Kata Umat yang Sering Dibawa Demo Berjilid-Jilid itu, Siapakah Mereka?

Kata Umat yang Sering Dibawa Demo Berjilid-Jilid itu, Siapakah Mereka?

Kata-kata “umat” yang sering dibawa demo berjilid-jilid itu sudah sesuai Al-Quran atau hanya sekedar peralihan wajah hizib yang justru ditentang Al-Quran?

Kata Umat yang Sering Dibawa Demo Berjilid-Jilid itu, Siapakah Mereka?

Narasi yang bertebaran di media sosial juga di orasi-orasi unjuk rasa bela tauhid itu  selalu menempatkan “umat” sebagai korban yang terzalimi. “Umat Islam telah dihina, dipermainkan,” “Pemerintah telah menzalimi umat Islam,” “Bendera umat Islam telah dibakar, ini penistaan,” “Kita umat Islam wajib berjihad,” dan sederet pernyataan lainnya yang cenderung sektarian dan provokatif.

Narasi itu dihembus-hembuskan, didramatisir, dibikin meme, dishare, dilike, dan dikomentari oleh ribuan orang. Pertanyaannya kemudian adalah, apa dan siapa yang dimaksud umat di situ? Apakah yang disebut umat adalah hanya golongan mereka saja? Bukankah yang didemo dan yang disuruh minta maaf, juga bagian dari umat?

Jika narasi mereka diikuti, dengan segera bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud “umat”  di situ bukanlah umat dalam pengertian yang sangat inklusif dan universal, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dan sejarah kenabian Muhammad, melainkan hanya golongan mereka saja. Umat dimaknai secara eksklusif, tertutup. Di sebut umat jika sesuai dan mendukung kepentingan mereka. Jika tidak, maka ia bukan dari bagian dari umat.

Islam politik  (baca: Islamisme) sering menggunakan kata “umat” sebagai branding,  yang tujuannya tidak lain untuk mengaduk-aduk emosi para audience. Memainkan emosi di media sosial merupakan cara efektif untuk mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasilnya bisa dilihat sendiri, hanya dengan waktu singkat, mereka bisa mengumpulkan dan memobilisasi anggota, demi tujuan dan kepentingan politik mereka. Dalam konteks Indonesia, demo yang berjilid-jilid itu, tidak lain hasil dari pemakaian dan branding kata “umat” ini.

Islam: Antara Fungsi dan Kontestasi

Pemaknaan yang sempit dan eksklusif, bahkan terkesan sektarian tentu menyalahi makna dan historisitas umat itu sendiri. Konsep umat dalam Islam tidak lain sebagai kritikan terhadap konsep-konsep komunitas yang sudah ada di masa Nabi. Beberapa konsep yang terekam itu adalah sya’bun, qabilah, hizb, dan qaum.

Konsep sya’bun adalah konsep komunitas di era Nabi berdasarkan genetik, seseorang dihimpun berdasarkan garis keturunan dan marganya. Qabilah adalah konsep komunitas berdasarkan primordialisme kesukuan, kedaerahan, dan persamaan tradisi. Qaum, komunitas yang diikat atas dasar kepentingan sosial dan ekonomi. Sedang hizb adalah komunitas yang dihimpun atas dasar persamaan sejarah dan kepentingan ideologi politik.

Konsep-konsep ini dikritik oleh Al-Quran karena sifatnya yang hierarkis, ada kelas-kelas, dan jauh dari kata egaliter. Alasan utama Islam mengkritik konsep komunitas yang hierarkis itu tidak lain kerana Islam berfungsi sebagai perekat. Fungsi utama agama –apapun agamanya –adalah kohesi. Islam datang untuk menghancurkan sekat-sekat, kelas sosial, dan pembedaan yang diskriminatif.

Konsep yang ditawarkan oleh Islam sebagai ganti dari konsep komunitas di atas adalah konsep ummah. Umat adalah konsep yang didasarkan pada ikatan spiritual keagamaan sebagai hamba Tuhan. Di sini tidak ada lagi pembeda, kelas-kelas, semuanya ditentukan oleh kesadarannya akan Tuhan (taqwa). Konsep komunitas yang ditawarkan oleh Islam itu sangat inklusif dan universal.

Konsep umat melintasi batas-batas kepentingan politik, ekonomi, kesukuan, dan kedaerahan. Umat adalah konsep pemersatu, pengikat, sekaligus pembebas. Dari dulu, Nabi sudah mendeklarasikan, bahwa tidak ada perbedaan Arab dan non-Arab, laki-laki dan perempuan,  tua dan muda, kulit putih dan kulit hitam. Semuanya sama dan setara.

Konsep komunitas yang progresif dan universal ini akan tereduksi, jika Islam diletakkan dalam kontestasi, lebih-lebih kontestasi politik praktis. Dalam kontestasi, setiap golongan mengklaim mereka yang layak dan berhak disebut umat, di luar kepentingan dan ideologi mereka bukan umat.

Ketika Islam diletakkan dalam fungsi, ia sangat inklusif. Tetapi ketika diletakkan dalam kontestasi, maka muncul istilah minna wa min hum, ini golongan kami dan itu bukan golongan kami.

Pemaknaan sempit yang dilakukan oleh islam politik (islamisme) sebenarnya adalah meletakkan Islam dalam kontestasi, bukan dalam fungsi. Ini sangat disayangkan. Maka kata “umat” yang meraka gembor-gemborkan sejatinya bukanlah konsep umat, melainkan konsep hizb, sebuah komunitas yang didasarkan pada persamaan kepentingan ideologi politik.

Wallahu A’lam.