Kasus Nasi Anjing dan Bagaimana Umat Islam Harusnya Bersikap?

Kasus Nasi Anjing dan Bagaimana Umat Islam Harusnya Bersikap?

Bagaimana seharusnya bersikap atas viralnya kasus nasi anjing?

Kasus Nasi Anjing dan Bagaimana Umat Islam Harusnya Bersikap?

Bagaimana kita menyikapi kasus ‘nasi anjing’ yang ramai diperbincangkan itu? Faktanya, nasi anjing yang dimaksud bukanlah nasi dengan lauk daging anjing ataupun nasi dengan lauk berisi makanan anjing. Nasi anjing tersebut hanyalah sebuah nama atau “merek” makanan. Isinya berupa nasi dengan lauk-pauk beraneka macam, bisa sayur cumi, orek tempe, telur, sosis dan berbagai menu santapan pada umumnya. Nama “nasi anjing” ini kemudian viral setelah beredar rekaman video komplain seorang Ibu-ibu karena merasa “terhina” dengan label yang tertera di nasi bungkus yang ia dapat dari seorang relawan.

Hingga hari ini, penulis masih menyayangkan pemberian nama “nasi anjing” oleh donatur  yang sebagaimana diketahui berasal dari Yayasan Qahal Family. Selain akan menimbulkan keributan yang tidak perlu, penamaan “nasi anjing” ini kemudian menggiring opini masyarakat bahwa ada upaya kristenisasi di tengah wabah Covid-19. Warga kemudian mengira-ngira bahwa donatur adalah umat Kristen yang lantas disangkut-pautkan dengan daging anjing sebagai makanan umat Kristen.

Satu fakta lagi yang penulis temui, tidak semua orang beragama Kristen menyantap daging anjing.  Generalisasi ini sangat tidak tepat. Seorang rekan penulis yang katolik, misalnya, memilih untuk tidak menyantap daging anjing lantaran menurutnya, anjing bukanlah hewan yang tepat untuk dimakan. Ia cerita, anjing adalah hewan peliharaan yang bukan untuk disantap. Ia juga menyebut, pelarangan daging anjing untuk santapan makanan telah tertera dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang pangan. Pada pasal 1 Ayat (1), disebutkan bahwa daging anjing tidak termasuk dalam makanan konsumsi, karena bukan merupakan sumber hayati produk peternakan, perikanan, atau jenis lainnya.

Hingga saat ini umat Katolik maupun Kristen masih berkubu-kubu terkait pendapat boleh atau tidaknya menyantap daging anjing.  Hal ini sebagaimana hukum merokok di kalangan umat Islam, ada sebagian mengatakan boleh, ada sebagian mengatakan tidak boleh, bahkan hingga haram.

Terkait kasus “nasi anjing” ini, penulis setuju dengan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus yang telah menyatakan bahwa permasalahan ini sudah selesai ditandai dengan pernyataan kedua belah pihak (dari warga dan dari pihak Yayasan) bahwa mereka bersepakat tidak akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Sebelumnya, pernyataan Kapolres Jakarta Utara Kombes Budhi Herdi Susianto bertolak belakang dengan pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya. Ia mengatakan, meskipun pihak yayasan sudah meminta maaf kepada warga, namun kasus ini tetap akan berlanjut hingga jalur hukum.

Bagaimana Sebaiknya Kita Menyikapi?

Segala niat yang baik harus dibarengi dengan tindakan yang tepat dan tentunya juga harus baik. Dalam kasus ini kita yakin niat Yayasan Qahal Family baik, dibuktikan dengan kerendahan hatinya membagikan sembako berupa makanan siap saji kepada masyarakat yang terdampak Covid-19. Namun disisi lain, penggunaan nama “nasi anjing” di bagian luar bungkus nasi patut kita sesalkan. Sebagaimana ditulis di awal, hal tersebut mengundang kemarahan dan keributan yang tidak perlu di kalangan masyarakat.

Selain itu, pihak donatur harus paham bahwa tidak semua masyarakat bisa memaklumi kekeliruan orang lain dan juga ada sebagian masyarakat yang langsung menilai segala sesuatu dari “bungkusnya” saja. Tentu saja, diafirmasi lewat  video yang beredar bahwa seorang Ibu memprotes adanya tulisan “nasi anjing” tanpa harus mengetahui isi dari bungkusan nasi tersebut. Niat baik, anda tahu, kerapkali dibarengi dengan tindakan yang tepat pula.

Saya juga merasa, polemik ini baiknya kita cukupkan. Hal tersebut perlu dilakukan supaya kita bisa kembali memberikan semangat para relawan yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia agar tetap bersemangat membagikan bantuan-bantuan sosial-kemanusiaan. Lagipula,  ada banyak hal yang harusnya menjadi perhatian kita bersama seperti belum meratanya bantuan pemerintah ke warga terdampak PSBB, kesalahan data penerima bantuan dari pemerintah, penolakan terhadap Nakes yang menangani pasien Covid-19, hingga kebandelan masyarakat yang enggan mematuhi protokol pencegahan dari Pemerintah dan juga tenaga medis.

Biarlah kasus “nasi anjing” cukup sampai disini, mari kembali ke ‘ranah’ masing-masing sembari tetap berpikir kritis dan solutif dalam menyikapi pandemik Covid-19. Semoga pandemik ini lekas berakhir sehingga kita bisa kembali saling jumpa satu sama lain menepis kerinduan diantara kita. Doa terbaik untuk bumi ini.