Malam itu, di Mesjid Turabunnur, Kecamatan Sipatana Kota Gorontalo, sejumlah orang duduk bersilah dengan memanjatkan doa kepada salah satu kiai yang cukup terkenal di Gorontalo, KH Ridwan Podungge. Terpampang spanduk yang bertuliskan “Haul Aba Idu Satu Dekade”. Sapaan Aba Idu menjadi sapaan akrab dari KH Ridwan Podungge. Malam itu KH Helmi Podungge, anak dari KH Ridwan Podungge, berkisah tentang perjuangan ayahnya mendirikan majelis Turabunnur.
Majelis itu cukup terkenal di sekitaran kompleks Kecamatan Sipatana, yang banyak menjebolkan santri-santri yang mumpuni ilmu keislamannya. Dan KH. Ridwan Podungge alias Aba Idu lah yang menjadi pendiri majelis tersebut. Kisah Aba Idu mendirikan majelis tersebut menarik untuk kita simak.
Aba Idu lahir pada tanggal 20 november 1945, dua bulan setelah kemerdakaan Republik Indonesia di Proklamirkan. Penuturan salah satu muridnya, Imran Tahir bahwa, Aba Idu sendiri bukanlah sosok yang berlatar belakang dari dunia pendidikan baik sekolah umum, maupun pesantren. Meski demikian, Aba Idu mampu mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti, nahwu-shorof, tafsir, dan bahkan Aba Idu terkenal dengan istilah kamus berjalan, di mana ia mampu menerjemahkan bahasa Arab langsung ke bahasa Gorontalo.
“Menurut saya, Aba Idu menjadi guru ngaji yang sangat toleran dan humanis. Ketika kecil ikut pengajian Aba Idu, saya menjadi murid yang bandel. Namun Aba Idu tidak mengajarkan saya dengan pukulan, namun Aba memberikan nasihat-nasihat agama yang mengubah sikap bandel saya waktu itu,” tutur Imran.
Kesabaran dalam mengajar, yang dibarengi dengan sikap humanis menjadi dasar cara mendidik Aba Idu di majelisnya.
Karomah Perangsang Gairah Belajar Agama
Ketika kecil, tutur Kiai Helmi bahwa, Aba Idu pernah bertemu dengan Sayyid Idrus atau yang akrab dikenal Guru Tua, pendiri Alkhairaat-Palu. Kala itu Aba Idu berusia tujuh tahun. Kebiasaan Aba Idu kecil yakni ia sering bermain di sekitaran pengajian al-huda (baca : pesantren).
Suatu hari, orang-orang tengah berkumpul di pengajian dengan hati yang senang, karena pengajian mereka didatangi oleh salah seorang ulama Yaman yang bermukim di Palu, Sulawesi Tengah yakni, Sayyid Idrus. Kedatangan Sayyid Idrus atau yang akrab disapa Guru Tua membuat mereka antusias.
Mereka pun berbondong-bondong datang, ada yang duduk di dalam ruangan, ada juga yang berdiri di luar pintu, karena banyaknya orang yang ingin mendengarkan petuah-petuah dari Guru Tua. Seketika itu, Guru Tua berucap-ucap fasih dengan bahasa yang sehari-hari dikenal melalui lafalan qur’an yakni, bahasa Arab. Para murid pengajian dan masyarakat yang ikut mendengar pun menunggu-nunggu para pengalih bahasa Arab ke Indonesia, yang seringkali datang bersama Guru Tua. Namun saat itu, pengalih bahasa itu tak sempat hadir.
“Kebetulan, Aba Idu bermain di tempat pengajian pada saat itu. Saat Guru Tua berbicara tidak ada yang paham, kemudian Aba Idu dipanggil menghadap ke Guru Tua dan diusaplah kepala dan dada Aba Idu kecil. Seketika Guru Tua berbicara dengan bahasa Arab, Aba Idu dengan spontan menerjemahkannya ke bahasa Gorontalo,” tutur Kiai Helmi.
Para murid pengajian dan masyarakat yang ada saat itu terheran-heran dengan kejadian itu. Mereka mengetahui bahwa, Aba Idu kecil tak pernah mengenyam pendidikan pesantren, namun melalui karomah Guru Tua, ia seketika menerjemahkan penuturan Arab langsung ke penuturan Gorontalo.
“Sejak saat itu semangat Aba Idu berlajar agama, belajar kitab menjadi terangsang, dan kian hari makin bertambah hasratnya untuk belajar berkat karamah Guru Tua,” sambung Kiai Helmi.
