Saya lama sekali memperhatikan karir politik Bapak kita dalam gambar ini. Saya kira, sebagai politisi, namanya sudah lama beredar. Jejak kakinya ada dimana-mana.
Dia pernah menjadi ketua organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Dia juga pernah duduk seabgai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Dia punya gelar PhD dari University of California at Los Angeles (UCLA) dalam bidang kajian Islam. Dia duduk di berbagai organisasi internasional termasuk organisasi yang membangun dialog antar-agama. Sekalipun track-record dia dalam bidang ini tidak terlalu bagus-bagus amat.
Selain itu, dia juga politisi. Pernah aktif di Golkar semasa Orde Baru. Juga pernah aktif menjadi petinggi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada saat organisasi itu masih memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam politik.
Hampir semua jejaknya seharusnya membimbing dia ke tingkat kekuasaan yang tinggi. Minimal menjadi wakil presiden seperti KH Ma’ruf Amin yang menggantikannya menjadi Ketua Umum MUI.
Kemarin bapak kita ini dikabarkan ikut dalam deklarasi pendirian KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Entah apa tujuan dari Koalisi ini. Warga internet bahkan memplesetkannya menjadi Koalisi Aksi Manula Indonesia. Karena anggota-anggotanya sebagian besar manula — yang merasa diri pantas menjadi pejabat. Aksi deklarasi ini sama sekali mengabaikan protokol kesehatan. Padahal usia aktivis-aktivis sepuh ini tergolong beresiko tinggi.
Bapak kita ini mendapat sorotan khusus di media karena dia mengundang Duta Besar Palestina, yang dengan polosnya datang karena menyangka akan menghadiri perayaan kemerdekaan RI.
Kembali pada persoalan Bapak kita ini. Mengapa dengan rekam jejak politik yang demikian banyak, tidak ada elit dalam kekuasaan yang tertarik mengajaknya berkuasa? Saya tidak percaya dia tidak berminat. Jejaknya menunjukkan bahwa jalan yang dia tempuh itu adalah jalan kekuasaan politik.
Sekali lagi persoalannya: Mengapa tidak ada yang mau menarik dia? Mengapa dia harus berjalan dari satu gerakan sempalan ke gerakan sempalan lainnya?
Orang lain dengan jalur karir seperti dia menjadi menteri, menjadi Ketua MPR, ketua partai, dan bahkan menjadi Wakil Presiden. Apakah dia salah memilih jalan? Atau sesungguhnya tidak ada orang percaya dan yakin untuk mendudukkannya di kursi kekuasaan?
Gerakan seperti KAMI ini tidak akan pernah membawa orang berkuasa. Gerakan ini adalah gerakan elit tanpa basis massa. KAMI ini ada sebagai bukti kemalasan membangun basis massa. Tidak itu saja, mereka tidak pernah berpikir bahwa mereka perlu massa dan organisasi.
Gerakan seperti ini sesungguhnya tidak percaya bahwa massa-rakyat punya otak dan pikiran. Gerakan seperti ini menjadi corong untuk membentak rakyat-massa, “Kamu dungu!” Mereka percaya sekali bahwa mereka adalah kasta tertinggi ditengah lautan kedunguan. Arogansi dengan tingkat galaksi.
Para aktivisnya mungkin akan sangat populer di televisi dan media sosial. Mereka sangat menarik sebagai komedi omong. Namun mereka akan berhenti disitu. Hanya sebagai komedi dan sebagai hiburan (entertainment). Setiap pertanyaan sederhana dari orang kecil akan dijawabnya, “Kamu dungu! Penyembah kebodohan.” Begitulah cara mereka mematikan perdebatan di media sosial.
Tentu saja, mereka akan sangat berisik. Dan saking berisiknya mereka tidak mampu mendengar. Telinga mereka ditulikan oleh teriakan mereka sendiri.
Pihak yang berkuasa juga tahu persis ini. Itulah sebabnya dengan senang hati mereka memberikan Bintang Mahaputra Nararya kepada dua trolls (tukang cemooh) terkemuka negeri ini. Karena penguasa ini tahu persis. Itulah cara terbaik untuk menguasai mereka.
Akan halnya Bapak kita ini? Saya kira dia harus bertanya pada dirinya sendiri, mengapa tidak ada orang yang kasih dia jabatan menteri. Mungkin dia harus belajar menjadi troll untuk rejim yang sekarang berkuasa.