Ketika berbicara tentang filsuf keturunan Arab, kebanyakan orang akan teringat dengan tokoh-tokoh filsafat yang hidup di masa keemasan Islam, seperti al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd.
Sementara masih banyak filsuf lain selain filsuf-filsuf di atas yang memiliki pemikiran-pemikiran brilian. Bahkan di era modern seperti sekarang ini muncul beberapa filsuf Arab ternama.
Para filsuf besar ini bahkan diklaim telah menghasut orang Arab agar berpikiran bebas dan out of the box, bahkan mereka rela menghadapi konsekuensi atas pemikiran-pemikiran mereka. Para filsuf Arab kontemporer ini oleh Cedric Tannous dalam artikelnya yang berjudul “6 contemporary Arab philosophers you should know about” disebut telah menjaga agar warisan tetap hidup.
Berikut enam filsuf Arab modern tersebut:
1. Profesor Abdallah Laroui (Maroko)
Profesor yang lahir pada tahun 1933 M ini merupakan seorang filsuf dan novelis. Ia memperoleh gelar Ilmu Politik dari Universitas Sorbonne, Paris, dan mendapatkan gelar kehormatan dalam studi Islam pada tahun 1963.
Sebagai pendukung modernisasi yang hebat, pemikiran filsafatnyaa didasarkan pada hal-hal penting yang sangat dibutuhkan masyarakat Arab saat itu.
Menurut pandangannya, modernisasi hanya bisa dicapai dengan mengganti nalar dan metodologi tradisional Arab dengan metode kontemporer seperti rasionalisme, kritisisme, dan sekularisme. Laroi juga sangat mengapresiasi Karl Marx yang dianggapnya sebagai pemikir modernis.
Salah satu pandangannya mengungkapkan bahwa budaya Arab baik dalam ungkapan klasiknya dan dalam aspek paling berpengaruh dari ungkapan masa kini ditentang hampir di setiap aspek budaya liberal.
2. Profesor Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir)
Nasr Abu Zayd, lahir pada tahun 1943 M di Mesir. Ia seorang pemikir bergelar Ph.D. dalam bidang studi Islam. Sementara pemikiran filsafatnya berkisar pada reformasi agama.
Ia selalu menekankan perlunya memahami dan menganalisis teks-teks agama dengan menggunakan pendekatan metodologi kontemporer. Ia ingin agar orang-orang membaca kitab suci berdasarkan cara pandang ideologi humanistik saat ini, bukan cara tradisional.
Karena pemikirannya yang dianggap liberal, ia dituntut oleh banyak ilmuwan muslim konservatif dan dipaksa untuk menceraikan istrinya setelag dia divonis murtad (orang yang meninggalkan kepercayaan agama atau politik).
Pada tahun 2005 (lima tahun sebelum meninggal), ia berhasil mendapatkan penghargaan The Ibnu Rusyd Prize karena pemikiran liberalnya.
Ungkapannya yang terkenal adalah “Secularism is not atheism. Secularism means separating political power from religious authority.” (Sekularime bukanlah atheisme. Yang dimaksud sekularisme adalah memisahkan kekuasaan politik dari otoritas agama).
3. Profesor Muhammad Arkoun (Aljazair)
Muhammad Arkoun dilahirkan pada tahun 1928 di Aljazair. Ia terkenal karena pandangan humanistiknya.
Dia juga seorang kritikus penalaran Islam dan modernisme Eurocentric yang berkonsentrasi pada sejarah dan budaya Eropa dengan mengabaikan pandangan dunia secara luas.
Arkoun memiliki sikap dan pendirian yang kuat untuk melawan sistem pendidikan di negara-negara Arab saat ini. Ia mengatakan bahwa regresi (kemundruan) intelektual di wilayah Arab merupakan ulah dari masyarakatnya sendiri.
Dia mendapatkan penghargaan The Ibnu Ruysd Prize pada tahun 2003 dan meninggal pada tahun 2010.
4. Profesor Hossam al-Alussi (Iraq)
Ia dijuluki sebagai “filsuf Baghdad”. Al-Alussi memperoleh gelar filsafat dari Universitas Baghdad pada tahun 1956 dan gelar Ph.D. dalam bidang filsafat dari Universitas Cambridge pada tahun 1965.
Sebagaimana profesor Abdallah Laroui, Hussam Al Alussi adalah pembela Marxisme.
Dia sangat kritis terhadap pemikiran Islam tradisional dengan mengatakan bahwa pemikiran tradisional Islam harus direvisi dengan cara yang modern.
Dia meninggal pada tahun 2013.
5. Professor Taha Abdurrahman (Maroko)
Taha Abdurrahman lahir pada tahun 1944. Ia meraih gelar filosofi baik di Universitas Muhammad V maupun Universitas Sorbonne.
Taha Abdurrahman adalah seorang rasionalis. Ia meyakini bahwa manusia harus bergantung pada akal dan rasionalitas untuk mengatasi suatu masalah atau menjawab pertanyaan secara logis.
Dia secara konsisten mengkritik pemikiran modern Barat. Menurutnya, pemikiran Arab kontemporer seharusnya tidak mengikuti jejak pemikiran Barat. Sebaliknya, orang Arab harus menciptakan filsafat mereka sendiri dengan menggunakan pikiran mereka.
“Modernists talk about “modern” readings of the Quran when in fact, they are far from modernity.” (Kaum modernis berbicara tentang pembacaan Al-Quran “modern” padahal sebenarnya mereka jauh dari modernitas). Tuturnya.
6. Professor Tayyeb Tizini (Syria)
Ia lahir pada tahun 1934. Ia selalu menjadi seorang revolusioner yang selalu mendorong orang Arab bergerak menuju perubahan.
Sebenarnya Seluruh filsafatnya selalu berkisar pada dua hal pokok:
- Pemikiran Arab adalah merupakan bagian dari evolusi pemikiran manusia. Filsafat Arab (filsafat Islam) merupakan tonggak penting dalam sejarah manusia. Jika manusia tidak melewati fase itu, “pemikiran Barat” tidak akan ada saat ini.
- Pemikiran Arab biasanya dipandang lebih rendah daripada pemikiran Eropa karena hal ini terkait dengan era abad pertengahan. Baginya, ini merupakan pendapat yang tidak ilmiah. Menurutnya kedua pemikiran tersebut (Arab dan Eropa) sama-sama penting.