Kebencian Kembali Jadi Jalan Memenangkan Pemilu

Kebencian Kembali Jadi Jalan Memenangkan Pemilu

Politik kebencian masih membayangi pemilu 2019.

Kebencian Kembali Jadi Jalan Memenangkan Pemilu

Indonesia sulit untuk kembali menjadi seperti dulu. Polarisasi pilihan politik yang muncul sejak pemilu 2014 lalu telah membuat masyarakat tersegregasi, menciptakan jurangnya cukup dalam. Orang-orang baik terbelah karena politik dan agama. Kita sudah menyaksikan bagaimana keluarga-keluarga terbelah pilihan politiknya dan saling berseteru. Entah disadari atau tidak oleh kita, ada orang biasa yang jadi korban dari pertarungan politik para elit ini yang akan kembali lagi bertarung mulai 23 September 2018 ini menuju Pemilihan Presiden 2019.

Cukup jelas bahwa politik di Indonesia dewasa ini bukan lagi sarana untuk memerjuangkan gagasan memajukan bangsa, melainkan berhenti di saling umbar kebencian antara pihak satu kepada pihak lainnya. Elit politik sibuk memainkan framing di media, kemudian diamplifikasi lewat media sosial, dengan memanfaatkan bara persoalan yang ada sebagai cara memanaskan suasana. Hal ini sudah terjadi di tahun 2014, lalu kini diulangi lagi seolah kedua kekuatan politik ini tidak belajar dari kesalahan sebelumnya.

Untuk membuktikan bahwa kedua kekuatan poliitik ini sama-sama memakai kebencian sebagai jalan memenangkan pemilu, maka kita tengok dua peristiwa yang cukup viral di media sosial di Indonesia.

Yang pertama, framing munculnya kebangkitan PKI yang dilontarkan kepada pendukung Jokowi. Peristiwa ini terjadi bulan Mei 2014, sebulan sebelum dimulainya masa kampanye Pilpres 2014 dimulai. Pada 31 Mei 2014, mencuat postingan yang viral di Twitter dari akun TrioMacan2000 dengan akun @TM2000back. Pada saat itu, akun ini memframing bahwa alasan tidak memilih Jokowi karena Jokowi didukung oleh orang-orang PKI. Untuk memerkuat argumennya, ia memosting kolase foto dari seorang perempuan dan kawan-kawannya, disertai narasi berbunyi berikut ini:

“Inilah alasan kami TIDAK PILIH JOKOWI!!! Karena PKI musuh besar bangsa INDONESIA ada di belakang mereka semua. Mereka sudah pernah MENGKHIANATI bangsa ini tiga kali dan MEMBUNUH para santri termasuk para kiyai bahkan rakyat tak berdosapun jadi korban mereka. Kini mereka mau BANGKIT kembali, NO WAY!!!”

Postingan ini diulang-ulang beberapa kali setiap harinya oleh akun TrioMacan2000 dan tersebar ke followersnya yang saat itu mencapai 204.000 akun. Penyelidikan menemukan bahwa sebelum ikut disebarkan akun TrioMacan2000 ada akun @kangsyam78 yang lebih dulu menyebarkannya hal ini media sosial. Viralnya postingan tersebut akhirnya sampai ke orang yang fotonya dicatut dalam postingan tersebut sehingga berakibat munculnya rasa cemas dan takut. Banyak kenalan yang menanyakan kebenarannya langsung sehingga situasi ini menekan korban. Tentunya siapapun tahu beratnya distigma sebagai pendukung PKI di Indonesia, apalagi dampak genosida politik tahun 1965 masih terasa menimbulkan trauma sampai sekarang.

Kemudian pada Juli 2014, sutradara muda Ucu Agustin — orang yang fotonya dicatut — menyatakan keberatan dengan pencurian foto yang dilakukan akun TrioMacan2000 tersebut, apalagi mengkaitkannya dengan pilihan politiknya. Klarifikasi dan riwayat kasus ini yang masih dapat dibaca lewat tautan berikut ini.

Namun sayang, framing Jokowi didukung PKI sudah terlanjur tersebar dan hinggap di banyak pembaca. Sampai saat ini, tak sekalipun ada jawaban atas klarifikasi dan permintaan maaf dari akun TrioMacan2000 ataupun dari @kangsyam78. Lebih ironis lagi, framing ini masih hidup sampai hari ini dan kembali digunakan oleh elit politik menjelang Pilpres 2019, seperti misalnya ajakan pada 1 Oktober 2018 nanti untuk hadir dalam Deklarasi Jatim Menolak PKI di Tugu Pahlawan Surabaya.

Yang kedua, framing pendukung HTI/Khilafah kepada para pendukung hashtag #2019GantiPresiden.  Peristiwa ini menjadi viral pada 27 Agustus 2018, semenjak akun Facebook Page KataKita menyebarkan postingan berisi pilot yang membolehkan Neno Warisman untuk menggunakan interkom adalah pendukung khilafah dan aksi terorisme. Caranya dengan memaparkan sejumlah tangkap layar postingan pilot tersebut yang dibumbui narasi bahwa pilot ini dapat sewaktu-waktu melakukan aksi bunuh diri. Sebenarnya akun ini mendaur ulang framing kebencian yang lebih dulu diedarkan oleh akun Ali Winata di Facebook. Akibat dari peristiwa ini, gelombang kebencian bertubi-tubi diarahkan kepada pilot dan maskapai penerbangan tempatnya bekerja. Tuntutannya, meminta pilot ini tidak ditugaskan terbang kembali.

