Seorang Ustaz muda terkaget-kaget Ketika saya sodorkan sebuah buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?” Dia langsung bereaksi meskipun baru membaca judul sampulnya.
“Sayyidah Asiyah ketika dinikahi Nabi Muhammad SAW masih berumur 9 tahun, lho,” ujarnya.
Prilaku Nabi SAW adalah bagian dari sunnah Nabi. Nabi SAW tidak mungkin melakukan sesuatu yang diharamkan.
Jika kawin anak tidak diperbolehkan dalam Islam (haram), tentu Nabi SAW akan menghindari dan melarangnya. Buku ini melawan “sunnah” Nabi, mengharamkan sesuatu yang tak pernah diharamkan Nabi SAW. Begitulah kira-kira logika hukumnya.
Lantas Ustaz tersebut membuka daftar isi buku dan langsung menuju bab yang ia tuju. Ia membaca pelan-pelan, membuka halaman demi halaman.
Setelah itu baru berkomentar, “Ulama-ulama seperti Ibnu Syubrumah dkk saja paling banter mengatakan ‘tidak ada manfaatnya’ (la manfaata lah) dan tidak sampai mengharamkan,” nada bicaranya mulai pelan dan mengajak saya untuk mendiskusikan isi buku ini.
Membaca judul buku, tanpa menyelami isinya, seringkali membuat kita terkecoh dan tersesat, bahkan membuat kesimpulan keliru. Mungkin ini yang dimaksud: Don’t Judge a book by its Cover”.
Buku “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak” merupakan ringkasan dari buku “Fikih Perkawinan Anak” yang sama-sama diterbutkan Rumah KitaB.
Buku saku ini mengulas diskursus fikih perkawinan anak dari klasik hingga modern, membuka wacana dan realitas baru dalam membaca dan menyikapi problem perkawinan anak.
Wahbah Zuhaili, dalam kitab yang banyak dirujuk dalam Forum Bahtsul Masail, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, melalui pendekatan perbandingan mazhab (muqaranah al-mazahib) mengulas secara panjang lebar diskursus perkawinan anak dalam pandangan ulama fikih. Empat mazhab besar — Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hanbali — tidak melarang perkawinan anak, bahkan orang gila sekalipun boleh dikawinkan.
Hanya, sejumlah ulama pinggiran seperti Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Asom, dan Utsman al-Batti memilih melarang perkawinan anak dan menyebutnya tidak ada faedahnya sama sekali (la faidata lah). Namun, dalam belantara hukum fikih, pendapat ketiga ulama ini hanyalah pendapat sempalan dibanding pendapat mayoritas empat mazhab besar (jumhur al-ulama).
Dalam forum bahtsul masail pendapat mereka akan mudah disingkirkan dan dianggap kurang otoritatif.
Di masa lalu, pendapat mereka mungkin tidak popular, melawan arus utama, bahkan dianggap kurang relevan. Ternyata, hukum sejarah berbalik seratus delapan puluh derajat.
Menurut banyak riset medis dan riset sosial menunjukkan bahwa perkawinan anak lebih banyak mudaratnya ketimbang maslahatnya. Perkawinan anak menimbulkan banyak dampak buruk, seperti resiko kematian ibu dan anak, melahirkan anak stunting, kemiskinan, Pendidikan terputus, rentan terjadi perceraian, dan masih banyak lagi. Jika berpotensi menimbulkan banyak mudarat, perkawinan anak sudah seharusnya diharamkan. (sad al-zariah).
Wahbah Zuhaili diakhir perbincangannya tentang hukum kawin anak membandingkan dengan produk hukum positif Undang-Undang Syiria yang melarang perkawinan anak dengan pertimbangan kemaslahatan. Sejalan dengan UU Perkawinan Syiria di Indonesia dalam UU No 16 Tahun 2019 mematok batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun.
Di sinilah pentingnya mempertimbangkan hukum positif (hukum negara) sebagai bagian dari pertimbangan dalam proses pengambilan dan penggalian hukum (istinbat al-ahkam). Hal ini sudah dimulai, salah satunya, oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCNU Kabupaten Cirebon netika merumuskan hukum nikah sirri.
Nikah sirri, nikah kiai,atau nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang tidak dicatat negara, sebagaimana tercantum dalam UU Perkawinan bahwa setiap perkawinan harus dicatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, atau Kantor Catatn Sipil (KCS) bagi mereka yang beragama non-Islam. Karena itu, menurut para ulama yang tergabung dalam LBM PCNU Kabupaten Cirebion, hukum nikah sirri adalah haram. Pencatatan pernikahan hukumnya wajib sebagai implementasi ketaatan terhadap pemerintah.
Keputusan ini, menurut saya, sangat penting. Terutama untuk mengatasi problem kontestasi hukum di masyarakat. Satu sisi, masyarakat dihadapkan pada UU negara yang mewajibkan usia minimal perkawinan 19 tahun, atau syarat poligami yang diatur dalam UU Perkawinan harus memenuhi syarat kumulatif dan alternatif serta mendapat izin dari Pengadilan Agama. Namun, pada sisi yang lain, norma-norma agama memberikan peluang dan kesempatan seluas-luasnya kepada siapapun yang terhalang UU negara untuk melanggar UU negara.
Agama memfasilitasi kawin sirri/poligami kepada mereka yang bermasalah atau berhadapan dengan UU negara.
Akibatnya,ketaatan terhadap negara terhalang oleh ketaatan terhadap agama. Padahal, seharusnya tidak begitu. Keduanya tak perlu diperlawankan dan diperhadap-hadapkan, karena ketaatan terhadap negara adalah bagian dari ketaatan terhadap agama.
Sudah waktunya, sebagaimana disebut dalam buku Metodologi Fatwa KUPI, konstitusi negara dimasukkan sebagai bagian dari dalil (al-adillah min adillati al-ahkam) atau bahkan salah satu sumberhukum selain al-Quran dan Hadis (Masdar min masadir al-ahkam). Jika demikian, maka hukum perkawinan anak atau nikah sirri bukan hanya haram melainkan tidak sah! Artinya, konstitusi negara tidak lagi masuk dalam ranah hukum taklifi melainkan sudah menjadi bagian dari hukum wad’i.
Perubahan seperti ini saya pikir sangat mungkin, meskipun sulit. Mengingat, kata Imam Syafii, urusan pernikahan adalah urusan duniawiyyah (muamalat) bukan ibadah (ubudiyyah).
Hukum muamalat bergantung pada kesepakatan manusia. Namun, kita perlu sadar diri, tidak mudah menjebol benteng ortodoksi islam yang sudah berdiri kokoh selama ratusan tahun. Butuh waktu dan kesabaran.