Akhir-akhir ini media sosial nusantara diramaikan dengan sikap partai politik tertentu yang telah mengangkat salah seorang tokoh politik menjadi seorang ulama. Tentu, sikap tersebut menimbulkan beragam respon dari masyarakat.
Di sini, penulis tidak bermaksud untuk merespon secara langsung fenomena sosial tersebut, akan tetapi, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran akan tanda-tanda dan karakteristik seorang ulama yang dikehendaki Al-Quran. Pengenalan terhadap tanda-tanda tersebut dapat membantu kita untuk mengenali individunya secara tepat. Tanda-tanda dan karakteristik tersebut dapat kita temukan dalam Q.S. Fāthir/ 35 28-29.
وَ مِنَ النَّاسِ وَ الدَّوَابِّ وَ الْأَنْعامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوانُهُ كَذلِكَ إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ إِنَّ اللَّهَ عَزيزٌ غَفُورٌ (28) إِنَّ الَّذينَ يَتْلُونَ كِتابَ اللَّهِ وَ أَقامُوا الصَّلاةَ وَ أَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْناهُمْ سِرًّا وَ عَلانِيَةً يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ (29)
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (35 Q.S. Fāthir/: 28-29).
Setelah menggambarkan keanekaragaman ciptaan dengan segala kesempurnaan pengaturannya, Allah swt dalam Q.S. Fāthir/ 35 28 menegaskan bahwa hanya ulama-lah yang memiliki rasa takut kepada-Nya.
Sudah umum diketahui, bahwa begitu banyak orang yang mempelajari alam dan fenomenanya, akan tetapi sedikit yang bertambah keimanan dan ketakwaannya akibat pengetahuan tersebut. Ulama merupakan seseorang yang dianugerahi sebuah maqam yang tinggi, yakni al-khasyyah (takut). Al-khasyyah merupakan sebuah rasa takut yang diakibatkan dari persepsi akan keagungan Allah swt. Sebuah rasa yang di dapat setelah mentadaburi ayat-ayat Allah, baik berupa segala hal yang berkaitan dengan diri manusia (al-anfusiah) maupun hal-hal yang terkait dengan alam eksternal (al-āfaqiyah). Rasa takut tersebut bisa muncul karena adanya sebuah pengetahuan. Tanpa adanya sebuah pengetahuan maka tidak mungkin muncul rasa takut terhadap sesuatu.
Jelas dari sini, diketahui bahwa ulama dalam sudut pandang Al-Quran adalah bukan seseorang yang menguasai beragam pemikiran yang diperdebatkan atau seorang pakar yang menempati jabatan-jabatan penting dalam sebuah lembaga tertentu. Ulama, dalam sudut pandang ini, adalah mereka yang diri dan qalbu-nya diliputi oleh cahaya iman dan takwa. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Ulama merupakan seseorang yang benar pernyataan dan tindakannya. Seseorang yang tidak benar pernyataan maupun tindakannya maka tidak layak disebut sebagai seorang yang ‘ālim”.
Selanjutnya, dalam Q.S. Fāthir/ 35: 29 dijelaskan tiga ciri-ciri ulama lainnya yang lebih umum. Diantaranya: (1). lisan dan qalbunya selalu berdzikir kepada Allah/ membaca (tilāwah) akan ayat-ayat Allah. (2). beribadah dan melakukan sholat. (3). menginfaqkan segala yang dimilikinya baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
Jelas, tilāwah yang dimaksudkan dalam ayat ini tentu bukan hanya membaca semata. Akan tetapi membaca yang diiringi dengan sebuah proses tafakkur yang dapat melahirkan amal sholih. Dalam ayat ini juga disebutkan dua jenis amal sholih: pertama, amal vertikal yang berupa sholat; sebuah amal yang menghubungkan diri manusia dengan Allah swt secara langsung. Kedua, amal horisontal yang berupa infaq; sebuah amal yang menghubungkan diri kita dengan sesama manusia.
Infaq itu sendiri, sebagaimana disebutkan oleh Q.S. Fāthir/ 35: 29, dapat diklasifikasi menjadi dua ragam, yakni: infaq secara rahasia maupun secara terang-terangan. Infaq yang dilakukan secara rahasia memiliki nilai keutamaan tersendiri karena menunjukan kualitas keikhlasan kita. Dan, terkadang, infaq juga perlu dilakukan secara terang-terangan agar menjadi syiar-syiar Allah, serta mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Dari penjelasan singkat tentang tanda-tanda/ ciri-ciri ulama di atas, maka dalam perspektif Al-Quran, ulama merupakan maqam tinggi, yang dicapai oleh hamba-hamba pilihan Allah swt. Maqam kedekatan sedemikian rupa yang dicapai seseorang sehingga hanya ulama-lah yang takut (al-khasyyah al-khasyyah) kepada Allah swt. Oleh karenanya, al-khasyyah (rasa takut) kepada Allah sebagaimana disebut oleh Q.S. Fāthir/ 35: 28 merupakan ciri-ciri khusus seorang ulama. Sedangkan Q.S. Fāthir/ 35: 29 menyebutkan tiga tanda umum lainnyanya: tilāwah, beribadah/ sholat dan infaq. Jadi, ulama bukan sebuah gelar pendidikan atau jabatan yang dengan mudah diberikan oleh sebuah lembaga atau seorang individu tertentu untuk kepentingan tertentu.
Kerwanto, Penikmat Kajian Tafsir.