Kaleidoskop Dakwah 2017 : Kita Masih Menjadi Mayoritas yang Diam

Kaleidoskop Dakwah 2017 : Kita Masih Menjadi Mayoritas yang Diam

Kaleidoskop Dakwah 2017 : Kita Masih Menjadi Mayoritas yang Diam

Tahun 2017 sesaat lagi akan menjadi kenangan. Segala warna-warni peristiwa di dalamnya memahat bersama hiruk-pikuk kesibukan. Kenangan, terkadang ingin diabadikan, tak jarang pula berniat dilupakan. Kenangan pun bisa menjadi bahan evaluasi untuk dijadikan masukan di dalam menata masa depan. Seperti kenangan kita akan hilir-mudik gerakan dakwah di tahun 2017 ini, semoga menjadi titik lecut untuk mengawali perubahan di tahun 2018 nanti. Tentu saja diharapkan pada perubahan yang lebih baik.

Masih ingatkah kita akan aksi berjilid-jilid di Jakarta yang dimotori oleh sekelompok oknum Islam yang terjadi sepanjang tahun 2017? Katanya sih gerakan bela Islam. Misinya demi dakwah, demi jihad, dan untuk kemenangan umat Islam. Faktor pemicunya sederhana sebetulnya, soal dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Aksi bela Islam ini bahkan sampai bereuni, yang kemudian disebut reuni 212.

Gemuruh suasananya waktu itu, terutama di media-media kita, baik media sosial, maupun portal pemberitaan cetak dan digital. Di facebook, twitter, instagram, bahkan kadang menjadi sarana untuk psywar atau perang urat saraf antara golongan yang pro dan kontra.

Yang jadi mengganjal kemudian, betulkah gerakan tersebut murni dakwah dan jihad? Jika untuk dakwah, mengapa ujungnya lari pada persoalan pilkada? Bahkan sampai ada fatwa bahwa mereka yang memilih Ahok jenazahnya tidak perlu disholati. Hei…, ini dakwah atau politik! Atau bukan keduanya? Entahlah, biarkan sejarah yang menyimpulkan.

Yang jelas, bahwa aksi berjilid-jilid ini di satu sisi seakan menutup suara mayoritas muslim di Indonesia. Siapa mayoritas itu? Kalau berdasarkan survei dari Alvara Research Center pada Desember 2016, muslim terbanyak di Indonesia ya muslim yang beraliran aswaja an-nahdliyyah, yakni 50,3 persen. Sengaja saya tambahkan “an-nahdliyyah”, sebab banyak nian golongan Islam di Indonesia yang akhir-akhir ini mengaku telah aswaja. Gampangnya, bahwa muslim NU masih terbesar. Tapi suaranya masih kalah sama yang minoritas. Silent majority, itulah kita.

Apalagi kalau kita cek dunia digital, suara dakwah kita terdengarnya sayup-sayup. Muslim yang mendominasi gerakan dakwah adalah mereka yang notabene alergi dengan Islam nusantara. Dari facebook, youtube, televisi, instagram, aplikasi kajian di play store, bahkan sampai whatsApp sekalipun sering dipenuhi pesan berantai yang langgam keislamannya bukan aswaja an-nahdliyyah.

Kalau bertarung di dunia darat, yakni dakwah riil di masyarakat, kita memang masih menang. Kita masih memiliki banyak pesantren, sekolah-sekolah dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi juga semakin bertumbuh. Apalagi kalau menghitung jumlah jamaah pengajian di masyarakat, kita masih menang telak.

Tapi persoalannya, hari ini adalah era dunia maya, dimana ukuran besar dan kecilnya kelompok kadang dinilai dari seberapa besar pemberitaan yang ada di dunia digital. Semakin sering muncul, banyak yang melihat, maka semakin dikenal dan dipandang besar. Sementara kiai-kiai kita yang istiqomah ngaji di pesantren, yang berpeluh-peluh dakwah di pedesaan hingga pelosok, yang telaten mengurus kajian muslim di perkotaan, suara mereka kurang diketahui karena tidak disebarkan melalui dunia digital.

Lantaran yang bermunculan di jagad digital kebanyakan adalah dakwah yang berbeda haluan dengan keislaman yang kita anut, terkadang muncul kekhawatiran bahwa aliran Islam yang mayoritas di Indonesia ini kedepan hanya tinggal nama. Ini sesuatu yang bisa saja terjadi, mengingat dunia digital akan terus mengalami perkembangan.

Generasi-generasi masa kini yang lazim kita sebut milenial, kedepan lebih kencang berselancar di dunia maya, dari pada berinteraksi di dunia nyata. Kalau jagad maya kita penuh sesak dengan dakwah yang langgamnya bukan aswaja an-nahdliyyah, apa jadinya generasi penerus nanti? Akankah NKRI ini masih tetap damai seperti sekarang, mengingat salah satu pilar penyangganya, yakni Islam aswaja, telah sirna?

Dalam hal ini saya kira generasi muda aswaja sudah menyadarinya. Terbukti sudah banyak bermunculan website keislaman ala aswaja, channel aswaja di youtube, televisi aswaja, dan ragam aktifitas aswaja di dunia maya. Para ulama, kiai, ustad, juga sudah tidak sungkan menggaungkan ceramahnya lewat dunia maya. Ini semua tentu kabar baik ditengah kontestasi dakwah yang demikian kompleks.

Maka, kita berharap semoga di tahun-tahun mendatang, kemampuan dakwah aswaja an-nahdliyyah ini terus meningkat, terutama di dunia maya. Syukur-syukur dunia maya ini bisa kita kuasai. Agar tak ada lagi fenomena ustadzah yang salah tulis Al-Qur’an, kegenitan ustad yang selalu koar-koar khilafah, sesumbar dai yang nuduh ini bid’ah dan itu sesat, serta teriakan mereka yang ngajak aksi berjilid-jilid tetapi ujungnya politik.

Tentu ini pekerjaan yang cukup berat memang. Tetapi perlu diupayakan, bukan?

Fatkhul Anas, penulis berdomisili di Yogyakarta, bisa disapa melalui akun twitter @fatkhulanas