Silsilah Keilmuan dan Para Guru
Kebiasaan sering bermain di majelis pengajian ataupun pesantren itu menjadi media Aba Idu mengenal ilmu-ilmu agama, tanpa duduk langsung di pengajian tersebut. Setelah kejadian karamah Guru Tua itu, yang awalnya tugas Aba Idu kecil hanya menyajikan kukis (kue) dan membuat kopi untuk guru ngaji dan jamaah, dia selingi dengan memanfaatkan mendengarkan pengajian yang dibawakan oleh Guru Ngaji yakni KH Abbas Rauf atau yang akrab dikenal Kali Abbasi dari balik pintu.
“Aba Idu tak pernah melewati kajian kitab yang dibawakan Kiai Abbasi, mulai dari kitab Ihya Ulumuddin, Sirur Asyrar, Insanul Kamil, Fatuhatul Mahkhiyah, dan Al-Hikam,” imbuh Kiai Helmi.
Sambung Kiai Helmi, di taman pengajian al-huda, tempat mengajar Kali Abbasi tadi, juga mengajarkan dasar-dasar tasawuf, mulai dari Nasahihul Ibad, Irsadul Ibad, Tankihyl Qaiul, Biyadul Shalihin, Fathul Qarib, Minhajul Habidin dan Tanbihul Ghafilin. “Selain belajar kitab di taman pengajian guru-guru ngaji asli Gorontalo, Aba Idu juga berguru ke guru-guru ngaji luar Gorontalo seperti, Habib bin Lamin kakek dari Habib Salim Al-Jufri”.
Penuturan Kiai Helmi, pada sejarahnya, Islam yang datang di Gorontalo melalui Tariqah atau Ulama Tasawuf. Selanjutnya, Ilmu Syariat dan Fiqih dikembangkan oleh Haji Alimu (bukan nama asli), seorang ulama dari kerajaan Gowa- Bugis. Haji Alimu mendatangi Gorontalo, dan menyebarkan ilmu-ilmu agama melalui majelis-majelis ilmu. Dari Haji Alimu lahirlah muridnya bernama Haji Lombo (bukan nama asli), Bapu Matoa (bukan nama asli), Ayah dari Bapu Paci (bukan nama asli), dan Bala Kitabi (bukan nama asli).
Dari ke empat murid Haji Alimu tadi, ada dua murid di antaranya Bapu Matoa dan Bala Kitabi, yang belajar dan menetap di Mekkah, Arab Saudi. Bapu Matoa belajar dan menetap selama dua tahun di Mekkah, sedangkan Bala Kitabi sewaktu melaksanakan Haji, ia belajar agama dan menetap selama 13 tahun. Menurut penuturan Kiai Helmi, Bala Kitabi tak menyangka bahwa ia seperguruan atau seangkatan dengan pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH Hasyim Ash’ary.
“Bala Kitabi bukanlah nama aslinya. Tapi itu adalah sebutan untuknya karena setelah ia pulang dari Mekkah, beliau membawa banyak kitab (buku), jumlahnya sama dengan satu gerobak,” ungkap Kiai Helmi.
Bala Kitabi dikarunai anak yang juga juru dakwah di antaranya: KH Abdul Samad Ota atau Tuan Samadi, kemudian KH Yahya Podungge atau Bapu Paci Nurjana, KH Abbas Rauf atau Kali Abbasi, Kali Alinti (bukan nama asli), dan KH Ridwan Podungge atau Aba Idu. Dari anak-anak Bala Kitabi tersebut, lahirlah Danggu Jou (bukan nama asli), Guru Aripu, Adam Zakaria, KH Mar’i Rauf atau Kalimbo Mari adik dari Kali Abbasi. “Kemudian Aba Idu belajar dari Aba Undu, yang merupakan murid dari Tuan Samadi, anak dari Bala Kitabi. Pendidikan Aba Idu melalui orang-orang yang telah disebutkan di atas, didapatkan dari mendengarkan pengajian-pengajian ilmu agama di majelis-majelis”.
Pendiri dan Pengasuh Majelis Turabunnur
Para murid di majelis Turabunnur sangat menghargai guru mereka yaitu Aba Idu. Penuturan Imran Tahir, salah satu murid Aba Idu, setelah menempu perjuangan mengenyam pendidikan melalui media mendengarkan majelis pengajian alias non pesantren, Aba Idu memiliki hasrat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun karena kurang pengalaman di dunia pesantren, ia akhirnya mendirikan Majelis Pengajian Turabunnur, yang pada saat awal-awal berdiri lokasinya berpindah-pindah. Lokasi awal majelis itu bertempat di rumah orang tua Aba Idu, di Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, tempat yang nantinya menjadi Masjid Turabunnur.
