Video berdarah membanjiri linimasa twitter hari ini. Sebuah foto memperlihatkan seorang berbaju putih berbercak darah, tergeletak tak berdaya dikeroyok oleh orang-orang dengan pentungan di tangan. Akun lain menayangkan sebuah video tiga orang sedang menaiki menara masjid. Satu orang memanjat sampai ke puncak kubah menara, kemudian mencopot pengeras suara yang biasa digunakan untuk adzan. Satu orang yang lain mencongkel simbol bulan sabit yang ada di pucuk kubah. Mereka dengan bangga mengibarkan bendera RSS – Rashtriya Swayamsevak Sangh, ormas nasionalis Hindu terbesar di India.
Darah manusia sedang tertumpah lagi, kali ini mengalir di jalanan New Delhi, India. Kemarin (26/02/2020), terjadi kerusuhan yang melibatkan kelompok Hindu dan Muslim. Sampai tulisan ini dibuat, menurut laporan BBC, setidaknya 23 orang tewas akibat kerusuhan ini. Kebanyakan dari kelompok Muslim yang menjadi korban brutalnya serangan kelompok mayoritas Hindu.
Kekerasan yang dilakukan kelompok Hindu di India, seolah menguatkan bahwa semangat mayoritarianisme agama sedang menanjak naik di banyak tempat di dunia. Amerika Serikat di bawah Trump lahir dengan slogan MAGA (Make America Great Again) sebagai bidannya. Kepresidenan sebelumnya yang dipimpin oleh orang kulit hitam bernama tengah Husein seperti mengejek mayoritas kulit putih Amerika. Sentimen mayoritarianisme kulit putih ini jadi dagangan Trump. Janji membangun tembok di wilayah perbatasan Meksiko dan iming-iming mengembalikan kejayaan Amerika terbukti jadi isu manjur buat warga Amerika. Akibatnya, kelompok minoritas Latin dan kulit hitam tidak pernah nyenyak tidur dibuatnya selama beberapa tahun ini.
India tidak ketinggalan. Narendra Modi, Perdana Menteri India saat ini, bermain dengan kelompok konservatif demi mendulang suara. Kemenangannya di tahun 2019 diwarnai dengan pelintiran kebencian yang mengarah kepada Muslim sebagai minoritas. Partai pengusungnya, BJP – Bharatiya Janata Party adalah partai politik sayap kanan, yang mengidamkan nasionalisme Hindu India.
Bukan kebetulan juga kerusuhan berdarah ini bertepatan dengan kunjungan Donald Trump ke India. Dan bukan kebetulan mereka berdua bergandengan dan mengepalkan tangan bersama ke udara dengan senyum lebar.
Sentimen keagamaan memang sulit sekali dilepaskan dari insiden berdarah India hari ini. Di bawah kepemimpinan Modi, India sedang dilanda euforia slogan “Hindutva”, alias ajakan supaya India kembali bangkit dengan ke-Hindu-annya. Mengingatkan saya dengan misi NKRI Bersyariah yang diusung sebagian Muslim Indonesia. RSS, ormas pendukung Modi, meneriakkan seruan ”Jai Shri Ram!” yang mengagungkan dewa Rama di jalanan. Mirip ketika seruan takbir ditebar di jalanan Indonesia.
Ashok Nagar Delhi Mosque
नफरत की इंतिहा देखो,
धार्मिक स्थल को तहस नहस कर दियाWe can see a very dark time from our country’s history being repeated. Will we let this happen?#DelhiRiots #DelhiBurning https://t.co/77uXTP1fAQ
— gracie 💕 (@graciesmelons) February 25, 2020
Kiranya demikian lah mengapa kerusuhan berdarah kembali mengoyak India. Mulai dari pemerintah yang condong ke sayap kanan Hindu konservatif, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tumpul. Polisi India yang digambarkan ogah-ogahan dan selalu terlambat menindak sebuah kejadian, kini tidak lagi ada di film-film Bollywood. Kali ini nyata ada di tengah-tengah masyarakat. Oh, jangan lupa pula, ormas paramiliter yang sembarangan sweeping di jalan, dan pandai memanfaatkan sentimen agama supaya dapat dukungan politik. Sounds familiar, right?!