Bahkan setelah dibantah oleh pilot tersebut pada 29 Agustus 2018 lewat postingan Facebook, kebencian tersebut tidak langsung surut. Barulah setelah dijelaskan oleh banyak pihak, dari maskapai penerbangan hingga kelompok masyarakat sipil, bahwa Pribadi Ali Sudarso tersebut bukanlah pilot yang bertugas, tekanan sosial ini mereda pada korban.

Namun sekalipun demikian, pilot Pribadi merasakan rasa cemas, takut, dan sempat tidak mendapat jadwal terbang untuk waktu yang cukup lama, kurang lebih tiga minggu. Sampai saat ini, tak sekalipun ada jawaban atas klarifikasi dan permintaan maaf dari akun Facebook Page KataKita maupun Ali Winata.

Dua peristiwa ini memberikan gambaran sederhana pada kita bagaimana jalan mencapai kekuasaan bisa mengorbankan rakyat biasa — bukan malahan elit politik — sebagai sasaran tembak kebencian berbasis politik dan agama. Akun-akun propaganda politik tanpa belas kasihan menstigma seseorang yang sebenarnya sedang menyatakan aspirasi politiknya sebagai orang yang harus dibenci karena pilihan politiknya. Merekalah ini hate-spinner yang disebut oleh Cherian George dalam buku Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy (MIT Pres, 2016)

Sentimen Kebencian Ditingkatkan Menjelang Pilpre

Kedua framing ini mendominasi isi media sosial di Indonesia dan menunjukkan indikasi semakin mengentalkan rasa marah yang berujung pada kebencian. Postingan demi postingan disebarkan hanya untuk menambah rasa benci seseorang terhadap lawan dari pilihan politiknya dan dengan sendirinya mengentalkan dukungan pada pilihannya nanti. Tanpa sadar, tribalisme politik semakin terpupuk dengan kebencian semacam ini.

Tribalisme politik sebagai istilah yang merujuk pada kelompok yang selalu mengutamakan kepentingan kelompoknya di atas kepentingan bangsa dan negara, solidaritas bersama menghadapi orang yang di luar kelompoknya. Ia tidak berdiri atas pemahaman demokrasi, melainkan kesetiaan tunggal pada pemimpin sukunya dan menutup mata pada kekurangan yang terjadi serta anti-kritik. Tentu bukan masa depan demikian yang kita inginkan.

Pertanyaan yang dapat dikemukakan hari ini, siapakah sebenarnya hate spinner yang menyebarkan kedua framing tersebut? Kita ketahui bersama akun TrioMacam2000 dalam peristiwa pertama tidak bisa disebut sebagai pihak yang menyerang Jokowi. Bahkan dari rekam jejaknya, akun ini pernah juga menyerang Prabowo lebih dulu. Lalu siapakah akun Facebook Page KataKita di peristiwa kedua? Sekalipun sekarang terlihat seperti mendukung Jokowi, namun itu masih dugaan yang bisa jadi tidak benar karena pengamatan yang masih terbatas. Tidak jelas siapa orang di balik akun Facebook Page tersebut. Keduanya kelompok ini patut diduga sebagai kelompok oportunis yang memanfaatkan polarisasi politik yang terjadi demi mencari rejeki.

Berhenti Mengulangi Kembali Kesalahan

Sekarang ini kita butuh ketegasan sikap agar tidak jatuh kedua kalinya dalam lubang yang sama, yaitu kembali menggunakan kebencian untuk mencapai jalan memenangkan pemilu. Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak terus menerus terjebak dalam pusaran kebencian yang dibuat sedemikian rupa sehingga melupakan aspek mendasar dari politik yaitu mencari cara terbaik untuk memajukan bangsa dan tidak terbatas pada persoalan sempit memberi dukungan politik semata.

Maka yang perlu dilakukan adalah pertama, memutus rantai kebencian dengan berhenti mengkonsumsi asupan kebencian yang disebarkan kelompok-kelompok oportunis. Kedua, mengganti cara kita mendukung pilihan politik kita dengan tidak memroduksi kebencian baru. Ketiga, mendorong elit-elit politik untuk menciptakan dialog-dialog yang sehat, bukan caci-maki ketika membicarakan siapa pemimpin negara yang pantas menjadi orang nomer satu di negeri ini. Keempat, memberi ruang seluas-luasnya untuk masing-masing pendukung menyampaikan aspirasi politiknya tanpa dibumbui oleh framing kebencian dan ini membutuhkan media yang independen dan pro-publik.

Dengan kita mengabaikan hal-hal ini, segregasi sosial akan semakin melebar dan tentu semakin menjauhi kehidupan demokrasi yang sehat. Yang mungkin lahir dari keadaan yang terus menerus dibiarkan ini hanya dua hal: otoritarianisme atau tribalisme politik, dan sayang sekali keduanya sama-sama buruk bagi Indonesia.

Washington D.C., 23 September 2018