Selamanya zakat memang akan selalu berhubungan dengan fakir miskin sebagai bagian dari delapan kelompok orang yang berhak menerimanya sebagaimana disebutkan dalam al_qur’an surat at-Taubah ayat 60 sebagai berikut:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memer-dekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”. (QS. At-Taubah:60)
Dari kedelapan kelompok penerima zakat ini, fakir miskin merupakan kelompok yang selalu dijumpai dalam setiap masyarakat, dan pihak yang paling layak mendapat prioritas.
Para ulama telah menetapkan batasan dan criteria fakir dan miskin. Dalam menentukan apakah keduanya sama, ataukah tidak, para ulama berbeda pendapat. Ibn Qasim, salah satu tokoh madzhab Maliki mengatakan keduanya sebagai satu kelompok. Jadi, fakir dan miskin adalah dua kata yang berbeda dengan arti yang sama (al-mutaradifain). Sebaliknya, menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqh), fakir dan miskinmerupakan kelompok yang berbeda. Sedangkan menyatakan fakir lebih buruk kondisinya secara ekonomis dibandingkan miskin. Sebagian yang lain, berpendapat sebaliknya.
Perbedaan pendapat tersebut kurang memiliki arti penting, manakala melihat fakta bahwa keduanya sama-sama berhak menerima zakat.
Jumhur al-ulama dari kalangan Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah, mendefinisikan fakir sebagai orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang halal untuk mencukupi kebutuhan pokok hidupnya (makan-minum, pakaian, dan rumah) dan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungjawabnya. Gambarannya, kalau setiap hari dia membutuhkan sepuluh, maka yang didapatinya tidak lebih dari 3 (tiga) atau 4 (empat). Dengan kata lain, ia hanya mampu memenuhi kebutuhannya kurang dari sepuluh.
Adapun orang yang termasuk miskin adalah orang yang sudah memiliki pekerjaan halal dan sejumlah harta, tetapi masih belum mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sekaligus orang yang berada dalam tanggungjawabnya. Umpamanya, orang yang butuh 10 (sepuluh), tetapi hanya memiliki 7 (tujuh) atau 8 (delapan). Orang miskin, mampu mencukupi sekitar 70%-80% dari kebutuhannya.
Berangkat dari pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa baik fakir maupun miskin sebagai mustahiq (pihak yang berhak menerima zakat), sebagaimana dikatakan Dr. Yusuf Qardhawi, adalah orang yang memenuhi tiga criteria.
Pertama, orang yang tidak punya harta atau pekerjaan sama sekali. Kedua, orang yang mempunyai pekerjaan dan harta yang belum dapat mencukupi separuh kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Ketiga, orang yang pendapatannya bisa memenuhi lebih dari separuh kebutuhan hidupnya dan keluarganya, tetapi masih belum mencukupi seluruh kebutuhan. Kebutuhan dalam kaitannya dengan fakir dan miskin meliputi sandang, papan, dan pangan serta pendidikan.
Untuk menentukan apakah seseorang termasuk miskin atau fakir, harus diketahui terlebih dahulu apa yang dibutuhkan sejauh mana ia mampu memenuhinya dengan penghasilan dan kekayaan yang dimilik. Besar kecilnya kebutuhan, juga sangat dipengharuhimoleh banyak dan sedikitnya orang yang ia hidupi.`
Sumber: KH. M.A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, Khalista, Surabay, 2013