Kenapa patung Yesus itu selalu dipahat dengan bentuk ideal dalam konstruksi ideal seorang laki-laki? Tidakkah kita pernah menyoal bagiamana jika Yesus itu ternyata gemuk, alias tidak sixpack?
Percayalah, itu tadi potret bagaimana seorang Katholik mengkelakari perilaku keagamaannya. Tidak ada maksud menghina atapun menista. Sama seperti ketika Gus Dur berkelakar tentang siapa yang paling dekat dengan Tuhan. Alih-alih umat Islam, kita mau manggil Tuhan aja musti pakai TOA.
Humor adalah humor. Ia merupakan refleksi sekaligus medium otokritik yang signifikan tanpa harus menyulut pertikaian. Dengan kata lain, mereka yang terlalu serius menanggapi humor dengan gaya sepanengan, hampir bisa dipastikan jika hidupnya belum betul-betul merdeka.
Saya termasuk orang yang percaya bahwa kita adalah produk dari konstruksi sosial. Ya, pola pikir manusia adalah wujud dari manifestasi berbagai ideologi, paham serta pikiran yang berkembang disekitar kita. Maka, lingkungan sosial sangat mempengaruhi karakter seseorang termasuk dalam berpikir bahkan dalam berpersepsi.
Selama lebih dari 20 tahun saya hidup dalam lingkungan homogen, baik dalam lingkup agama maupun suku. Dalam jalan pikir ini, tak mungkin saya elakkan bahwa saya juga pernah disusupi pikiran pikiran sentimentil terhadap komunitas lain yang berbeda. Tumbuhnya pikiran-pikiran seperti ini tentu saja tak lepas dari atmosfir pemikiran disekeliling saya, ditambah tumpang tindihnya informasi di media sosial, dan juga kelalaian mempercayai sesuatu tanpa menelaah kebenarannya terlebih dahulu.
Hal itu terus berlangsung sampai saya bertemu dengan beberapa orang baru dengan latar berlakang pendidikan dan pengalaman yang beragam, sehingga memperkaya sudut pandang saya dalam menyikapi sesuatu. Ya, melanjutkan pendidikan di kota pelajar yang multikultural adalah sebuah keputusan dan langkah nyata saya untuk memahami perbedaan. Lebih-lebih kampus saya saat ini bergenre Katolik. Universitas Sanatha Dharma, Yogyakarta.
Bagi saya, bukan hal mudah untuk apply permohonan kuliah di kampus Katholik itu. Bukan tentang orang-orang yang akan memperdebatkan keputusan saya, tapi lebih kepada kecemasan pribadi tentang bagaimana saya, sebagai minoritas, berinteraksi nantinya. Akankah mereka menerima saya dengan baik?
Medio Agustus 2017 perkuliahan itu dimulai. Awalnya, ada sedikit ketidaknyamanan yang saya rasakan ketika harus belajar dengan adanya salib di setiap sudut ruangan. Rupanya, itu hanya kecemasan di awal saja. Dan beberapa hari selanjutnya saya sama sekali merasa tak terganggu. Kecemasan saya untuk sholat juga sama sekali tak berarti, karena kampus juga menyediakan ruangan khusus yang nyaman untuk kami sholat.
Kemudian perihal teman-teman di kampus, lagi-lagi kecemasan saya menjadi yang terkucilkan tak terbukti sama sekali. Mereka adalah pribadi pribadi yang hangat. Kami sama sekali tak mempersoalkan agama sebagai sebuah batasan untuk berinteraksi. Mereka sering mengikhlaskan perut mereka semakin lapar, demi menunggui saya selesai sholat. Tak ada intervensi sama sekali terhadap akidah dan ibadah saya.
Para pengajar pun begitu, tak memandang mahasiswa atas dasar agama mereka. Mereka memegang teguh prinsip pendidikan, bahwa ilmu harus disebar kepada siapa saja. Tak sekalipun saya merasa terintimidasi hanya karena saya merasa berbeda.
Hal lain yang kemudian membuat saya kagum adalah bagaimana suatu kali, dalam satu mata kuliah mereka bisa bercerita tentang Tuhannya dengan ringan. Sederet kelakar di awal tulisan ini adalah salah satuya. Mereka ‘mencandai’ Tuhannya namun saya yakin kekristenan mereka tak terkikis sedikitpun.
Inilah hal yang nampaknya jarang kita temui belakangan ini, terutama di dunia maya, dimana ‘kata’ Tuhan sungguh amat terasa jauh dibanding eksistensi Tuhan dalam kehidupan sehari hari. Di tengah situasi inilah kita rasanya merindu keberagaman yang hidup dengan nyaman. Nilai-nilai ketuhanan hidup tanpa memperdebatkan Tuhan yang mana. Dan bagi saya pribadi, di kota inilah saya sebagai seorang muslimah lebih mendekatkan diri kepada Allah,entah ini sebentuk pertahanan diri atau semacamnya.
Kemudian tibalah saya pada sebuah renungan, jika saya tak memutuskan untuk mengenal keberagaman, mungkin selamanya saya akan terkungkung dalam sempitnya dunia yang saya bangun. Kita tak akan pernah tahu indahnya keberagaman jika tak menyelam kedalamnya.
Nofa Safitri, Mahasiswi Program Magister Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.