Dalam sejarah yang diajarkan selama ini, khususnya keterkaitan antara PKI dan Islam, PKI digambarkan sebagai sosok setan yang memusuhi ummat Islam. Dikisahkan, PKI menganiaya ulama-ulama tradisionalis, kiyai dan santri-santri ditembaki, dibakar sampai mati. Masjid dan madrasah dibakar hingga rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusaki. PKI dan Gus Dur
Para pemimpin Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh. Kejadian ini dilakukan oleh PKI di berbagai wilayah, hingga beberapa waktu, Madiun dibanjiri oleh darah manusia.
Hal ini masuk ke alam sadar pikiran ummat Islam bahwa PKI adalah musuh besar ummat Islam tanah air. Di mata ummat Islam, PKI adalah kafir dan tidak berperikemanusiaan. Diperkuat lagi dengan narasi anti komunis di berbagai bidang yang menjadi proyek besar Orde Baru (Orba). Akhirnya tidak ada pilihan lain, PKI harus dimusnahkan dan dilenyapkan.
Paradoksnya, jika dulu PKI membenci dan membantai ummat Islam, dan ummat Islam kini harus membenci PKI dengan dalih seperti dijelaskan di atas. Namun kita perlu bertanya, mengapa Gus Dur, tokoh muslim terkenal dan taat malah mencabut TAP MPRS 1966 ?
“ TAP MPRS No XXV/ MPRS/ 1966 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah NKRI bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis atau Marxisme-Leninisme”.
Abdurahman Wahid atau Gus Dur justru mengambil sikap yang sangat berbeda. Ketika menjabat sebagai Presiden RI, ia memberanikan diri untuk melawan stigma buruk terhadap PKI. Dari sejumlah presiden Republik Indonesia, hanya sosok Gus Dur yang berani melakukan langkah rekonsiliasi yang nyata, dan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lima bulan setelah dilantik menjadi presiden, beliau memberikan pernyataan yang mengagetkan banyak orang, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama tekait permintaan maaf atas keterlibatan NU dalam peristiwa pembantaian 1965 dan 1966. Tidak hanya itu, langkah paling kontroversial adalah dengan mencabut TAP MPRS XXV.
Spirit Gus Dur dalam mencabut TAP MPRS dan meminta maaf kepada korban PKI tersebut perlu kita fahami dan sadari sebagai bagian dari membina keberagaman yang ada di Indonesia, sekaligus usaha untuk mengedepankan sikap menghormati dan menghilangkan egoisme sektarian.
Dalam sebuah tulisan berjudul “Gus Dur, Pahlawan HAM”, Asvi Warman Adam menulis bahwa Gus Dur mengajarkan untuk tidak balas dendam, karena hal itu taka da gunanya, meski Gus Dur juga memiliki kerabat yang terbunuh dalam peristiwa Madiun 1948. Kita tidak akan mampu mewujudkan rekonsiliasi tanpa menghilangkan stigma atau kecurigaan terhadap suatu kelompok.
Kita tahu persis, mengapa sikap ini diambil oleh Gus Dur, orang yang sangat menjunjung tinggi pluralisme bangsa Indonesia. Pluralitas yang dimiliki bangsa ini adalah sebuah keniscayaan. Sebagai muslim, kita dianjurkan untuk saling memelihara dan mengokohkan persaudaraan antar sesama.
Sikap Gus Dur ini, menunjukkan bahwa sebagai ummat Islam tidak boleh berlarut-larut dalam memelihara konflik. Sikap toleran antar sesama manusia adalah upaya untuk mencapai kehidupan yang harmonis, sebab jika keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dirusak lantaran menolak untuk mengambil langkah rekonsiliasi sejarah kelam masa lalu, maka sulit untuk memulihkan kembali persaudaraan sesame warga Negara untuk menata masa depan yang baik. Begitu juga perihal kejahatan PKI yang diceritrakan dalam kurikulum pendidikan sejarah kita selama ini.
Saya melihat sikap yang diambil oleh Gus Dur dengan sangat sederhana. Beliau tidak membela satu pihak, bukan membela PKI dan juga bukan pemerintah Orde Baru (Orba), Soeharto, tetapi yang dibela Gus Dur adalah kebenaran. Jika kebenaran sudah terungkap, maka saatnya adalah proses untuk menata dan memperbaiki.
Sebagai ummat Islam, keberpihakan terhadap yang benar adalah sebuah kewajiban. Lantas jika selama ini kita menganggap PKI sebagai organisasi jahat (karena dianggap membunuhi banyak orang), mengapa sikap membenci PKI masih saja digaungkan? Setahu saya, sikap membenci hingga berlarut-larut sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Begitupun dengan teladan dari Gus Dur. (AN)
Wallahu a’lam.