Karen Armstrong dan Brexit

Karen Armstrong dan Brexit

Karen Armstrong dan Brexit

Dalam forum yang dihadiri peserta dari 40 negara dan dibuka Presiden Singapura itu, mantan biarawati kelahiran Inggris ini tampil cemerlang dan membetot perhatian. Beberapa orang yang saya temui di sela-sela konferensi, menyampaikan itu dengan penuh penghormatan. Saya kira banyak pemikir yang fasih menjelaskan lekuk-lekuk tubuh agama dari ubun-ubun hingga mata kaki, tapi tak banyak yang datang dengan satu kesimpulan baru dari ketersambungan ajaran dan sejarah agama-agama itu.

Karen Armstrong pagi itu datang dengan gagasan ini. Masalah kita, masalah orang beragama, katanya, ada pada cara kita mengelola ego. Fenomena Brexit di Inggris dapat dilihat sebagai salah satu tanda ada masalah dengan ego. Pernyataan yang tampaknya rumit. Bagaimana menghubungkan ego dan Brexit. Bukan hanya Brexit, Karena juga bicara gejala etno-nasionalisme, gejala kecintaan buta dan berlebih pada bangsa sendiri. Tapi, saya kira ini peryataan itu tak serumit memahami pernyataan salah seorang pesohor Indonesia yang kalau calon presidennya kalah bakal banyak orang tak lagi menyembah tuhan.

Ego pula yang kata perempuan yang pernah didera ayan ini membuat sebagian orang beragama jadi ingin menang-menangan. Begini kira-kira penjelasannya. Inti beragama menyembah tuhan. Penyembahan ini bersifat “transeden”. Karena transenden pengalaman keagamaan tak bisa disamakan satu dengan lainnya. Ia melampaui segalanya. Ia tidak ada di luar, tapi ada dalam jiwa kira.

Jadi, jika ada orang yang ingin memaksakan agamanya pada yang lain, maka artinya tak lagi bersifat transenden dan yang paling tampak mengikuti ego. Persis di situ agama mulai “bermasalah”. Istilah transenden bagi juga tak kalah rumit. Itulah hebatnya pemikir, membuat sesuatu jadi lebih rumit dari sebelumnya dan karena itu butuh dipikirkan tak sebentar.

Agar agama bisa kembali menjadi “ideal”, maka yang harus dibereskan tak lain ego mereka. Jika beres agama dapat membantu menjawab masalah-masalah kontemporer. Sebab, agama, kata perempuan berusia di atas 70 tahun ini, bukan perangkat agar orang kembali ke masa lalu tetapi menjawab masa kini dan masa depan, termasuk etno-nasionalisme dan merebaknya kebencian. Sampai di sini, masih bingung bukan?