Kartini, Kiyai Sholeh Darat, dan Sosrokartono yang Terlupakan

Kartini, Kiyai Sholeh Darat, dan Sosrokartono yang Terlupakan

Kartini, Kiyai Sholeh Darat, dan Sosrokartono yang Terlupakan

SETELAH diculik pulang Kiyai Hadi Girikusumo dari Makkah, Kiyai Sholeh Darat pun meninggalkan kegiatan mengajarnya di sana bersama Kiyai Kholil, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, dan Syaikh Nawawi al-Bantani. Setiba di Nusantara, ia mendirikan Pesantren Darat di pesisir utara Semarang pada 1871 M/1289 H. Pesantren inilah yang kemudian turut berjasa mendidik & membesarkan Kiyai Hasyim Asy’ari, Kiyai Ahmad Dahlan, Kiyai Dahlan Tremas (ahli falaq), Kiyai Amir (Pekalongan), Kiyai Idris, Kiyai Sya’ban bin Hasan, Kiyai Abdul Hamid (Kendal), Kiyai Tahir, Kiyai Sahli, Kiyai Dimyati Tremas, Kiyai Khalil, Kiyai Yasin, & Kiyai Yasir Areng (ketiganya dari Rembang), Kiyai Munawir (Krapyak), Kiyai Dahlan (Watucongol), Kiyai Ridwan bin Mujahid, Kiyai Abd l-Shamad, Kiyai Ali Barkan, Kiyai Tafsir Anom, dan Raden Ajeng Kartini.

Nama besar Kiyai Sholeh Darat terendus Radeng Ajeng Kartini. Ia mulai jatuh hati pada Kiyai Sholeh saat kali pertama mengikuti sinau tafsir al-Fatihah yang beliau ampu dalam bahasa Jawa dan ditulis dengan aksara Arab pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Hijaiyah). Terkait Arab pegon atau Arab Melayu ini, Kiyai Sholeh memang penemunya, bersama dua ulama besar lain yaitu, Syaikh Nawawi al-Bantani dan Kiyai Kholil al-Maduri (Mbah Kholil Bangkalan). Teknik ini mereka rumuskan di Makkah semasa masih sama mengajar dan sambil menyalin kitab bagi para santri dari penjuru dunia yang sedang menimba ilmu pada mereka.
Seiring waktu, juga berdasar saran Kartini atas pengalamannya memelajari Islam yang kurang menyenangkan, Kiyai Sholeh akhirnya melanjutkan tafsir al-Fatihah itu menjadi kitab tafsir dan terjemahan al-Quran yang berjudul, Faid ar-Rahman. Inilah kitab tafsir perdana di Nusantara, yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Peran Kiyai Sholeh dalam hidup Kartini selama ini sengaja dihapus Belanda dan menggantikan sosok mulia tersebut dengan Nyonya Abendanon, seorang perempuan Belanda yang jadi rekan berkirim surat dan berdiskusi Kartini sebelum ia menikah. Padahal apa yang ia tulis dalam Habis Gelap Terbitlah Cahaya (Door Duisternis tot Licht) itu, pasti dipengaruhi oleh guru yang sangat ia hormati selama mengaji al-Quran. Besar kemungkinan, Kartini menemukan susunan kata legendaris tersebut dalam pengajian Faid ar-Rahman bersama Kiyai Sholeh. Sebab kata-kata itu jelas diambil dari al-Quran, minazzulumati ila n-Nur (QS. Ibrahim [14]: 1).

Semangat hubb l-wathan (cinta negeri) yang diwarisi Kiyai Sholeh Darat dari ayahandanya selaku pejuang Perang Jawa, pun terwaris pada para santrinya yang kelak terlibat dalam proses perlawanan mengusir Belanda dan semua anteknya dari negeri ini—termasuk Kartini. Lantas bagaimana ceritanya bisa ada Hari Kartini tapi tak ada Hari Sholeh Darat? Bagaimana pula ceritanya Sosrokartono, kakak kandung Kartini yang fenomenal itu bisa tersingkir dari sejarah? Padahal di Eropa sana, terutama di Amerika, nama Sosrokartono tak bisa dihapus sebagai salah satu orang yang terlibat dalam pendirian Liga Bangsa-Bangsa yang kini menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sosro yang tampan, begitu ia dikenal di Eropa, adalah musuh bebuyutan Snouck Hurgronje yang mengalahkan Cut Nyak Dhien dengan akal bulusnya. Ia juga terlibat secara langung dalam proses perdamaian Perang Dunia I sebagai juru catat dan juru runding. Duduk semeja bersama Hitler sang agresor. Sosrokartono pun mengakhiri petualangannya di Eropa pada 1925 setelah mengembara selama 29 tahun, dan mendarat di Kota Kembang.

Berlabuh di Tanah Perjuangan

Di sebuah rumah panggung di Jalan Pungkur No. 7, Bandung (sekarang tepat di seberang terminal Kebon Kalapa), pernah berdiri rumah pengobatan bernama Pondok Darussalam. Rumah inilah yang menjadi pelabuhan terakhir Sosrokartono setelah ia kembali dari Eropa.

Rumah panggung itu terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Dibangun memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur. Sosrokartono diminta menempati gedung itu oleh RM Soerjodipoetro, adik Ki Hajar Dewantara.

Gedung inilah yang menjadi saksi kesaktian Sosrokartono yang mengobati pasiennya hanya dengan mencelupkan telunjuk ke dalam air di gelas. Jari telunjuk itu adalah simbolisasi dari huruf alif (١) yang jadi ciri khas beliau saat mengobati orang sakit. Kenapa huruf alif?
Ja’far Ash-Shadiq ra (dalam Schimmel, 1996: 230) mengungkapkan: ”Tuhan membuat huruf Hijaiyyah sebagai induk segala benda; indeks dari segala sesuatu yang bisa dilihat… Segala sesuatu bisa diketahui melalui huruf.”

