Akhir Februari 2016 lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis sebuah riset yang mengejutkan. Dalam riset ini, terungkap bahwa radikalisme sudah merasuk di kampus melalui jaringan organisasi kemahasiswaan, dengan status darurat. Hal ini, disampaikan oleh periset Anas Saidi, dalam sebuah pemaparan hasil risetnya “Membedah Pola Gerakan Radikal” di Gedung LIPI, akhir Februari lalu.
Berdasarkan catatan Anas Saidi, gerakan Islamisasi melalui organisasi kemahasiswaan memiliki ciri khas. Mereka yang mengingingkan berdirinya khilafah dan menentang Pancasila. Islamisasi ini, berkaitan erat dengan gerakan radikalisasi Ideologi. Pandangan ideologis kelompok ini sangat tertutup, serta sangat anti terhadap perbandingan mazhab dan sangat monolitik. Kelompok ini, juga mengharamkan membaca buku-buku Gus Dur dan Nurkholish Madjid.
Selain karakter tersebut, Anas Saidi juga menambahkan bahwa mahasiswa yang belajar ilmu eksak lebih mudah direkrut kelompok radikal, dibandingkan mahasiswa ilmu sosial. Sejalan dengan riset LIPI, riset yang dilakukan oleh UIN Syaruf Hidayatullah Jakarta, menunjukkan data yang menarik terkait radikalisme di sekolah menengah. Bahwa, 25 % persen siswa dan 21 % guru menyatakan Pancasila tidak relevan. Sedangkan, 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyatakan setuju dengan penerapan syariat Islam.
Rekomendasi dari riset yang dilakukan oleh Anas Saidi dari tim LIPI, meminta agar pemerintah harus turun tangan. Sebagai agensi, dalam hal ini, Kemendiknas dan Kemenag harus melalukan penyegaran dan revisi atas sistem pendidikan sekaligus kurikulum agar radikalisasi tidak semakin membesar.
Radikalisme Mahasiswa
Jika riset LIPI tentang radikalisme dapat dijadikan referensi, tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, khususnya dunia kampus. Gerakan radikal di kampus, terutama melalui mahasiswa tentu tidak akan bertahan lama jika tidak terkait berkelindan dengan jaringan birokrasi, pimpinan kampus, dosen, hingga jaringan luar kampus yang memasok informasi sekaligus energi.
Bahkan, yang menarik dan sekaligus mengkhawatirkan, jaringan radikal di kampus melalui organisasi kemahasiswaan ini, meragukan Pancasila sebagai dasar negara, basis ideologi bangsa. Mereka berusaha menanamkan kesadaran, bahwa ideologi yang benar adalah syariat Islam, yang secara politik membangun sistem bernama Khilafah.
Apa yang harus dilakukan untuk meredam radikalisme di kampus? Tentu saja, harus ada kerja sistemik yang menjadi gerakan bersama:
Pertama, pihak rektorat sebagai pimpinan kampus, harus berani membuat standar bahwa gerakan mahasiswa wajib sesuai dengan ideologi Pancasila, sekaligus mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal ini penting, bukan melarang salah satu organ, akan tetapi menerapkan standar nilai atas ideologi gerakan mahasiswa. Jika tidak ada upaya tegas, maka jangan menyesal jika kampus-kampus akan menjadi sarang gerakan radikal.
Kedua, dosen dan pengajar harus disterilkan dari ideologi radikal. Dosen dan staf pengajar kampus, harus memahami kembali konsep kesatuan bangsa, yang menjadi dasar negara. Jangan sampai, dosen yang menjadi pengawal ideologi radikal.
Ketiga, pemetaan jaringan internal dan eksternal kampus. Organisasi mahasiswa tidak akan memiliki kekuatan penuh jika tidak terhubung dengan jaringan luar kampus, baik gerakan mahasiswa ataupun partai politik. Sudah selayaknya, hal ini dipetakan oleh pihak pimpinan kampus.
Gerakan sistemik ini, hanya menjadi ikhtiar darurat agar kampus tidak menjadi sarang radikalisme. Gerakan kemahasiswaan seharusnya menjadi pintu mahasiswa untuk berprestasi dalam akademik, organisasi dan kompetisi pemuda. Jangan sampai, kampus hanya menjadi kawah candradimuka aktivis gerakan radikal[].