Kebencian Transenden

Kebencian Transenden

Kebencian Transenden

Saya bukannya telah menjadi “kami-AFI-nen” sehingga menggebu-gebu membelanya. Posting saya kali ini, walaupun ada hubungannya dengan Afi, tapi fokus saya bukan pada Afi-nya sebagai pribadi. Saya terperangah pada bagaimana orang bisa membenci seorang anak –anak! seumuran anak saya!– sedemikian rupa sampai-sampai membungkus kebencian itu dengan alasan keagamaan yang mereka buat-buat supaya terlihat sebagai “kebencian relijiyus” yang layak dibalas dengan pahala Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Alangkah menakutkannya agama kebencian itu!

Lihat di screen capture ini, bagaimana orang mengotak-atik nama anak –hatiku teriris setiap teringat bahwa ini cuma tentang seorang anak, seperti anakku dan anak kalian, yang kita semua ingin supaya kelak menjadi orang baik dan berguna– itu supaya kelihatan punya makna yang batil:

“Apakah di akhirat ada surga?”

Lalu dihakimi sebagai ungkapan meragukan atau bahkan mengingkari keberadaan surga di akhirat. Itu pikiran keji yang tak mungkin terbit selain dari akar kebencian yang mewatak.

Pertama, penterjemahan itu salah. Kalau diarabkan, kalimat itu akan menjadi:

أفي نهايةٍ فراديسُ؟

“Afii nihaaya(tin) faraadiisU?” Perhatikan: “U” (dlommah), bukan “A” (fathah), karena dengan terjemahan macam itu berarti kalimah “faraadiisu” secara gramatikal (nahwu) berkedudukan sebagai “mubtada’ muakhkhor” yang marfu’, alamat rafa’-nya dlommah (U), bukan fathah (A).

Kedua, itu cuma pertanyaan. Kalau jawabannya “na’am” (iya), mau apa?

Husnudhdhon saya, “A” pada “Afi” itu bukan dari hamzah, melainkan dari ‘ain. Jadi, arabnya:

عاف نهايةً فراديسَ

“‘Aafi nihaaya(tan) faraadiisa”

Yang artinya: “Sentosakanlah (Yaa Allah) pada penghujung –akhirat– (dengan karunia) sorga-sorga”. “Nihaayatan” manshub sebagai “dhorof”, “faraadiisa” (dengan fathah) manshub dengan beberapa wajah, salah satunya sebagai maf’ul bih dari ‘amil yang dibuang, taqdirnya: “urzuq (faraadiisa)”.

Bahwa huruf “A” disitu tidak diberi apostrop sebagai tanda ‘ain, itu kan biasa dalam nama-nama dengan tulisan latin. Seperti contoh nama Zaenal Maarif, misalnya. Kalau “a” pada “Maarif” itu dianggap hamzah, bukan ‘ain, artinya jadi “Hiasan Bundelan-bundelan”, bukan “Hiasan Pengetahuan-pengetahuan” sebagaimana –husnudhdhon saya– dimaksudkan oleh pemberi nama.

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’aala memelihara agama ini dari permainan orang-orang dengki yang menuntut pahala bagi kebencian mereka.[]

*) Yahya Cholil Staquf, Katib Aam PBNU