Tahun 2016 telah dilalui dengan selamat. Tidak ada yang lebih meresahkan di tahun lewat dan tahun-tahun mendatang selain berkembangnya upaya meretakkan pokok-pokok konsensus nasional. Founding fathers Republik ini telah bersusah payah mendirikan negara ini dengan darah, keringat, dan air mata. Mereka telah menguras tenaga dan pikiran, terbuang dari penjara ke penjara, masuk hutan dan bergerilya, memanggul senjata dan bambu runcing, berunding dan berdebat, dan akhirnya lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehari setelah kemerdekaan, para pendiri Republik setuju mendirikan Indonesia sebagai negara-bangsa berdasarkan Pancasila yang dijiwai semangat Bhineka Tunggal Ika. Para tokoh Islam yang terlibat dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) legowo menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan dan kesatuan bangsa. Memaksakan formalisasi syariah Islam dalam masyarakat multietnis-multiagama akan membuat Republik terpecah. Dan ketika Republik terpecah dan bertikai, umat Islam sebagai mayoritas penduduk justru merugi karena kehilangan peluang emas menjalankan syariat Islam dengan tenang. Itulah konsensus dan jalan tengah terbaik yang dapat dicapai.
Waktu bergulir masa berganti. Konsensus para pendiri bangsa masih diuji oleh sejarah di sidang-sidang Badan Konstituante yang berlangsung antara tahun 1956-1959. Perdebatan-perdebatan bernas para bapak bangsa, termasuk upaya memasukkan kembali Piagam Jakarta, didokumentasikan secara baik oleh Adnan Buyung Nasution dalam buku Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Grafiti, 1995). Ketika menemui jalan buntu dalam beberapa isu krusial, termasuk Piagam Jakarta, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisi pembubaran Badan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.
Di periode panjang kekuasaan Presiden Soeharto, umat Islam terpinggir. Berbagai momok diciptakan Orde Baru untuk mengintimidasi aspirasi umat. Beberapa saat menjelang kejatuhannya, Presiden Soeharto merangkul umat Islam melalui politik akomodasi. Ketika akhirnya lengser keprabon, celah memasukkan kembali Piagam Jakarta terbuka melalui amandemen konstitusi, khususnya terhadap Pasal 29 UUD 1945. Proses amandemen yang berlangsung antara tahun 1999-2002 merekam pertentangan tajam antarfraksi dan membelah masyarakat ke dalam polarisasi. Karena tidak menghasilkan rumusan kompromi yang dapat diterima, Pasal 29 UUD kembali ke naskah asli, artinya tidak diubah sama sekali.
Beberapa kekuatan politik yang ada, termasuk berbasis Islam, telah menyatakan NKRI final. Pancasila dan NKRI adalah jalan tengah simbiotik di antara dua arus pandangan, yaitu pandangan yang ingin memisahkan agama dan negara (sekularistik) dan pandangan yang ingin menyatukan keduanya dengan jargon al-Islâm dîn wa dawlah. Hasilnya, Indonesia bukan negara Islam tetapi juga bukan negara sekuler. Kompromi yang khas dan tidak menang-menangan ini adalah bentuk moderasi yang gagal dilakukan di tempat-tempat lain. Lihat dan petiklah pelajaran dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah dan Afrika.