Situasi ini terjadi di India, namun kita juga bisa mengamini bahwa itu terjadi pula di tanah air. Persoalan struktural di pusaran kekuasaan – baik di parlemen maupun jalanan – sudah melatih kita supaya tidak banyak menaruh harap terhadap pemerintah dan aparat.
Satu-satunya harapan adalah diri kita sendiri. Namun kadang, kita diam-diam cukup abai dengan bibit-bibit kebencian yang bertebaran di sekitar kita. Apakah kerusuhan di India terjadi begitu saja? Tidak. Sentimen kebencian yang selalu dihembuskan lewat perundungan dan persekusi yang terjadi sehari-hari.
Diberitakan oleh BBC pada tahun 2019, terdapat sebuah video perundungan di provinsi Jharkhand, India. Seorang anak muda Muslim bernama Tabriz Ansari dikeroyok oleh sekelompok pemuda Hindu. Ansari, memohon mereka menghentikan perundungan. Alih-alih berhenti, para perundung itu memaksa Ansari menyerukan “Jai Shri Ram!”. Meski Ansari menuruti paksaan itu, perundungan tidak berhenti. Akibat perundungan itu, Ansari meregang nyawa empat hari kemudian.
Peristiwa semacam ini, ironisnya, makin mudah kita temukan di linimasa. Terjadi di sekolah, rumah ibadah, atau bahkan di tetangga kita.
Cukuplah apa yang terjadi di India menjadi pelajaran, bahwa pemaksaan mayoritas di mana-mana akan berujung pada konflik horizontal yang mahal ongkosnya. Menelan nyawa warga sebangsa, dan meninggalkan memori yang tidak ada bagus-bagusnya bagi generasi mendatang. Betapa suramnya membayangkan anak-anak yang menyaksikan sebuah konflik, membawa rekaman di kepalanya hingga dewasa.
Sejauh ini, kehidupan beragama di Indonesia bisa dibilang masih cukup baik, meski harus diakui, terdapat cacat di sana-sini. Soal pendirian gereja yang dipersulit, tak henti-hentinya persekusi, perundungan dan sentimen kebencian kepada pemeluk agama minoritas, sampai belum tuntasnya gerogotan kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Keagamaan umat Islam – sebagai mayoritas di Indonesia – masih dijaga oleh nilai-nilai sosial yang mengedepankan toleransi dan menerima perbedaan dengan lapang. Berteman sekantor atau bertetangga dengan non-Muslim adalah pemandangan wajar. Saling berkunjung di hari raya agama berbeda, syukurlah, bukan hal yang asing. Bertoleransi adalah budaya kita.
Kalau boleh disebut, ormas NU dan Muhammadiyah sebagai rumah besar umat Islam Indonesia juga berkah tersendiri, berkat corak keagamaannya yang mengayomi. Namun bagaimanapun, mereka tetap lah organisasi masyarakat dengan segala keterbatasan fungsinya.
Kunci sebenarnya ada di tangan kita, saya dan kalian semua, saudaraku sesama Muslim Indonesia. Ibarat sebuah bandul, angin di berbagai belahan dunia sedang meniup-niup kita untuk bergeser ke titik ekstrem. Hanya kita, dan kita sendiri yang bisa menahan bandul itu supaya tetap berada di tengah. Melihat apa yang terjadi di India, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika bandul keagamaan kita bergeser secara tiba-tiba.
Supaya Indonesia tetap menjadi Indonesia dengan segala perbedaannya. Meski kadang politik menjengkelkan, dan selalu menguji kita dengan keributan yang tak perlu, tentu kita tidak ingin ada darah mengalir dari teman dan tetangga rumah kita sendiri.
Meski terengah-engah, yuk, sama-sama jaga Islam kita tetap di tengah!