Kemampuan linuwih Sosrokartono inilah yang membuat ia digelari persoonlijke magnetisme oleh seorang dokter, yang anak kerabatnya disembuhkan oleh Sosrokartono ketika masih melanglang buana di Eropa.

Menurut Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen tetap bahasa, sastra, dan budaya Jawa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mengatakan, “Darussalam adalah bekas gedung Taman Siswa, Bandung. Eyang Sosro di sana karena diminta menjadi pimpinan Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman Siswa.”

Kelak gedung ini juga pernah dipakai oleh Partai Nasional Indonesia pimpinan Bung Karno, dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie pimpinan Abdoel Rachim, mertua Bung Hatta.

Guru-guru di sekolah Taman Siswa itu antara lain, Ir. Sukarno, Dr. Samsi, Mr. Sunario SH, dan Mr. Usman Sastroamidjoyo. RMP Sosrokartono juga ikut aktif dalam kegiatan politik saat zaman pergerakan nasional Indonesia. Kegiatan Sosrokartono dapat dilihat dari laporan para pejabat kolonial Belanda.

Dalam laporan rahasia yang dibuat Van Der Plas pejabat Adviseur Voor Inlandse Zaken tertulis kalau (Doctorandus) Drs. Sosrokartono termasuk pelopor gerakan nasional Indonesia dan tidak dapat dipercaya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Ada lagi laporan dari Komisi Istimewa yang terdiri Herwerden dan Toxopeus langsung kepada Ratu Wilhelmina, yang berisi kalau Sosrokartono penganjur swadesi dan sangat berbahaya bagi berlangsungnya ketenteraman dan kedamaian di Hindia Belanda.

Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten Sosrokartono, menuturkan ingatannya, “Darussalam tak pernah sepi. Tamunya beragam. Sedari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan. Ia juga pernah melihat Bung Karno datang menemui Sosrokartono.

Saat itu Sosrokartono sedang menggoreskan huruf alif di atas kertas putih seukuran perangko dan menyelipkannya ke dalam peci Bung Karno, entah untuk apa. Sementara Bung Karno dan kawan-kawan seperjuangannya, kerap datang ke Darussalam guna belajar bahasa pada Sosrokartono.

Masih menurut Kayanto, Sosrokartono tidak pernah lepas dari sebuah tongkat, beskap berwarna putih lengan panjang, sebuah topi (mirip mahkota) warna hitam, dan mengalungkan tasbih yang menjuntai hingga ke dada. Janggutnya sebagian sudah memutih, sorot matanya tajam, dan lebih banyak diam.

Berbekal pengetahuan dan kecakapan berbahasa yang dikuasai Sosrokartono, ia pernah memberanikan diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899, sebelum berangkat ke Batavia guna memangku jabatannya yang baru. Solichin Salam dalam Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi (terbitan Yayasan Pendidikan Sosrokartono, 1979) menyebutkan, dalam pertemuan tersebut Sosrokartono meminta kepada Rooseboom untuk benar-benar memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.

Beberapa ajaran lain Sosrokartono yang sempat terwariskan dan kini dikenal sebagai Kantong Bolong adalah:
1. Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. (Kaya tanpa Harta/Kaya Hati; Sakti tanpa Ilmu).
2. Trimah mawi pasrah (rela menyerah terhadap keadaan yang telah terjadi).
3. Suwung pamrih tebih ajrih (jika tak berniat jahat, tidak perlu takut).
4. Langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, tidak kenal duka maupun suka).
5. Anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).

Lima pesan itu tercantum di nisan sebelah kiri Sosrokartono yang jasadnya dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono terdapat makam ibunya, Nyai Ngasirah, dan bapaknya, RMA Sosroningrat.

Sampai di sini, mari kita bandingkan peran dan sumbangsih Kartini, Kiyai Sholeh Darat, dan Sosrokartono, pada bangsa Indonesia? Siapa yang lebih pantas dikenang sebagai pejuang? Kartini, yang semasa hidupnya tak pernah berani melawan tirani penjajahan secara terbuka, tumpas di tangan waktu di usia muda sebab menanggung perih diperistri seorang bupati. Hatinya remuk redam. Bahkan melawan kepiluan sendiri, ia kalah. Berbanding terbalik dengan Rohana Kudus di Sumatera Barat yang menerbitkan surat kabar perempuan Soenting Melajoe pada 1912; Dewi Sartika di Bandung yang aktif mengajar di sekolah yang ia dirikan; Martha Christina Tiahahu, seorang gadis desa di Pulau Nusalaut yang berani mengangkat senjata melawan penjajah Belanda saat masih berumur 17 tahun; Laksmana Keumalahayati, pemimpin armada perempuan Aceh yang anggun lagi menawan; dan Cut Nyak Dhien yang bak harimau Sumatera nan perkasa.

Ibu kita Kartini/Putri Sejati/Putri Indonesia/Harum namanya…

Kepada Ibu Kartini, maafkan kelancangan saya. Tulisan ini bukan untuk mencoreng-moreng namamu yang sudah kadung melegenda itu. Bukan. Melainkan untuk mengudar rasa kebangsaan tentang pembodohan Belanda yang entah kapan dimulai dan masih bertahan hingga hari ini. Semoga dikau mafhum. Semoga pula Gusti Allah meridhai masa hidupmu, para Guru Besar bangsa, dan tetua negara Indonesia tercinta semasa di dunia dan merahmati kalian selalu hingga kini.

Kepada mereka semua, mari kita hadiahkan bacaan surat al-Fatihah… []

Omah Prabata, 13 Rajab 1437 H