Pelajaran dari negara lain
Sejak meletus Arab Spring (al-rabî’ al-‘Araby), umat Islam di kawasan tersebut dirundung spiral kekerasan, tercabik-cabik oleh konflik berdarah dan perang saudara. Di Tunisia, transisi kekuasaan telah melecut konflik yang menewaskan 219 orang dan 510 orang luka-luka menurut catatan PBB. Keputusan Presiden Zine el Abidine Ben Ali lengser setelah 23 tahun berkuasa menolong Tunisia terhindar dari krisis yang lebih parah. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarak terguling setelah 30 tahun berkuasa. Pemilu digelar pada 29 November 2011. Dua partai pemenang pemilu yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wal Adâlah) berbasis massa al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) dan Partai Nour (Hizb al-Nour) beraliran Salafi/Wahabi, mengusung agenda formalisasi syariat Islam melalui amandemen Pasal 2 Konstitusi Mesir Tahun 1971. Hasil referendum dimenangi kelompok pendukung perluasan syariat Islam dalam legislasi. Gelombang protes meluas, kerusuhan massa pecah. Jenderal Abdel Fattah al-Sisi mengambil alih kekuasaan pada 3 Juli 2013. Massa pendukung dan penentang Presiden yang dikup, Muhammad Morsi, terlibat bentrok. Konstitusi Mesir diamandemen lagi dengan kembali ke naskah awal dan menghapuskan Pasal 219. Sepanjang berlangsungnya revolusi berdarah, ratusan korban meninggal, ribuan lainnya luka-luka.
Di Libya, Moammar Khadafi yang berkuasa selama 42 tahun dirongrong pemberontak. Bentrok antara pendukung dan penentang Presiden pecah. Memperkuat kubu oposisi, sekutu yang dimotori Prancis, Inggris dan Amerika Serikat melakukan intervensi militer dan menjatuhkan bom pada 17 maret 2011. Setelah Khadafi terbunuh di Sirte pada 20 Oktober 2011, Libya terbelah menjadi dua, Benghazi sebelah Timur dan Tripoli sebelah Barat. Konflik antarsuku, antarmilisi, antarmazhab, dan antarpendukung kepentingan politik terus berlangsung. Korban jiwa berjatuhan. Empat faksi politik besar mencakup kelompok nasionalis (40-50%), liberal (20-25%), Islamis (20%), dan sekularis (2-5%) gagal membangun kompromi dan moderasi sehingga negeri kaya minyak itu terseret ke pusaran konflik berkepanjangan. Kelompok Salafi yang berafiliasi dengan al-Qaeda, kendatipun kecil, menyumbang transisi politik berdarah di Libya. Konflik di Libya belum akan berhenti. Ratusan militan di kota Derna berbaiat kepada Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Derna menjadi kota pertama di luar Suriah dan Irak yang menjadi bagian dari Kekhalifahan Negara Islam pimpinan al-Baghdadi. Masuknya ISIS dalam sebuah negara pertanda kawasan itu akan terus bergolak. Mereka telah menduduki wilayah sekitar Sirte, sepetak lahan di Libya selatan, sebagian wilayah dekat Benghazi, dan sebagian wilayah di sebelah timur Tripoli.
Di Yaman, Presiden Ali Abdullah Saleh yang beraliran Syiah digulingkan, diganti Abd al-Rabb Mansur al-Hadi yang beraliran Sunni. Perang lantas berkecamuk di antara Muslim Sunni dan Syiah. Kekerasan melibatkan koalisi Arab pimpinan Arab Saudi yang menggempur milisi Houthi di Yaman Utara yang disokong Iran. ISIS dan al-Qaeda datang ke Yaman, bergabung dengan koalisi Arab untuk ‘mengganyang’ kelompok Houthi yang beraliran Syiah Zaidiyah. Milisi Houthi sempat menduduki Ibu Kota Sana’a dan memproklamirkan pemerintahan, tetapi tidak diakui Liga Arab. Perang membuat infrastruktur di Yaman hancur lebur, menewaskan sekurang-kurangnya 6.200 orang dan memaksa 2,4 juta orang menjadi pengungsi. Perang saudara telah memicu bencana kelaparan dan wabah penyakit serta menjerumuskan Yaman sebagai negara termiskin di semenanjung Arab. The Guardian (7/72015) menyebut, ‘hanya ISIS dan al-Qaeda yang mengambil untung dari konflik yang memecah-belah Yaman dan membuat 20 juta orang membutuhkan bantuan darurat.’