Dijelaskan Kiai Helmi, baginya, Aba Idu adalah sosok ayah yang sangat baik. Cara ia membimbing dan mengajarkan ilmu dan akhlak kepada anak-anaknya tidak dengan sikap keras atau dengan cara otoriter, beliau seringkali memberi nasihat-nasihat agama yang bernuansa humanis.
“Aba sering menekankan bahwa yang paling penting dari menuntut ilmu adalah akhlak yang baik. Akhlak baik kepada guru, masyarakat, terutama kepada ulama. Meskipun itu ulama masih muda. Dan hal itu tidak sekedar menjadi omongan belaka, tapi itu terus dipraktekkannya hingga akhir hayat,” jelas kiai Helmi.
Namun, dibalik kelembutan cara ia mengajar juga terbalut ketegasan. “Kadang juga ia memberi hukuman seperti, tidak memberi jajan jika tidak shalat”, kata Kiai Helmi.
Cara Aba Idu mengajarkan kitab, ungkap Imran Tahir, dengan berkunjung ke majelis-majelis lain, dan juga mengunjungi rumah-rumah para muridnya. “Jadi selain punya satu tempat, Aba Idu mengajarkan kitab itu dengan berkunjung ke rumah-rumah muridnya, dan juga warga sekitar. Kepada anak-anaknya, beliau mewasiatkan bahwa, jangan pernah berhenti belajar atau mengaji kitab-kitab yang diberikan kepada kita,” ucap Imran Tahir.
“Bahkan sampai dekat ajal beliau itu tetap memberikan pengajian di majelis. Itu yang di tekankan oleh beliau. Jangan pernah tinggalkan belajar, karena jika kita banyak belajar, terutama dari kitab para ulama, maka selain kita dapat ilmu, kita juga dapat barokah dari para ulama pengarang kitab,” kata Kiai Helmi.
NU dan Kearifan Lokal Gorontalo
“Aba Idu adalah orang yang mempertahankan apa yang dirintis oleh orang-orang terdahulu, selama tidak bertentangan dengan agama. Ia mendukung selama masih sesuai syariat. Aba Idu adalah orang yang kukuh mempertahankan kearifan lokal, mengingat paham-paham keagamaan yang tidak setuju mulai merebak pada saat itu,” tutur Kiai Helmi.
Itulah yang dipesankan oleh Aba Idu terkait ajaran islam yang tak bertentangan dengan syariat. Beliau bahkan menekankan tentang moderasi beragama kepada para murid di majelis Turabunnur tentang pentingnya menghargai mereka yang berebda agama, hal itu mampu mencegah perpecahan di kalangan masyarakat.
Aba Idu adalah salah satu ulama turut andil mempertahankan kearifan lokal Gorontalo. Ia tidak mempertentangkan amalan-amalan yang dipadukan dengan lokalitas, sepanjang masih bersesuaian dengan syariat islam. Begitupula dengan masuknya pengaruh Ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) di Gorontalo. Menurut Kiai Helmi, ajaran yang pas dengan lokalitas Gorontalo adalah ajaran NU.
“Dulu mayoritas masyarakat di Gorontalo adalah NU, yang paham hanya amaliyahnya saja. Amaliyah NU yang diterapkan seperti Aruwa, Baca Barasanji, Maulidan, Tujuh Hari dan lain sebagainya. Namun, secara struktur ke-NU-an mereka kurang dikenal,” tutur Kiai Helmi.
Pengakuan lain dari Imran Tahir bahwa, di Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo sejak dulu telah mengamalkan ajaran ahlussunnah wal jamaah. “Bahkan Aba Idu juga pernah masuk ke dalam struktural NU.”
“Beliau adalah NU kultural dan struktural. Aba Idu pernah tergabung dalam Dewan Syuro, dan beliau adalah salah satu orang yang memperjuangkan NU di Gorontalo,” ucap kiai Helmi.
Sepeninggal Aba idu pada tanggal 13 Juni 2009, makamnya sering di ziarahi berbagai kalangan termasuk para murid-muridnya. Majelis Turabunnur, yang merupakan warisannya kini diasuh anaknya KH Helmi Podungge dan Majelis ini masih bertahan dan mengajarkan berbagai kitab yang pernah dibaca Aba Idu.
Semoga jejak dari ulama NU di Gorontalo ini tetap terjaga sepanjang masa. Semoga KH Ridwan Podungge atau Aba Idu bisa menjadi inspirasi kita dalam mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama. Semoga. Sebagai penutup tulisan ini, mari sama-sama kita kirimkan al-fatiha kepada ulama kita KH Ridwan Podungge dan juga Guru Tua.***