Kasus Zakiyah Aini adalah Gunung Es, Bisa Jadi Ada Banyak di Sekitar Rumah Kita

Kasus Zakiyah Aini adalah Gunung Es, Bisa Jadi Ada Banyak di Sekitar Rumah Kita

Kasus Zakiyah Aini adalah fenomena gunung es, mungkinkah mereka yang terpapar ekstremisme sudah kian dekat dengan kita, ada di sekitar rumah kita?

Kasus Zakiyah Aini adalah Gunung Es, Bisa Jadi Ada Banyak di Sekitar Rumah Kita

Kasus penyerangan Zakiyah Aini menjadi fenomena yang sangat menarik, sebuah gunung es. Keterlibatan anak muda dalam agenda ekstremisme sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. 11 tahun yang lalu sempat dihebohkan jika salah mantan pengurus dan aktivis Rohis salah satu sekolah ditangkap densus-88. Dalam penangkapan pada 2011, terdapat enam di antara tujuh pelaku yang ditangkap tersebut berasal dari sekolah menengah kejuruan itu. Di antara enam orang tersebut, tiga orang masih berstatus pelajar dan tiga lainnya adalah alumnusnya.

Pelibatan anak muda dalam gerakan ekstremisme sudah berlangsung lama. Namun, fenomena Zakiyah Aini menjadi yang paling menarik. Sebab, kabarnya penanaman ideologi ekstremisme dilakukan hanya melalui sosial media. Zakiyah Aini tidak memiliki guru dalam melakukan aksinya. Hadirnya internet dan media sosial mengubah cara pandang dan bentuk terorisme di Indonesia.

Jauh sebelum kejadian Zakiyah Aini melakukan penyerangan di Mabes Polri, ISIS yang merupakan rumah dari kelompok ekstrem ini telah mengeluarkan mandat jika perempuan bisa menjadi pengantin atau martir bom bunuh diri. ISIS menggeser makna jihad yang semula jihad tandim menjadi jihad fardiah dan dhafi.Hal ini dapat diartikan jika perempuan, laki-laki dan anak-anak memiliki kewajiban yang sama untuk menjalankan amaliyah jihad.

Hal ini pun tertanam pada perempuan jika jihad adalah amalan tertinggi yang dilakukan oleh umat muslim. Keadaan ini membuat kelompok perempuan tidak lagi mendapatkan pengakuan dari kelompoknya untuk melakukan jihad. Hal yang paling menarik dari fatwa yang dikeluarkan oleh ISIS ini adanya perubahan cara pandang peran perempuan dalam kelompok ekstremisme.

Kita sama-sama mengetahui, jika ISIS memiliki karakter yang tidak konsisten dan hanya berorientasi pada hasil. Pada akhirnya, kelompok ini membuka ruang negosiasi yang sangat lebar terkait peran perempuan di ranah publik. Hal yang telah dilakukan oleh ISIS adalah tidak melarang perempuan berada di ruang public atas nama agama, pendidikan dan kesehatan.

Ruang fleksibel ini secara bertahap menjadi lebih besar karena dorongan perempuan itu sendiri. Sehingga, ketika terdapat perempuan yang dapat mengelabuhi aparat keamanan menjadi sebuah prestasi.

Baca juga: Soal Zakiyah Aini, Narasi Beragama Kita Memang bermasalah

Menurut Mia Bloom dalam buku Dying to Kill: The Allure of Suicide Terror perempuan dibanding laki-laki, mereka biasanya lebih leluasa bergerak dan tidak terlalu dicurigai oleh aparat keamanan sehingga nilai keterlibatan mereka jauh lebih tinggi dibanding nilai keterlibatan laki-laki. Apa yang dikatakan oleh Mia Bloom ini terbukti ketika Zakiyah Aini bisa dengan mudah masuk ke dalam Mabes Polri.

Hal lainnya yang menarik adalah hadirnya internet dan sosial media menjadi ruang yang lebih luas sehingga aktivitas ekstremisme tidak lagi berfokus pada aktor laki-laki. Ruang internet dan media sosial membuka potensi untuk perempuan dan anak menjadi eksekutor. Perlu diakui, ruang internet dan sosial media ini membuat proses radikalisme lebih mudah karena langsung terhubung dengan pimpinan lebih luas. Pergeseran tren ini mengubah pandangan terhdap kontruksi gender menjadi lebih fleksibel. Serta meninggalkan kekakuan cara pandang hitam-putih terhadap peran perempuan dan laki-laki.

Khususnya kasus Zakiyah Aini, propaganda romantisme kombatan perempuan disosialisasikan secara global untuk menjangkau lebih luas dan banyak orang. Hal ini pun menginspirasikan para perempuan Indonesia untuk bisa melakukan aksi serupa. Perlu diketahui, di sejumlah negara seperti Palestina, Srilangka, Chechnya, Pakistan dan negara lainnya menjadi kisah sukses perempuan kombatan.

Hal itu pula yang membuat dan menginspirasi perempuan untuk menyalurkan balas dendam. Di sosial media, cerita perempuan kombatan ini disuguhkan dengan tulisan hingga  video. Konten tersebut mampu menjawab krisis maskulin (gagalnya para laki-laki yang melakukan jihad-bunuh diri). Adanya sosial media dan internet perlu diakui telah mengubah cara rekrutmen dan propaganda yang semakin luas dan menjangkau kelompok yang ada di luar radar mereka.