Di Suriah, pusat Dinasti Abbasiyah yang hebat dalam sejarah Islam, kini koyak oleh pertumpahan darah. Konflik yang masuk tahun kelima ini telah menjadi proxy war yang melibatkan banyak aktor regional dan internasional. Sejumlah negara terlibat seperti Turki, Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar yang disokong koalisi yang melibatkan Amerika Serikat serta Iran dan Hezbollah Lebanon yang disokong koalisi yang melibatkan Rusia. Populasi Suriah terdiri dari muslim Sunni (59,1%), Alawi (11,8%), dan Kurdi (8,9%). Sisanya Druze, Ismaili, dan Kristen. Protes bermula dari gelombang Arab Spring yang merembet ke Suriah dengan agenda melengserkan pemerintahan Bashar al-Assad. Protes cepat menyebar ke daerah-daerah yang didominasi suku Kurdi di utara Suriah.
Perang saudara pecah pada Maret 2011. Jabhat an-Nushrah li-Ahli asy-Syâm, cikal bakal ISIS, masuk dalam pusaran konflik dan menguasai daerah-daerah mayoritas Sunni di ar-Raqqah, Idlib, Deir ez-Zor, dan Aleppo. Negara Islam Irak (NII) yang didirikan pada Oktober 2006 dan Jabhah Nushrah disatukan oleh Abu Bakar al-Baghdadi. Kendatipun penggabungan itu ditolak oleh petinggi Nushrah, al-Baghdadi mendeklarasikan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) pada 8 April 2013 dan menjadikan ar-Raqqah sebagai pusat pemerintahan. ISIS, dalam bahasa Arab disebut al-Dawlah al-Islâmîyah fî al-ʻIrâq wa-al-Syâm (Daisy), telah dicap sebagai organisasi teroris oleh PBB. Pada 29 Juni 2014, ISIS mengubah namanya menjadi ad-Dawlah al-Islâmiyah atau Islamic State (IS), menyatakan dirinya sebagai kekhalifahan dunia, dan menahbiskan Abu Bakr al-Baghdadi sebagai Amîrul Mu’minîn. IS menguasai Suriah timur dan utara, dan menerapkan hukum syariah di beberapa kota di Atmeh, al-Bab, Azaz, dan Jarablus. Beberapa hakimnya didatangkan dari Arab Saudi. IS juga berhasil mencaplok Mosul, menduduki kota Zumar, Sinjar, dan Wana di Irak utara serta merangsek hingga beberapa jengkal Bandara Baghdad.
Suriah telah menjadi ladang perang fisik dan intelijen berbahaya yang melibatkan negara-negara adikuasa. AS dan Turki memainkan peran ganda, ikut menggempur ISIS tetapi diam-diam membantu kelompok Jihadis dengan senjata dan akses masuk ke arena konflik. Turki berbelok melawan AS ketika terbukti Paman Sam membantu milisi Kurdi melawan Assad. Kurdi adalah suku bangsa tanpa negara (nation without state) yang berdiaspora di sejumlah negara Timur Tengah terutama Irak, Iran, Suriah, dan Turki. Agenda politiknya adalah membentuk negara otonom, yang dibayangkan sebagai Kurdistan Raya. Karena agenda politiknya, suku Kurdi merupakan ancaman nyata bagi negara di mana mereka tinggal, termasuk Turki.
