Sadar atau tidak di abad tanpa sekat ke-21 ini, bangsa Indonesia berhadapan dengan ancaman yang begitu nyata, kolonialisme “ideologis”. Propaganda radikalisme atas nama agama mulai berusaha memainkan naluri paling primitif manusia: keserakahan, nafsu, dan individualisme.
Sekonyong-konyong mereka memaknai agama di bawah bayang-bayang surga dan ilusi kemolekan bidadari sebagai garansi hilangnya nyawa secara sia-sia. Pikir mereka, keduanya mudah saja diperoleh dengan jalan pintas berupa “jihad” yang katanya membela agama.
Padahal mereka tidak pernah tahu kebenaran dibalik kebohongan itu. Bom meledak, korban berhamburan. Secara otomatis hal itu justru memicu meningkatnya prosentase kemiskinan, anak yatim, bahkan janda yang semestinya dilindungi karena mereka adalah kaum lemah (al-mustadhafin), bukan malah ditambah.
Dalam bacaan Charles Kimball (2002), itulah titik paling mengejutkan kala agama menjadi bencana. Hal demikian memungkinkan terjadi jika klaim kebenaran (truth claim) mulai dominan. Agama pun tereduksi nilai-nilai luhurnya menjadi sebuah phobia. Akhirnya, menjamurlah fitnah, hoax, ujaran kebencian, sentimen keagamaan dan sebagainya yang tidak sulit kita temui setidaknya di layar ponsel kita hari ini.
Problem Peradaban
Kini, kaum muda Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks dari masa-masa sebelumnya. Sebagaimana dilansir dalam laman detik.com (28/10/2017) menurut Ketua Badan Sosialisasi MPR, Ahmad Basarah, bahwa bangsa kita sedang menjadi eksperimen ideologi transnasional.
Ada bahaya radikalisme agama yang kerap menawarkan kekerasan di satu pihak. Sementara, ada juga bahaya liberalisme/individualisme yang memberi legitimasi kebebasan tanpa batas, pada pihak yang lain. Keduanya sama-sama menggunakan perangkat kecanggihan teknologi sebagai media propaganda.
Ironinya, perkembangan teknologi yang begitu pesat itu seringkali disalahgunakan. Lebih-lebih media sosial yang menurut KH Mustofa Bisri (2017) perkembangannya ini berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial bermasyarakat kita. Melalui media sosial, orang bisa bersembunyi, untuk berteriak lalu tidak kelihatan wajahnya. Akunnya gambar lain, jadi tidak karuan siapa yang ngomong.
Produktif Tidak Pasif
Peringatan hari Sumpah Pemuda seyogyanya menjadi momentum refleksi bersama untuk menggugah mentalitas kesadaran kaum muda tentang arti penting dari peran yang diharapkan sebagai tonggak agen perubahan (agen of change).
Sebab, gemilangnya setiap peradaban selalu meniscayakan peran kaum muda di dalamnya. Nabi Ismail, saat muda bersama ayahnya, Ibrahim, membangun Ka’bah yang kini menjadi pusat peradaban. Kanjeng Nabi Muhammad, saat muda menjadi penyelamat bangsanya dari ancaman perpecahan. Demikian halnya dengan bangsa ini, yang kemerdekaannya tidak lepas dari kiprah kaum muda dengan tiga sumpah persatuannya.
Maka, kaum muda yang digadang sebagai agen perubahan tidak boleh diam. Kaum muda harus produktif, bukan pasif. Kita musti segera sadar diri, mengakampanyekan nilai-nilai perdamaian yang santun dan mencerdaskan adalah jihad. Jihad melawan arus kekerasan dan jihad melawan kebodohan. Karena dalam wahyu yang pertama turun pun jika ditelaah lebih jauh kira-kira akan menegaskan, “bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Produktif” (Q.S. al-Alaq [96]: 1).
Anwar Kurniawan, Aktivis Perdamaian dari Klaten, Santri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, YK.