Kegagalan Negara dalam Menangani Aksi Intoleransi

Kegagalan Negara dalam Menangani Aksi Intoleransi

Tulisan ini akan menjelaskan kasus intoleransi dan kegagalan-kegagalan negara dalam menangani kasus-kasus tersebut.

Kegagalan Negara dalam Menangani Aksi Intoleransi
Ahmadiyah di Lombok Timur diserang, padahal mereka sudah hidup di transito. Pict by FB Yendra Budiana

Beberapa waktu lalu, sekelompok orang menyerang Jamaah Ahmadiyah di Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur 19/5/2018. Tragedi itu mengakibatkan rusaknya 6 rumah anggota Jemaat Ahmadiyah (Detik.com, 20/05/2018).

Dengan demikian, praktis, suka cita bulan ramadhan ternoda oleh aksi intoleransi dan lagi-lagi berimbas mencoreng wajah keberagaman kita. Yang lebih memilukan, tragedi itu terjadi sebanyak tiga kali dalam kurun waktu dua hari.

Aksi intoleransi terhadap kelompok Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Di Lombok, sebelumnya, tercatat sudah beberapa kali Jemaat Ahmadiyah menjadi sasaran tindakan serupa. Sebagaimana dilansir oleh Jaringan Gusdurian dalam pernyataan sikap resminya (20/05) bahwa, tahun 1999, penyerangan juga pernah terjadi di Bayan, Lombok Barat.

Kelompok Ahmadiyah sebenarnya hanyalah satu dari sekian banyak korban. Berdasarkan data laporan tahunan Wahid Institute selama beberapa tahun terahir (2014-2016) yang menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan atas tindakan intoleransi dengan menggunakan kekerasan.

Diawali pada tahun 2014 dengan catatan terjadinya aksi intoleran sebanyak 187 kasus dan pada tahun berikutnya (2015), angka ini meningkat secara drastis menjadi 20% dengan 294 kasus. Pada tahun berikutnya (2016) angka ini naik lagi menjadi 7% dengan 313 kasus. Untuk laporan di tahun 2017, mari kita tunggu bersama hasilnya.

Kasus-kasus tersebut meliputi isu yang beragam, seperti penolakan tempat ibadah, aliran sesat, pelarangan penggunaan simbol keagamaan, pelarangan kegiatan kelompok lain dsb.

Melihat catatan di atas, sebenarnya resistensi tindakan intoleransi bisa dikatakan belum sepenuhnya mereda. Kasus terjadinya penyerangan kembali terhadap JAI, setelah 17 tahun berlalu, terhitung dari aksi penyerangan terahir (2001), hanyalah satu dari sekian banyak potensi munculnya aksi intoleransi – dengan menggunakan kekerasan – di waktu yang tidak bisa diduga secara pasti; dengan catatan jika permasalahan semacam ini tidak ditangani dengan serius dan ditindak dengan tegas oleh Negara.

Lemahnya Peran Negara

Di lain pihak, berdasarkan penyerangan yang terjadi (19-20) dan berlangsung sebanyak tiga kali itu, saya kira, ada kontribusi dari kurang tegasnya pihak yang berwenang. Terlepas dari upaya keras yang telah dilakukan dan kendala yang dihadapi.

Sikap tidak tegas yang ditunjukkan pemerintah, dalam beberapa kasus lain, meminjam bahasa Sidney Jones (2015) dalam “Sisi Gelap Demokrasi” disebabkan oleh adanya keterkaitan para aktor Negara dengan para pelaku aksi intoleran.

Lebih lanjut, untuk menyikapi fenomena ini, Jones mengusulkan sebuah solusi alternatif untuk menangani aksi-aksi intoleransi. Menurut Jones, konsep zero toleranceagainst intolerance – (tidak ada toleransi terhadap aksi intoleran) harusnya bisa diterapkan oleh penegak hukum di Indonesia.

Pada tataran praktiknya, dia menyarankan, meski sekecil apapun kesalahan seseorang (aksi intoleransi) yang terindikasi adanya motif kebencian unsur SARA, maka sudah selayaknya hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman maksimal. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan efek jera (deterrent) dan pencegahan terhadap aksi serupa.

Saran Jones tersebut sebagaimana dijelaskan terinspirasi dari rekam jejak lemahnya Negara dalam menindak para aktor aksi intoleran. Sebagaimana putusan pengadilan yang hanya menjatuhkan hukuman ringan – tiga hingga enam bulan – pada pelaku pembunuhan tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik (2011) dan enam bulan untuk pelaku pembakaran 17 di Cianjur (2005).

Melihat situasi mutakhir dengan semakin meningkatnya isu SARA dan tidak sedikit yang berujung dengan tindakan intoleransi, sudah selayaknya kita berbenah diri, baik untuk mengatasi masalah yang terjadi – yang salah satunya yakni dengan menerapkan konsep yang ditawarkan oleh Jones – dan yang lebih penting lagi adalah usaha pencegahan dini.

Untuk yang terakhir itu, saya kira, memperbanyak ruang-ruang tatap muka dan dialog adalah sesuatu yang niscaya. Bukankah Islam sendiri sangat menganjurkan untuk menyelesaikan masalah dan mengajak ke jalan yang benar dengan cara yang santun dan mendorong untuk berdialog? Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An Nahl (16): 125:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِين

Maka, akan menjadi lebih elok, jika perbedaan pandangan ataupun permasalahan yang ada kemudian disikapi dengan kepala dingin dan diselesaikan dengan obrolan dan diskusi hangat sehingga aksi intoleransi, menurut saya, bisa dihindari.

Aminuddin Hamid, penulis adalah pegiat di islami institute jogja.