Kebenaran Agama-Agama Sebelum Islam

Kebenaran Agama-Agama Sebelum Islam

Bahwa tidak benar jika kedatangan Islam bermakna sekaligus membatalkan keberlakuan agama-agama sebelumnya.

Kebenaran Agama-Agama Sebelum Islam

Seluruh kaum muslimin sungguh-sungguh percaya akan autensitas dan keutuhan kitab suci Al-Quran. Akan tetapi dalam realitasnya, kemudian kaum muslimin berdebat, bertengkar bahkan bermusuhan, ketika menghadapi suatu masalah meskipun rujukannya sama karena ada perbedaan dalam penafsiran. Salah satu yang dijadikan perdebatan adalah teori nasikh-mansukh (abrogasi).

Selama ini para ulama secara terminologi mengartikan nasikh sebagai ayat-ayat yang membatalkan dan mansukh adalah ayat-ayat yang dibatalkan. Pada gilirannya konsep ini menghadirkan polarisasi. Satu kelompok memuja konsep abrogasi meluarkan jangkauan kriteria nasikh-mansukh. Kelompok lain menolak secara penuh adanya abrogasi dalam Al-Quran.

Ada dua jenis abrogasi yang dibahas dalam buku ini. Naskh intra-Qur’anik (penghapusan antar ayat) dan naskh ekstra Qur’anik (penghapusan Al-Quran atas kitab suci dan agama terdahulu). Secara umum penulis menolak kedua abrogasi tersebut. sebagai konsekwensinya maka penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw tidak bisa menghapus agama-agama terdahulu.  Menurut penulis, abrogasi terhadap agama-agama pra-Islam bertentangan dengan realitas wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai kelanjutan ajaran nabi sebelumnya.

Tidak ada ajaran yang menganulir syariat-syariat sebelum Islam. Al-Quran adalah kitab yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya, yakni Zabur, Taurat dan Injil. Jadi, agama yang mengikuti ajaran kitab-kitab tersebut tidak dihapus. Apalagi beberapa syariat Islam, menurut penulis mengadopsi ajaran agama sebelumnya (halaman 216).

Buku ini memberikan ulasan yang cukup panjang mengenai abrogasi ektra-Quranik (antar-agama) yang jarang sekali muncul dalam kajian-kajian ulama klasik. Berdasarkan temuan penulis, disebutkan bahwa tidak benar jika kedatangan Islam bermakna sekaligus membatalkan keberlakuan agama-agama sebelumnya. Kesimpulan penulis menunjukkan bahwa Islam tidak menghapus peran agama-agama sebelumnya. Sehingga tesis ini ditolak oleh beberapa kalangan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama final dan agama sebelumnya harus dihapuskan.

Ayat yang dijadikan polemik atas abrogasi agama adalah Q.S. al-Baqarah/2 ayat 106. Penulis menolak pandangan ini dan mengatakan sebagaimana pendapat Rasyid Ridha bahwa agama-agama selain Islam juga mendapatkan balasan di surga kelak, termasuk agama Yahudi, Nasrani dan agama Sabiin. Pendapat inilah yang berbeda dari sebagian ulama yang tidak mengakui kebenaran agama-agama Pra Islam yang masih ada di muka bumi saat ini.

Adalah menarik sekali bahwa penulis menghidangkan kajian-kajian eksploratifnya mengenai teman-tema yang dikajinya dengan menelusuri sumber-sumber Islam yang sangat kaya, baik klasik maupun kontemporer, sambil menganalisnya secara tajam dan berani.

Ia juga mengajak kita untuk merekonstruksi terma-terma terkait dalam Islam yang telah mengalami proses reduksionistik. Kata Islam misalnya, dimaknai secara genuine, sebagai sikap pasrah dan tunduk sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia memaknai ini dengan merujuknya kepada teks-teks Al-Quran sendiri. Lebih menarik lagi, penulis menyampaikan seluruh argumen para ulama dan sarjana, baik yang pro maupun yang kontra naskh.

Dalam buku ini, penulis menyadari bahwa terdapat banyak pandangan yang berbeda dengan pemikiran mainstream, tetapi hal tersebut merupakan kelaziman dan resiko dunia keilmuan, apalagi tema yang diangkat terkait relasi agama-agama yang dianggap oleh sebagian kalangan merupakan hal yang sangat sensitif. Bagi penulis, sebuah pengetahuan sekontroversial apa pun harus diungkap dan berhak diketahui oleh umat, terlebih hal tersebut sebuah fondasi keimanan dalam beragama.

Pembaca boleh sepakat atau tidak dengan gagasan-gagasan dalam buku ini, tentu bukan dengan penerimaan dan penolakan secara apriori. Jika ilmu tafsir saja dinilai belum matang dan belum final, tak pelak lagi, tafsir sebagai sintesis kreatif antara akal dengan teks, jauh lebih layak untuk dikatakan belum matang dan belum final. Jadi, penafsiran-penafsiran yang dikerahkan oleh penulis buku ini untuk merumuskan pandangannya memang tidak dapat dinilai sebagai kebenaran final.

Buku ini baru memanfaatkan pendekatan eksegetik dalam analisisnya. Penulis belum menyelidiki misalnya bagaimana tinjauan filosofis atas kontinuitas pewahyuan dan apa implikasinya, bukan saja dalam fungsinya sebagai pembenar-pembenar agama sebelumnya, namun juga dalam fungsi lainnya yang tak kurang amat penting, yang fungsi korektif, sebagaimana sangat menonjol dalam Al-Quran.

 

Judul Buku                  : Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam

Penulis                         : Sa’dullah Affandy

Penerbit                       : Mizan, Bandung

Kota terbit                   : April 2015

Jumlah halaman           : 282 halaman

Peresensi                     : Rizal Mubit