Konflik telah membelah Suriah menjadi empat wilayah yang dikontrol oleh empat faksi yaitu rezim Suriah, faksi oposisi Suriah, milisi Kurdi, dan ISIS. Rezim Suriah di bawah Assad mengontrol sebagian besar Suriah Barat, ibukota Damaskus, mayoritas provinsi Latakia dan Hama, sebagian Homs barat, provinsi Suwaida dan sebagian provinsi Daraa. Faksi oposisi menguasai timur kota Aleppo. Kurdi menguasai Suriah utara. ISIS mengontrol sejumlah wilayah Aleppo, yang kemudian diambil alih oleh rezim Assad dalam sebuah operasi berdarah yang disokong Rusia dan Iran di penghujung tahun 2016. ISIS juga mengontrol kota Marik dan ‘Azaz di dekat perbatasan Turki serta menguasai kota Manbaj, Al-Bab, dan Jarabis. Basis utamanya adalah provinsi Raqqah dan Dier Zour. Syrian Centre for Policy Research (SCPR) memperkirakan jumlah yang tewas dari perang Suriah mencapai 470 ribu jiwa. Sekitar 12,2 juta warga membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk 5,6 juta anak-anak menurut PBB. Empat dari lima orang Suriah kini hidup dalam kemiskinan dan kesulitan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Pertumpahan darah juga terjadi lebih dulu di Irak. Sejak Saddam Hussein digulingkan pada 2006, sekitar 800 ribu darah umat Islam mengalir karena perang saudara. Yang lebih menyedihkan lagi umat Islam di Palestina. Sejak 1948 sampai sekarang, Palestina tidak kunjung merdeka. Setiap hari dicekam oleh perang dengan Israel dan konflik antarfaksi di dalam tubuh umat Islam sendiri. Di Asia Tengah, Afghanistan adalah negeri yang akrab dengan senjata dan kekerasan. Kepemimpinan Presiden Hamid Karzai terus dirongrong oleh ekstremis Taliban dan al-Qaeda. Sudah tidak terbilang lagi jumlah nyawa yang melayang.
Di negara-negara Afrika yang mayoritas Muslim, kondisinya juga buruk. Sudan, 100 persen penduduknya beragama Islam, 99 persen sunni bermadzhab Hanafi dengan aliran tarekat Naqsyabandiyyah. Syiah hanya 1 persen. Sejak merdeka pada 1956, Sudan terus didera krisis dan konflik. Setelah pertumpahan darah berlangsung puluhah tahun, Sudan kemudian terbelah menjadi dua negara pada 2011: Sudan dan Sudah Selatan. Somalia penduduknya 100 persen Muslim sunni bermadzhab Maliki atau Syafi’i. Tarekatnya beraliran Syadiziliyyah atau Samaniyyah. Perang sipil berlangsung sejak 1991 pasca Presiden Muhammad Siad Barre terguling dari 22 tahun kekuasaan yang dijalankannya dengan tangan besi. Negeri multietnis ini terpuruk ke jurang perang saudara. Masing-masing klan memproklamirkan kekuasaan. Intervensi militer Amerika pada 1993 mengeskalasi konflik yang lebih parah sebagaimana direkam dalam film Black Hawk Down. Al-Shabab, militan Islam pecahan Islamic Courts Union yang berafiliasi dengan al-Qaeda, terus berjuang mengusung jargon Islam melawan kepemimpinan Presiden Hassan Sheikh Mohamud yang terpilih pada 10 September 2012. Angka korban tewas sepanjang perang sipil Somalia dilaporkan mencapai 1 juta jiwa. Desersi marinirnya menjadi perompak di Samudera Hindia.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari negeri-negeri muslim yang dilanda konflik dan perang komunal tersebut? Pertama, ketiadaan konsensus ideologis sebagai common denominator (kalimatun sawa’) yang dapat mempersatukan berbagai kelompok masyarakat yang heterogen. Islam sebagai agama ternyata tidak cukup menjadi faktor pemersatu karena fakta di dalam Islam terdapat berbagai macam aliran dan madzhab. Beberapa negara Afrika yang penduduknya hampir 100% Muslim justru dilanda konflik yang parah. Negeri-negeri Timur Tengah yang sedang diamuk perang juga mayoritas beragama Islam. Dalam kasus Arab Spring, ketiadaan konsensus ideologis berubah menjadi bara api begitu sekelompok orang berjuang menegakkan agenda Islam dalam corak yang keras, menuntut formalisasi syariat Islam, atau mendirikan negara Islam. Kedua, faktor ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan pembangunan berkontribusi terhadap meletupnya konflik sosial. Persoalan agama dan ekonomi dapat saling serobot dalam memicu ketegangan sosial. Ketiga, ketidakmampuan negara merumuskan konsensus dan memoderasi pertentangan berpotensi mengundang campur tangan pihak luar yang justru memperparah konflik. Intervensi asing melalui kekuatan militer terbukti menjerat host country dalam spiral kekerasan yang tidak putus-putus.
