Beberapa hari yang lalu, wakil presiden RI, Kyai Ma’ruf Amin menyampaikan himbauannya agar umat muslim membayarkan zakatnya lebih awal sebelum Ramadhan tiba. Hal ini mengingat banyaknya masyarakat yang tengah berada dalam kesulitan ekonomi akibat wabah Covid-19 yang belum kunjung usai. Himbauan ini juga diamini oleh menteri agama RI, Bapak Fachrul Razi, yang menyatakan setuju dengan usulan Kyai Ma’ruf tersebut. Beliau mengatakan, “kami sependapat bahwa yang dimaksud Pak Wapres adalah zakat mal atau zakat harta.” Namun secara spesifik, Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI (Wantim MUI), Noor Ahmad, sebagaimana yang dikutip oleh detik.news, menafsiri bahwa yang dimaksud oleh wapres adalah zakat fitrah.
Ia menggarisbawahi bahwa secara umum ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait waktu pembayaran zakat fitrah. Namun yang jelas, menurut Noor Ahmad, Imam Syafi’i dalam hal ini membolehkan pembayaran zakat fitrah dilakukan di awal Ramadhan, tidak mesti menunggu bulan Ramadhan selesai atau menjelang Idul Fitri. Sementara itu Ketua Wantim MUI, Prof. Din Syamsudin, meyakini bahwa yang dimaksud oleh Kyai Ma’ruf adalah zakat, infak, dan sedekah pada umumnya, bukan zakat fitrah, karena zakat fitrah menurutnya hanya boleh dibayarkan setelah masuknya bulan Ramadhan. Pertanyaannya, benarkah demikian.? Adakah pendapat ulama yang membolehkan hal itu dalam Mazhab Syafi’i?
Secara umum, di dalam mazhab Syafi’i sebagaimana yang dijelaskan oleh Habib Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salim al-Kaf dalam karyanya al-Taqrirat al-Sadidah, setidaknya ada 5 waktu untuk pembayaran zakat fitrah. Pertama, waktu wajib, yaitu ketika seseorang muslim mendapati waktu terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan. Kedua, waktu fadhilah (utama), yaitu ketika terbitnya fajar di tanggal 1 Syawwal sebelum Salat Ied dimulai. Ketiga, waktu jawaz (boleh), yaitu semenjak masuknya Bulan Ramadhan. Keempat, waktu karahah (makruh), yaitu ketika selesainya pelaksanaan Salat Ied hingga terbenamnya matahari, kecuali untuk kemaslahatan menunggu kerabat atau mustahik yang layak menerimanya.
Kelima, waktu hurmah (haram), yaitu mengakhirkannya sampai terbenamnya matahari di tanggal 1 Syawwal, kecuali bagi mereka yang memiliki uzur syar’i seperti belum datangnya harta yang harusnya dia keluarkan untuk zakat fitrah atau belum menemukan mustahik yang berhak untuk menerimanya. Maka dalam kondisi seperti ini yang bersangkutan masih diperbolehkan untuk membayarkan zakat fitrahnya sebagai qadha’ (pengganti), tanpa ada dosa sama sekali karena uzur yang menghalanginya. Dapat disimpulkan dari 5 waktu itu tidak satupun yang mengisyaratkan bolehnya membayar zakat fitrah sebelum Ramadhan.
Hal ini diperkuat lagi oleh pernyataan Imam al-Rafi’i, dalam karyanya al-Muhadzzab, di mana beliau menjelaskan bahwa ilat atau sebab yang mewajibkan pembayaran zakat fitrah ini ada dua, pertama masuknya Bulan Ramadhan dan yang kedua terbenamnya matahari di akhir bulan tersebut. Sehingga bagi siapapun yang mendapati salah satu dari dua sebab itu, maka ia sudah diperbolehkan untuk mengeluarkannya. Boleh di awal bulan Ramadhan dan boleh juga di akhirnya. Imam al-Rafi’i juga menekankan bahwa tidak dikatakan zakat fitrah kalau ia dikeluarkan sebelum masuknya Bulan Ramadhan, karena ketiadaan sebab yang mewajibkannya.
Namun Imam Nawawi, dalam penjelasannya terhadap kitab al-Muhadzzab, mengemukan sebuah pendapat yang dinukil dari Imam al-Baghawi di mana ada segolongan ulama Syafi’iiyah yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dilakukan sepanjang tahun, artinya boleh ditunaikan sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini ini juga beliau sebutkan dalam kitabnya yang lain, yaitu kitab Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftiin yang kemudian dikutip lagi oleh Imam Syamsuddin al-Syirbini dalam kitabnya al-Iqna’. Sekalipun pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang marjuh (tidak diunggulkan), namun paling tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang sedang kesulitan akibat virus Corona yang terus menyebar hingga hari ini.
Pendapat seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, keterangan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam karyanya al-Mughni. Bahkan Imam Abu Hanifah membolehkan pembayaran zakat fitrah ditunaikan sejak awal tahun, tidak perlu menunggu bulan Ramadhan ataupun hari raya Idul Fitri. Hal ini menurut beliau disebabkan karena zakat fitrah sejatinya sama dengan zakat mal biasa yang pembayarannya boleh didahulukan dari waktunya. Adapun sebab wajibnya pembayaran zakat ini menurut beliau adalah karena masih adanya umur (nyawa) dari seseorang pada tiap tahunnya. Sehingga orang yang masih hidup di setiap awal tahun, maka sudah dibolehkan untuk membayarkan zakat fitrahnya.
Pendapat dari sebagian ulama Syafi’iyyah di atas ataupun ijtihad yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah ini kiranya bisa kita jadikan sebagai sandaran untuk menyegerakan pembayaran zakat fitrah dari sekarang. Meskipun pendapat ini tidak masyhur di kalangan ulama mazhab Syafi’i ataupun mazhab secara umum, tapi ia mengandung kemaslahatan yang sangat besar untuk kehidupan umat muslim hari ini. Banyak data dan fakta yang kita peroleh terkait betapa susahnya masyarakat dalam menghadapi wabah ini. Ditambah lagi dengan kemampuan negara kita yang juga terbatas dalam memberikan subsidi secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia. Sehingga ijtihad sosial keagamaan seperti ini -menurut penulis- bisa menjadi salah satu solusi untuk membantu meringankan kesulitan di tengah musibah bersama ini.