Kalender Masehi Bukan Kalender Non-Muslim  

Kalender Masehi Bukan Kalender Non-Muslim  

Banyak yang salah tafsir, Kalender masehi bukan kalender non-muslim

Kalender Masehi Bukan Kalender Non-Muslim   

 

Kalender non-muslim, begitulah kira-kira yang sering diperbincangkan orang tatkala menyoal kalender masehi. Tapi, benarkah demikian?

Perhitungan siklus hari, bulan maupun tahun bisa berdasar pada hitungan rotasi matahari atau bulan. Bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik per tahun. Demikian perkataan Al Battani. Astronom muslim legendaris. Sedangkan bulan selisih lebih pendek 11 hari pada setiap tahunnya.

Zaman Nabi Muhammad hidup, tidak pernah ada redaksi hadis yang secara eksplisit menyatakan melarang menggunakan menggunakan sistem kalender matahari (syamsiyah). Hanya saja, yang paling menonjol kala itu adalah perhitungan berdasar rotasi rembulan atau akarab disebut kalender qamariyah.

Penandaan ritual bulanan dalam Islam memang menggunakan sistem kalender hijriyah, namun Islam lalu tidak sama sekali menggunakan hitungan rotasi perhitungan yang berbasis matahari. Lihat saja waktu dzuhur, asar. Masing-masing mengacu kepada matahari. Bukan rembulan.

Kalender rembulan, juga tidak melulu dipakai orang Islam umat Nabi Muhammad. Orang Cina, dulu juga menggunakan itu. Artinya ini tidak monopoli umat Islam.

Adapun masalah siapa kali pertama yang menemukan. apabila kita mengacu sejarah dari bangsa Romawi yang non muslim, jika kita melihat sisi agama penemunya, itu seperti kita sedang membahas facebook atau medsos mainstream yang lain. Medsos yang kita pakai saban hari tersebut, ditemukan pertama kalinya bukan dari kalangan muslim.

Menurut KH Yusuf Chudlori, seorang tokoh muslim Indonesia dari kalangan pesantren memandang, seperti facebook ini memang sunnatullah. Ketetapan kemajuan zaman dari Allah yang tidak bisa kita pungkiri. Adapun masalah yang menemukan siapa pertama kali, itu urusan lain yang tidak bisa kita anggap menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Seperti pesawat atau mobil produsen non muslim, misalnya. Bukan berarti jika produsen orang non muslim, lalu kita haram memakainya. Karena ini bukan ranah ibadah mahdlah (primer). Bahkan ibadah primer pun dengan mengadopsi pada bagian tidak inti ibadah, juga tak masalah. Seperti baju, sarung, atau mukena produsen dari Tiongkok, misalnya. Tidak ada masalah.

Berbicara tentang kalender. Di dunia ini, ada milyaran peredaran. Bumi, bulan, matahari, planet semua beredar. Setidaknya, jika kita melihat lebih dalam, masing-masing peredaran bisa mempunyai manfaat masing-masing yang menunjukkan atas kuasa Allah.

Tentang peredaran matahari, dalam Al Qur’an, Allah berfirman :

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (38)

Artinya : dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.  (QS ; Yasin : 38)

Ada beberapa ayat lain yang berginggungan dengan astronomi. Ini menunjukkan, bahwa perputaran astronomi itu bukan kuasa orang non muslim, tapi atas kehendak Allah. Hanya saja pencetus pertamanya bukan umat muslim. Begitu saja.

Kita pasti ingat cerita Nabi Muhammad yang menggadaikan pakaian perangnya kepada orang yahudi. Yahudinya adalah masalah lain, urusan interkasi dan transaksi sosial adalah masalah lain. Padahal, baju perang malah dibuat untuk berperang melawan non muslim, termasuk sebagian umat yahudi. Namun bukan non muslim sembarangan yang diperangi Nabi. Ada batas-batas tertentu, kode etik khusus.

Kalau Nabi membabibuta, memerangi siapa saja, tentu yahudi ini tak bakal mau berinteraksi sosial dengan Nabi, apalagi sampai gadai-menggadai. Jadi, dalam menyikapi non muslim, kita perlu memilah.

Masalah perayaan dengan beragam kemaksiatan, yang menjadi identitas non muslim. Lantas apakah perlu ditolak?

Nabi tidak mengajarkan untuk mengadopsi terhadap hal yang tidak baik.

Satu riwayat dari Imam Bukhori dikatakan, saat Nabi datang pertama kalinya ke Madinah. Beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa. Lantas Nabi bertanya, “apa ini?”

“Hari ini adalah hari baik di mana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuhnya, lalu Musa berpuasa kerna itu”

Seketika, Rasul pun bersabda “Kita lebih berhak menghormati Musa daripada kalian”

Setidaknya, kita bisa mengambil pelajaran, bukan berarti jika tahun baru dirayakan oleh orang non muslim pada awalnya, kita 100 persen dilarang merayakannya. Yang kita tolak adalah eurofia-nya yang nggak jelas. Buang-buang duwit, seks bebas dan lain sebagainya yang nggak penting buat ngisi hidup.

Kalau peringatan tahu baru Masehi kayak yang dulu dilakukan Habib Mundzir dengan maulid, yang digelar di berbagai penjuru bumi pertiwi ini dengan rangkaian sedekah, muhasabah, mujahadah, dan doa. Why not?

Jadi, kalau menganggap kalender masehi itu merupakan produk kafir, janganlah memperingati 17 Agustus, rasydul qiblah dengan menghitung matahari di atas Ka’bah. masing-masing penandanya dengan kalender kafir. Hingga resolusi jihad dan hari santri-pun penandanya kalender masehi.

Jangan percaya pula dengan siklus musim panas, musim dingin, musim menikah (eh, kalau ini bukan) dsb. Masing-masing tidak memakai penanda rembulan.

Gajian akhir bulan, juga tidak memakai syawal dzul qa’dah. Kecuali hanya beberapa pesantren yang masih menggunakan ini untuk menggaji guru-gurunya.

Dan kalender yang ada tulisan Januari Februari di rumah, musti dicopot, begitu pula kalender HP harus yang hijriyyah.

Baik matahari maupun rembulan masing-masing yang mengedarkan Allah, tanda kebesaran Allah.

Lha itu, nama-namanya Julius, Agustus, bla bla bla itu ‘kan nggak Islam?

Iya, kalau itu hanya masalah penamaan, apakah kita tidak boleh menandainya dengan melakukan kebaikan-kebaikan islami dalam bentuk lain yang tidak ada sangkut-pautnya?. (Ahmad Mundzir)