Prospek NKRI
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dianugerahi kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Ribuan pulau (+ 17 ribu), sebagian tak bernama, teruntai bak ratna mutu manikam, dihuni 700 suku bangsa dengan 1.100 dialek bahasa dan adat istiadat. Dirajut oleh Pancasila dan dijunjung dengan semangat Bhineka Tunggal Ika. Pancasila adalah kalimatun sawa’ yang mempersatukan teritori dan kemajemukan agama dan budaya. Ia lahir sebagai konsensus yang dirajut oleh kesediaan seluruh warga bangsa menenggang prinsip dan pendapat orang lain, mengutamakan kebersamaan, dan berbagi tempat demi persatuan dalam kebhinekaan. Prospek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan sangat tergantung kesediaan warganya merawat dan mempertahankan konsensus. Meretakkan konsensus akan memicu ketegangan dan mengancam kelangsungan persatuan dan kesatuan. Upaya mengurai kembali konsensus sebagaimana terjadi di Sidang Konstituante dan pasca reformasi terbukti menimbulkan polarisasi dan riak sosial.
Kendatipun terbukti memicu tensi sosial, gerakan menentang Pancasila terus dilakukan oleh sekelompok orang dengan menyebut Pancasila sebagai thâghut. Kampanye men-thaghut-kan Pancasila merekrut semakin banyak simpatisan dan pengikut. Survei Gerakan Nasionais yang dilakukan sewindu silam di 11 kampus ternama (UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unibraw, Unpad, Unhas, Unand, Unsri, Unsiah) menunjukkan hasil mengejutkan. Survei tentang persepsi ideologi itu menunjukkan hanya 5 persen mahasiswa yang percaya Pancasila, 80 persen lainnya meyakini syariah ketimbang Pancasila sebagai ideologi negara.
Hasil serupa terungkap dari survei persepsi ideologi di kalangan guru agama Islam dan pelajar SMP dan SMU se-Jabodetabek yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamain (LaKIP), yang mengungkap penguatan radikalisme di kalangan siswa dan guru. Sebanyak 76 persen siswa SMP/SMU se-Jabodetabek memilih syariah ketimbang Pancasila sebagai norma pengatur kehidupan sosial. Hanya 7 persen siswa yang memahami dan meyakini Pancasila sebagai common denominator dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka memahami Pancasila sebagai antitesis terhadap Islam, padahal menurut para pendiri negara, Islam dan Pancasila bukanlah antitesis. Pancasila adalah objektivikasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan sosial. Sikap inilah yang dipegangi Nahdlatul Ulama dan menjadikan NU sebagai ormas Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.
Kita tidak perlu heran jika aksi-aksi bela Islam akan dikonsolidasikan sedemikian rupa untuk menyorong agenda formalisasi syariat Islam dan menarik banyak pendukung. Sebagaimana terpotret dari survei, sel ideologi massa di bawah telah terkontaminasi paham radikalisme yang tidak percaya Pancasila. Men-thagut-kan Pancasila dan menafikan kebhinekaan adalah jalan awal membubarkan NKRI. Pilhan kita sekarang ada dua. Pertama, memperkuat Pancasila dan menerjemahkannya dalam perilaku sosial, politik, dan ekonomi nasional. Kedua, meretakkan konsensus dan bersiap-siap menyelenggarakan perang saudara. Saya akan memilih jalan pertama: memperkuat Pancasila dengan cara menjadi orang Indonesia yang beragama Islam dan bukan orang Islam yang sedang di Indonesia. Saya tidak sanggup membayangkan jalan kedua: akan banyak darah, akan banyak air mata dan nestapa, akan banyak kain kafan menyelimuti NKRI. Wal ‘iyâdhu billâh wa ilaihil mus’ta’ân.
M. Kholid Syeirazi
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU)