Kata Pak Ustadz, Memperingati Hari Ibu Haram Hukumnya, Bener Nggak Sih?

Kata Pak Ustadz, Memperingati Hari Ibu Haram Hukumnya, Bener Nggak Sih?

Kata Pak Ustadz, Memperingati Hari Ibu Haram Hukumnya, Bener Nggak Sih?
potret Ibu dan Anak masyarakat Suku Kokoda, Papua Barat. Foto: Dokumentasi Pribadi Umi Nuchayati

“Hari ibu itu ada sejarahnya sendiri. Itu hari nasrani. Banyak refrensi yang menjelaskan itu. Di internet banyak sekali kita temukan apa sebabnya, apa kisahnya.”

Begitulah potongan ceramah seorang ustadz, yang terkenal dengan Khalid Basalamah ketika ditanya hukum memperingati hari ibu. Pernyataan ini tidak didasari pemikiran yang dalam. Ustadz tersebut juga nampkanya tidak mengetahui makna dan sejarah secara gamblang bagaimana Soekarno menetapkan tanggal 22 desember sebagai hari Ibu di Indonesia.

Hari merayakan semangat perempuan Indonesia

Hari Ibu di Indonesia dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Dekret Presiden No. 316 thn. 1953, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat perempuan Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Dalam buku “Kongres Perempuan Indonesia: Tinjauan Ulang” karya Balckburn S, kongres perempuan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 22 desember 1928 merupakan implementasi semangat pergerakan kaum perempuan. Bahkan kongres yang dilaksanakan di sebuah pendopo dalem Joyodipuran Yogyakarta tersebut, diinisiasi oleh tokoh-tokoh perempuan muslim seperti R.A. Soekonto kakak dari Ali Sastroamidjojo, Nyi Hajar Dewantoro dan Soejatien yang merupakan murid Soekarno dan Ki Hajar Dewantoro.

Dalam kongres tersebut disampaikan beberapa pidato dari tokoh-tokoh perempuan muslim yaitu: Ny. R.A. Soedirman (Poeteri Boedi Sedjati) yang menyampaikan pidato “Pergerakan Kaoem Isteri, Perkawinan & Pertjeraian”, Ny. Siti Moendjijah (Aisjijah Djokjakarta) dengan judul pidato “Deradjat Perempoean”, Moegaroemah (Poeteri Indonesia) dengan judul “Perkawinan Anak-Anak”, “Kewadjiban & Tjita-Tjita Poeteri Indonesia” yang disampaikan oleh Sitti Soendari, Tien Sastrowirjo dengan judulnya yang panjang “Bagaimanakah Djalan Kaoem Perempoean Waktoe Ini & Bagaimanakah Kelak”, R.A. Soekonto (Wanita Oetomo) “Kewadjiban Perempoean di Dalam Roemah Tangga” dan  Ny. Ali Sastroamidjojo dengan cerdasnya menyampaikan pidato berjudul “Hal Keadaan Isteri di Europah”.

Pidato-pidato tersebut merupakan cerminan semangat perempuan dalam meneruskan semangat perjuangan para pendahulunya seperti Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said dan lain sebagainya. Penetapan hari ibu pada tanggal 22 Desember tersebut juga merupakan upaya Soekarno memperingati perjuangan pahlawan perempuan selain Kartini yang telah ditetapkan terlebih dahulu hari peringatannya pada 21 April.

Ceramah seorang ustadz yang mengharamkan perayaan hari ibu tersebut sangat ceroboh. Hanya berbekal pengetahuan minimnya tentang hari ibu di Indonesia, dia sudah berani mengatakan bahwa hari ibu itu merupakan hari Nasrani. Pernyataan Khalid tersebut, disadari atau tidak memiliki dampak negatif kedepannya.

Pertama, mengaburkan sejarah pahlawan perempuan Indonesia. Disadari atau tidak ceramah khalid yang hanya beberapa detik mengucapkan hari ibu adalah hari nasrani tersebut telah didengarkan oleh para muridnya di tempat tersebut. Pastinya, beberapa murid yang kurang (tidak) kritis akan serta merta ditelan mentah-mentah dan disampaikan kepada anak-cucunya. Sehingga beberapa generasi dari orang yang mendengarkan ceramah tersebut akan buta sejarah peringatan hari ibu di Indonesia. Belum lagi jamaah-jamaah (kurang kritis) Khalid yang masih setia mendengarkan dan menanti ceramah-ceramah Khalid yang diupload di media sosial.

Kedua, menambah jarak kebencian muslim terhadap umat agama lain. Di saat bangsa sedang diramaikan dengan fatwa MUI terkait pelarangan atribut natal, tentu umat muslim yang kurang kritis dan terlalu konservatif menanggapinya dengan perilaku yang kurang bijak terhadap fatwa tersebut, Khalid malah menambahnya dengan isu bahwa hari ibu adalah hari nasrani.

Sedangkan beberapa muslim yang konservatif sudah terlanjur memahami bahwa nasrani adalah agama misionaris yang memakai segala cara untuk membuat umat muslim memeluk nasrani. Tentu selain merenggangkan hubungan dengan orang nasrani, para penganut paham Khalid ini akan memvonis orang-orang yang merayakan hari ibu sebagai orang yang salah, keliru atau bisa jadi murtad karena mengikuti ajaran umat lain. Tentu hal ini akan membuka lebar lubang perpecahan di kalangan umat muslim.

Dalam ceramahnya tersebut, Khalid mengungkapkan bahwa terdapat banyak refrensi yang menjelaskan sejarah ibu, khususnya di internet. Di internet? Kalimat ini yang menjadi pertanyaan besar dalam benak saya. Di laman apa dia baca sejarah hari ibu itu? Hal ini juga membuktikan bahwa Khalid tidak bisa memilih referensi. Dia asal membaca saja. Yang penting menjelaskan asal-usul hari ibu sudah cukup baginya untuk bahan ceramah. Dia sepertinya tidak mengetahui apakah laman yang ia baca tersebut sudah cukup representatif atau tidak untuk sekedar menjelaskan sejarah hari ibu. Itu pun kalau dia membaca.

Pernyataan Khalid bahwa menyayangi ibu tidak harus di hari ibu yang merupakan hari nasrani merupakan pembodohan masal. Memperingati hari ibu bukan berarti karena kita hanya menyayangi ibu pada hari itu saja. Tapi dengan menjadikan satu hari khusus untuk Ibu, Indonesia telah memberikan penghargaan khusus kepada perjuangan perempuan. Baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pejuang bangsa. Memang kita harus setiap hari menghormati dan menghargai ibu. Tapi apa salahnya jika kita menyediakan hari khusus untuk bersama ibu saat hari-hari kita tidak selalu bersamanya.

Seharusnya dengan adanya hari ibu kita mengevaluasi diri serta sadar bahwa kasih yang kita berikan kepada ibu masih sangat jauh dengan kasih yang telah diberikan seorang ibu semenjak dalam kandungan hingga kita besar saat ini. Bukan malah menyikapinya dengan sentimen agama yang semakin menambah jarak perpecahan bangsa.

Wallahu A’lam