Kalis Mardiasih dan Upaya Menjadi Muslimah yang Terus Berpikir

Kalis Mardiasih dan Upaya Menjadi Muslimah yang Terus Berpikir

Kalis Mardiasih mengulik dunia muslimah dengan segala persoalannya lewat buku ‘Muslimah yang Diperdebatkan’

Kalis Mardiasih dan Upaya Menjadi Muslimah yang Terus Berpikir

“Perempuan, kemudian menjadi sosok yang paling menentukan dalam kontestasi ini. Perempuan yang terlalu terpapar dengan nilai-nilai keterbukaan dunia modern tentu menjadi potret yang penuh dosa. Sebaliknya, perempuan yang tertutup, tidak banyak bersinggungan dengan dunia luar yang seringkali dibalut dengan kalimat “mampu menjaga kehormatan dirinya” adalah perempuan yang diharapkan oleh kelompok Islam eksklusif ini” (hlm. xiii-xiv).

 

Bagaimana Kalis Mardiasih menelisik dunia seorang muslimah, lengkap dengan segala persoalannyya di era kekinian? Sebelum kita berbincara lebih lanjut tentang ini, kita tentu saja sepakat hidup bahwa di dunia digital saat ini, beragama khususnya, hampir sama dengan memilih tas atau baju dengan cukup berselancar di media sosial Instagram, membuka sejumlah akun olshop, me-like, dan kalau cocok dengan budget, kita segera bertransaksi dengan M-Banking di smartphone kita. Kita dengan leluasa dapat memilih guru agama yang sesuai dengan selera.

Diakui atau tidak, berdakwah yang artinya mengajak, juga menyesuaikan dengan kepentingan yang mau diajak. Hampir sama dengan ilmu jualan. Boomingnya istilah hijrah contohnya dan disusul dengan perabot tubuh yang diembel-embeli dengan kata syar’i, dapat kita anggap sebagai keberhasilan para pendakwah yang sedari awal menyadari kekuatan internet dan media sosial sebagai piranti dakwah. Kanal-kanal Youtube, video pendek di media sosial, dan website-website islami menjamur bak cendawan di musim hujan.

Sayangnya, meningkatnya semangat dalam beragama ini cenderung berkebalikan dengan misi sila ketuhanan di Indonesia yang bertujuan untuk menciptakan manusia yang taat beragama sekaligus menjadi warga negara yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Trend keberagamaan ini, sebagaimana hasil sejumlah survei, cenderung bergerak ke arah eksklusif. Agama diringkus dalam pemaknaan yang tunggal dan dangkal.

Semangat ini ini setidaknya ditandai dengan beberapa hal seperti keinginan untuk mendirikan negara Islam, menerapkan hidup islami dengan membangun perumahan, sekolah, bahkan daycare Islami. Tidak jarang pula, kita mendengar narasi bahwa umat Islam sedang dizalimi, entah oleh Amerika, Komunis, atau konspirasi. Tidak berhenti di situ, konsekuensi dari pemahaman agama yang eksklusif ini juga cenderung mengurung perempuan dengan mendefinisikan perempuan salihah adalah yang rela dipoligami, tidak keluar rumah, dan berbagai sikap lainnya yang dipercayai sebagai jalan menuju surga. Itulah perempuan berkarir surga.

Kalis Mardiasih, Islam, dan Kesetaraan

Kesetaraan dan keadilan, dua nilai fundamental dalam ajaran Islam, menjadi isu utama dalam keseluruhan buku ini. Dengan gaya bertutur yang sederhana, renyah, dan mudah dipahami, Kalis mengajak pembacanya dengan menawarkan sudut pandang kesetaraan gender dalam melihat dan menyikapi fenomena keseharian, terutama muslimah milenial, dalam beragama. Tafsir terhadap teks Islam yang merendahkan perempuan, menjadikan perempuan sebagai jenis kelamin kedua, terutama yang diproduksi oleh sejumlah ustaz di media sosial, menjadi bahan bakar dan media bagi Kalis untuk menyalurkan gagasan-gagasannya. Beberapa isu yang diangkat dalam hal ini di antaranya poligami, nikah siri, pernikahan usia dini, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Tentu saja, di tengah hiruk pikuk konten-konten yang bersifat provokatif dan tafsir agama yang tunggal dan tak jarang cukup dangkal, tulisan Kalis bisa menjadi teman yang menguatkan. Meskipun, bagi sebagian lainnya, cap seperti liberal atau semacamnya bakal dialamatkan kepada penulis buku ini.

Bagi saya, buku ini mewakili suara perempuan yang enggan dibungkam dan ditundukkan oleh tafsir agama yang merendahkan perempuan maupun tatanan dunia yang melahirkan stereotip: perempuan yang baik adalah perempuan lembut dan tidak melawan.

Salah satu yang menarik, buku ini juga menggugat sistem ekonomi dan politik yang memandang tubuh perempuan sebagai aset dan mereduksinya sebatas kata cantik atau seksi semata (hlm. 24).

Mengukur Kesalehan: Dari Jilbab Syar’i sampai Obat Kuat Syar’i

Dalam esai pertamanya bertajuk Curhat untuk Girlband Hijab Syar’i yang dibagikan lebih dari 17 ribu kali pada Desember 2015, Kalis menarasikan tentang pengalamannya dalam berjilbab. Pada bagian ini kita bisa menyaksikan secara tersirat bagaimana kelompok Islam eksklusif itu merambah di dunia pendidikan, yaitu perguruan tinggi. Hal ini ditandai dengan maraknya fenomena hijrah, kelompok mahasiswa dengan hijab, kajian liqo’, berbagai seminar islami dengan tema-tema tertentu seperti menjadi perempuan berkarir surga dan poligami.

Trend hijab syar’i juga tidak luput dari pengamatannya. Selembar kain penutup kepala itu, baginya, harus dibebaskan dari nilai-nilai sakral yang melingkupinya.

“Hak bagi siapa saja perempuan untuk mengenakan jilbab, baik itu politikus maupun bukan, harus bebas dari muatan nilai. Ada baiknya jilbab dipandang dalam bentuknya yang paling fungsional sebagai pakaian kesopanan (hlm. 47-48).”

Pernyataan seperti ini tentu tidak lahir dalam ruang hampa. Dalam aras sejarah, jilbab pernah menjadi simbol perlawanan seperti yang terjadi di Iran menjelang Revolusi Islam Iran 1979 atau dalam lanskap sosial politik Indonesia di bawah Orde Baru yang represif. Belakangan, kita menyaksikan kain penutup kepala itu sebagai model fashion. Semua ini kemudian ditangkap oleh pasar dengan menghadirkan beragam perabot perempuan yang dibumbui dengan kata syar’i mulai dari hijab, shampoo, sempak, bahkan obat kuat!

Tanpa mengesampingkan aspek hukum Islam dalam sejumlah isu yang dibicarakan, buku ini mengajak kita untuk memikirkan hal yang lebih substantif: menjamin kesetaraan bagi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, perhatian kepada kalangan yang terpinggirkan, baik karena budaya maupun perubahan tatanan sosial-ekonomi, dan memikirkan kembali produksi tafsir keagamaan oleh kalangan tertentu yang tidak selaras dengan spirit kesetaraan dan keadilan.