Karena Meiliana Non-Muslim?

Karena Meiliana Non-Muslim?

Meiliana dan Sayed Hasan sama-sama komplain speaker masjid. Tapi nasib keduanya berbeda.

Karena Meiliana Non-Muslim?

Meiliana non-muslim (seorang Budhis) dan Sayed Hasan muslim? Apa karena perbedaan ini “takdir” keduanya juga berbeda?

Meiliana, perempuan 44 tahun dari etnis Tionghoa asal Tanjung Balai itu divonis pengadilan 18 bulan penjara karena menyoal azan dengan pengeras suara luar. Sedang kasus Sayed Hasan berhenti setelah lelaki 75 tahun asal Banda Aceh itu meminta maaf dan mencopot tuntutannya.

Perbuatan Sayed Hasan jauh lebih berani dan dilancarkannya di daerah berjuluk Serambi Mekkah. Pada awal 2013, digugatnya pihak-pihak ini ke pengadilan negeri : Kepala Kemenag Banda Aceh , Ketua Majlis Permusyawaratan Ulama Banda Aceh, Kepala Dinas Syariat Islam, Kepala Kampung, Imam dan Ketua pengurus Masjid Al-Muchsinin. Al-Muchlisin, masjid tak jauh dari rumahnya.

Sama dengan Meiliana. Sayed Hasan menyoal pengeras suara luar saban menjelang Magrib dan Subuh, termasuk suara tadarus hingga tengah malam saban Ramadhan. Ia sudah mengingatkan pengurus masjid. Suara itu membuat tubuh rentanya makin rungsing. Ia punya jantung dan hipertensi, juga mengganggu ketika ia ibadah di rumah.

Karena gugatannya, Sayed Hasan juga didemo warga dan nyaris mendapat kekerasan. Ia tak gentar mesti belakangan kompromi. Setelah itu masjid di dekat rumahnya juga mengalah. Memperkecil volume pengeras suara.

Jika karena muslim, seseorang seperti mendapat perlakuan berbeda, nyatanya ada sejumlah kasus yang dihadapi muslim lain dengan hukuman lebih dari dua tahun. Harus dikatakan, kasus ini terletak pada norma hukum, implementasi, dan tekanan massa.

Pasal penodaan agama ini sudah berkali-kali dipersoalkan di dalam negeri dan luar negeri. Pasal ini memakan banyak korban. Menurut data, sejak 1998-2011 saja sudah120 orang diseret ke pengadilan. Tapi, putusan MK tentang uji materi PNPS 1965 pada 2010 tak menganggap perlu menghapusnya. Gus Dur termasuk pihak perseorangan yang menggugat. UU ini diperlukan, meski MK yang waktu itu diketuai Mahfud MD mengaku penerapannya kadang bermasalah dan tidak memiliki indikator yang jelas. Putusan terhadap Meiliana menurut saya salah satu implementasi pasal 156a yang bermasalah.

Sepertinya putusan Meiliana ini bikin Indonesia seolah tengah membabat jalan menuju pengalaman Pakistan. Tentu saja berlebihan jika kita sama saja dengan republik itu. Misalnya kisah-kisah mencekam ini. Gara-gara isu penodaan, Salman Tasser dibedil pengawalnya pada awal 2011. Dua bulan berikutnya, Shahbaz Bhatti, Menteri Urusan Minoritas Pakistan, diberondong peluru saat keluar dari rumah ibunya. Nyawanya lunas tak tertolong. Belum lagi kasus-kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah di sana.

Pakistan punya banyak kasus penodaan yang mirip Indonesia. Pada 2011, bapak-anak divonis menodai agama karena menyobek poster maulid: seumur hidup. Ada kasus Asia Bibi (45 tahun).

Kita harus serius menangani ini. Jika tidak, jangan-jangan kita memang tengah membiarkan diri menjadi Pakistan. Jika tidak, jangan-jangan kita sedang meyakinkan orang yang percaya bahwa karena Meiliana non-muslim ia harus menanggung nasibnya sekarang.

Kalimulya Depok
Alamsyah M Djafar