Tentara Nippon (Jepang) menginjakkan kaki pertama kali di pulau Jawa pada 1 Maret 1942. Mereka datang untuk mengambil-alih Nusantara dari kekuasaan Belanda yang kalah dalam perang Asia Timur Raya. Nasib rakyat Indonesia saat itu tak ubahnya bak lepas dari mulut harimau, masuk ke dalam mulut buaya.
Tidak butuh waktu lama, pada 7 Maret 1942, Nippon langsung mendeklarasikan susunan pemerintahan militer dengan nama Djawa Gunseikanbu. Kantor pusatnya di Gambir Timur Batavia. Di antara struktur penting dalam kabinet pemerintahan ini adalah Shumubu, atau Kantor Urusan Agama, yang dipimpin oleh Kolonel Horie.
Keberadaan Kantor Urusan Agama dinilai penting karena Jepang ingin mengambil hati umat Islam yang sudah terlalu lama mendapat diskriminasi dari kebijakan Belanda. Untuk memuluskan strategi itu, Jepang menjalankan Kantor Urusan Agama dengan merekrut pegawai dari Jepang sendiri dan sisanya perwakilan dari rakyat Indonesia.
Dalam laporan yang ditulis Saleh Haidara, tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, pegawai Kantor Urusan Agama yang berasal dari Jepang ada 12 orang. Sebagian mengaku beragama Islam, seperti Abdul Hamid Ono, H. Abdoel Mun’im, Inada, Haji Soezoeki Saleh, Muhammad Taufik Sasaki, Abdul Munir Watanabe, sementara yang tidak beragama Islam semisal Kamijo, Ogino, dan lain-lain. Adapun pegawai Indonesia yang bekerja di kantor ini sebagian besar diambil dari Kantoor Inlandasche Zaken (Kantor Urusan dalam Negeri) yang sudah terbentuk pada masa Belanda, di antara petugasnya adalah Hussein Iskandar, Mr. Soebagio, Haji Aboe Bakar, Abdullah Aidid, dan lain-lain.
Sejak dibuka pertama kali, Kantor Urusan Agama sudah menarik perhatian masyarakat. Pegawai Jepang yang beragama Islam tersebut sontak menjadi obrolan rakyat. Apalagi atribusi yang mereka gunakan identik dengan simbol Islam: jubah, sorban, kopiah istanbul, dan seterusnya.
Guru ngaji, imam masjid, dan masyarakat umum berkunjung ke Kantor Urusan Agama untuk bertemu pegawai muslim Jepang dan mengucapkan selamat atas kemenangan mereka dalam perang. Tentara Jepang memberikan kepada mereka seleberan dalam bahasa Jepang untuk ditempel di setiap masjid. Isinya pesan untuk tentara Jepang supaya tidak melakukan hal-hal yang dilarang di dalam masjid dan jangan sampai menganggu perasaan umat Islam.
Setelah masyarakat berkunjung ke Kantor Urusan Agama, pada minggu berikutnya giliran pemerintah Jepang yang mendatangi masjid dan tokoh penting Islam di Batavia, supaya semakin mengenal dan lebih dekat dengan umat Islam. Di antara masjid yang dikunjungi adalah masjid Kwitang.
Kolonel Horie Bertemu Habib Ali di Masjid Kwitang
Tujuan Nippon datang ke masjid Kwitang adalah untuk bertemu Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi, populer dengan nama Habib Kwitang. Pertemuan ini terjadi kisaran tanggal 17 Maret 1942. Surat kabar Jaya Timur memberitakan bahwa pertemuan itu berlangsung kira-kira jam sembilan pagi di Madrasah Unwanul Falah, lokasinya berdekatan dengan masjid Kwitang.
Kolonel Horie datang bersama juru bicaranya, Minawi, serta dua orang pegawai Jepang lainnya. Kedatangan mereka disambut oleh Habib Ali sendiri dan diiringi oleh murid-murid Unwanul Falah dengan lagu selamat datang dalam bahasa Arab.
