tak pelak, di abad tersebut muncul sejumlah sarjana yang cukup produktif menawarkan wacana pemikiran Islam.

Syaikh Thahir Ibn Asyur, misalnya, ulama asal Tunisia ini melahirkan karya monumental berjudul Maqashid Syariah al-Islamiyyah. Sebuah kitab tentang penjabaran (mungkin lebih tepatnya pengembangan) ushul fiqh. Karena karyanya ini, Ibn Asyur sempat dianggap sebagai pelanjut Imam as-Syathibi.

Era selanjutnya, sarjana-sarjana Islam di negara lain juga bermunculan bak jamur di musim penghujan. Hasan Hanafi dari Mesir. Arkoun, al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Sahrour, dan sarjana Islam lainyya menulis karya-karya yang diperbincangkan dan didiskusikan di ruang-ruang akademik.

Di tahun ’80 hingga 2000-an, wacana dan pemikiran-pemikiran sarjana Timur Tengah ini didiseminasikan oleh pelajar-pelajar Indonesia di Timur Tengah. Berbagai koran, jurnal, dan media tulis lainnya, dipenuhi dengan wacana pemikiran sarjana Timur Tengah. Bahkan seperti menjadi diskursus tersendiri.

Saya masih ingat betul ketika awal-awal mengikuti perkuliahan di salah satu kampus negeri di pinggiran kota Jakarta. Saat itu salah seorang dosen sebelum memulai kontrak belajar sempat menanyakan kepada para mahasiswanya.

“Siapa di antara kalian yang pernah membaca buku-bukunya Nasr Hamid, Arkoun, al-Jabiri, atau Hasan Hanafi?” Saya yang memang kebetulan mengikuti perkuliahan tersebut, tanpa kaku menjawab, “Saya”. Dan dosen tersebut kemudian menimpali, “Jangan baca buku-buku tersebut sebelum membaca dengan baik karya-karya ulama abad pertengahan seperti Jalaludin as-Suyuthi, dan lain-lain”.

Di tahun-tahun awal kuliah, saya masih merasakan adanya geliat kajian pemikiran Islam yang cukup dinamis. Ruang diskusi baik di dalam kampus maupun di luarnya masih cukup banyak. Bahkan saya juga masih ingat dengan baik, awal-awal munculnya sosial media bernama “facebook” di tahun 2009 hingga akhir tahun 2011, masih cukup ramai dengan rubrik “catatan” dari teman-teman yang berisikan wacana keislaman yang dipenuhi dengan diskusi-diskusi yang cukup menggairahkan. Bahkan ada beberapa penulis buku yang menerbitkan bukunya berawal dari status-statusnya di facebook. Sebuah tanda yang menunjukkan bahwa sosial media juga membawa berkah.

Kini, pasca tragedi memilukan di negara-negara Timur Tengah, sepertinya berdampak cukup besar bagi lesunya dunia wacana dan pemikiran Islam. Bahkan kenyataan ini bisa dibilang sebuah“kemunduran” yang cukup jauh. Tak ada lagi Nasr Hamid, Muhammad al-Jabiri, Arkoun baru yang muncul ke permukaan. Pada titik ini, kegalauan jilid kedua bagi dunia wacana dan pemikiran Islam tidak bisa terelakkan.

Saya pribadi menaruh harapan yang cukup besar terhadap akademisi-akademisi Indonesia yang jika dilihat dari sepak terjangnya di dunia akademik di Barat, nama dan tulisan-tulisannya lebih mudah diakses ketimbang sarjana-sarjana Timur Tengah. Terlebih dengan digaungkannya Islam Nusantara. Bagaimana dengan Anda?