Masyarakat sangat antusias menghadiri pertemuan ini. Ruangan madrasah begitu sesak. Taksirannya, yang hadir hadir tidak kurang dari 5000 sampai 6000 orang. Di antara mereka yang hadir, datang dari lokasi yang jauh. Mereka bermalam di masjid karena penasaran dengan isi pidato pembesar Jepang itu.
Dalam pidatonya, Kolonel Horie menyampaikan perasaannya terhadap masyarakat Indonesia. Dia sangat senang melihat pendidikan anak-anak di Indonesia. Boleh dikatakan bahwa sekarang Indonesia berada dalam keadaan selamat. Di sini harus diciptakan dunia baru supaya kehidupan murid-murid benar-benar tenang.
Setelah Kolonol Horie pidato, Habib Ali mengucapkan banyak terima kasih, sambil berkata: berbulan-bulan kami berada dalam kecemasan dan kegelapan, karena bahaya senantiasa mengancam kami, sekarang berkat kedatangan saudara kami dari Nippon, segala kekhawatiran kami itu habis lenyap.
Khutbah Jum’at Pertama Bahasa Indonesia di Masjid Kwitang
Khutbah Jum’at di masjid Kwitang biasanya menggunakan bahasa Arab. Namun karena ada rombongan pembesar Nippon dan tokoh pergerakan nasional datang ke masjid Kwitang, Habib Ali menginisiasi khutbah dengan bahasa Indonesia.
Peristiwa ini terjadi pada Jum’at, 12 November 1942. Disebutkan dalam surat kabar Asia Raya bahwa hari itu kunjungan yang sangat istimewa. Saat itu pulalah Habib Ali al-Habsyi pertama kali mengadakan khutbah dalam bahasa Indonesia. Rombongan yang hadir terdiri dari ulama dan pemuka Indonesia, seperti Bung Karno, KH. Mas Mansur, Hatta, Wondoamiseno, dan pejabat Nippon bagian agama. Karena kunjungan itu, masjid Kwitang penuh hingga meluap keluar.
Habib Ali al-Habsyi dalam khutbahnya menjelaskan, pada masa Belanda khutbah Jum’at tidak menggunakan bahasa Indonesia bukan berati tidak suka, tetapi karena banyak halangan, rintangan, dan fitnah yang datang. Tapi sekarang, pemerintah Nippon sangat menghargai agama, terutama agama Islam, agama rakyat Indonesia.
Habib Kwitang juga menegaskan, agama Islam adalah agama dunia dan perdamaian, agama persatuan. Umat Islam harus bersatu. Tapi mengapa umat Islam Indonesia belum bersatu? Semua itu memang dibikin dan diatur oleh pihak pemerintah Belanda yang sudah musnah itu, supaya rakyat Indonesia terutama umat Islam bercerai-berai. Tapi sekarang Alhamdulillah, kita menyaksikan sendiri, bahwa para pemuka-pemuka Islam bersatu di Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). Demikian pula pemuka Islam dan kaum kebangsaan, kaum terpelajar sama bersatu hati, tidak caci-cacian seperti zaman lama.
Habib Kwitang juga mengapresiasi bertambah banyaknya muslim yang mau shalat berjamaah di masjid. Yang datang ke masjid tidak hanya orang awam, tetali juga kaum terpelajar dan pimpinan pergerakan, termasuk Bung Karno: beliau sering keliling masjid Jakarta.
“Lihatlah dan perhatikan kemajuan zaman sekarang. Dulu tidak ada kaum terpelajar yang suka menginjak berjamaah di masjid, tetapi pada zaman baru ini, kita melihat dan mendengar di sana-sini, para pemimpin dan para terpelajar sama rapat memenuhi kewajiban di tiap-tiap masjid Djami’. Tidak saja menjadi makmum, juga ada pula yang menjadi Imam dan Khatib seperti saudara I.R Sofwan. Syukur Alhamdulillah keislaman kita, bertambah maju. Terutama selama saudara kita I.R Soekarno datang di Jakarta yang tidak berhentinya terus berputar di beberapa masjid Jami’, seolah-olah membantu mempropagandakan agama kita yang suci itu,” Tutur Habib Ali.