Kafir Karena Tidak Menerapkan Syariat?

Kafir Karena Tidak Menerapkan Syariat?

Kafir Karena Tidak Menerapkan Syariat?

Ada kelompok yang mengajak umat Islam agar membenci, memusuhi dan menyerang penguasa. Menurut mereka, para penguasa di kalangan umat Islam saat ini telah kafir karena tidak menerapkan syariat Islam. Meninggalkan satu saja syariat Islam adalah bentuk kekafiran. Penguasa kafir murtad wajib diperangi.

Dasar pengkafiran mereka kepada pihak yang dianggap tidak menjalankan syariat adalah hadis berikut.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنَ الْعَرَبِ، قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَبِي بَكْرٍ: كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَمَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ”؟ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ، وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ، قَالَ عُمَرُ: فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ اللَّهَ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ عَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ

Dari Abu Hurairah yang berkata, “Ketika Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, dan sebagian orang Arab memilih kembali jadi kafir, Umar berkata kepada Abu Bakar, ‘Bagaimana mungkin engkau akan memerangi orang-orang padahal Rasulullah saw. sudah berkata, ‘Aku diperintah memerangi orang-orang sampai mereka mengatakan, la ilaha illa allah, barang siapa mengatakan la ilaha illa allah, dia telah menjaga harta dan nyawanya dariku kecuali karena hak dan perhitungan amal mereka diserahkan kepada Allah’?’

Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah, niscaya akan aku perangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sungguh, zakat adalah haknya harta. Demi Allah, jika mereka menahan satu ekor anak unta saja yang dulu pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw. akan ku perangi mereka karena menahannya.’ Umar berkata, ‘Demi Allah, ketika aku merasa bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, aku menyadari bahwa itulah pilihan yang benar.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad).

Dalam hadis di atas Abu Bakar memerangi para pembangkang zakat. Abu Bakar mengatakan bahwa dia akan memerangi setiap orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Berdasarkan hadis ini, sebagian kelompok menyatakan bahwa para penguasa Muslim hari ini telah kafir karena meninggalkan syariat Islam. Mereka wajib diperangi sebagaimana Abu Bakar memerangi para pembangkang zakat yang meninggalkan syariat.

Hadis di atas diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Muslim, Abu  Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Hadis tersebut bersumber dari sahabat Abu Hurairah. Para ahli hadis pada umumnya menyebutkan hadis di atas dalam pembahasan mengenai kebolehan memerangi kelompok pembelot (qital ahl al-baghyi wa al-khawarij). Menolak membayar zakat merupakan bentuk pembelotan karena zakat adalah kewajiban yang berkaitan dengan tugas penguasa.

Para ulama ahli hukum Islam sepakat bahwa zakat adalah kewajiban. Jika ada kelompok Muslim yang menolak membayar zakat, pemimpin boleh memaksa sekalipun dengan perang. Hadis di atas menjadi dasar kewajiban zakat sekaligus kebolehan memerangi kelompok yang membangkang zakat (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 23, hlm. 231).

Sekalipun para ulama sepakat boleh mengambil opsi perang, mereka berbeda pendapat mengenai status keislaman para pembangkang pada masa Abu Bakar tersebut. Mayoritas ulama berpendapat para pembangkang zakat adalah Muslim. Pendapat ini berasal dari ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan satu versi pendapat Ahmad bin Hanbal. Menurut mazhab Hanafi dan versi kedua dari Imam Ahmad bin Hanbal, para pembangkang dalam hadis di atas telah menjadi kafir-murtad (Al-Mumti’ Fi Syarh Al-Muqni’, jilid 1, hlm. 763).

Terkait dengan pendapat mayoritas ulama yang tidak mengkafirkan pembangkang zakat, apa alasan mereka? Imam Al-Syafi’i, Al-Khatthabi, dan Ibnu Qudamah menjelaskan beberapa alasan mengapa mereka tidak dikafirkan.

Pertama, hadis di atas hanya menyebutkan perbedaan pendapat antara Umar dan Abu Bakar seputar rencana perang terhadap para pembangkang zakat. Bukan soal keimanan atau keislaman mereka. Karenanya, penyerangan terhadap kelompok pembangkang zakat bukan karena mereka murtad. Namun karena mereka membelot kepada penguasa pengganti Rasulullah saw.

Kedua, hadis di atas menyebutkan keraguan Umar bin Khaththab pada pilihan Abu Bakar yang akan menyerang para pembangkang zakat. Sebab keraguan tersebut adalah karena, Umar memandang para pembangkang zakat adalah Muslim yang masih berpegang pada syahadat dan menjalankan syariat, selain zakat. Jika mereka telah murtad karena membangkang zakat, niscaya Umar tidak akan ragu sebagaimana tidak ragu pada rencana memerangi kelompok Musailamah dan Thulaihah yang mengaku nabi.

Ketiga, seandainya Umar dan Abu Bakar berbeda pendapat soal keimanan, niscaya Abu Bakar akan menjelaskan alasan kemurtadan mereka. Namun, dalam teks hadis tidak disebutkan satu pun yang menjelaskan bahwa alasan Abu Bakar adalah karena mereka murtad. Bahkan Abu Bakar dengan tegas alasan penyerangannya karena mereka menolak membayar zakat. Bukan karena kemurtadan mereka. Penolakan membayar zakat tidak selalu menyebabkan seseorang murtad. Penyerangan dalam kasus di atas adalah sebagai bentuk hukuman karena membelot (qital ahl al-baghyi wa al-khawarij).

Keempat, pengakuan para pembangkang zakat setelah ditangkap. Pembangkangan mereka didasarkan kepada alasan yang dapat diterima. Hal itu karena mereka memiliki pemahaman yang berbeda terhadap Qs. Al-Taubah: 103. Dalam ayat tersebut dikatakan, “Ambil sedekah harta mereka, kamu akan mensucikan dan membersihkan mereka, dan doakan mereka. Sungguh, doamu adalah penenang untuk mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam pengakuan mereka, saat masih hidup, Rasulullah saw. memberi imbalan atas harta yang sudah diberikan dengan penyucian dan pembersihan dosa, serta doa penenang. Setelah wafat, mereka tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan dari Rasulullah saw. Mereka berkata, “Kami membayar zakat kepada Rasulullah saw. karena doanya menjadi penenang untuk kami. Doanya Abu Bakar tidak menjadi penenang kami. Akhirnya, kami tidak menyerahkan zakat kepadanya.”

Berdasarkan pandangan mayoritas ulama di atas, tuduhan kafir pada penguasa atau kelompok yang tidak menjalankan syariat perlu dikoreksi. Dasar yang digunakan mengkafirkan adalah persoalan yang masih diperdebatkan. Perdebatan tentang kekafiran pembangkang zakat pada masa Abu Bakar menunjukkan bahwa permasalahan tersebut tergolong masalah ijtihadiyah. Bukan ketentuan baku dalam Al-Quran maupun Hadis. Abu Bakar, Umar dan para sahabat lainnya tidak menyatakan dengan tegas kemurtadan para pembangkang. Jika ada yang memahami mereka diperangi karena murtad, itu adalah pemahaman yang muncul belakangan.

Sebagai penutup, penulis akan memberi sedikit catatan. Pengkafiran punya konsekuensi berat seperti hukum bunuh jika disertai pembelotan, penghapusan hak atas warisan, pemutusan hubungan perkawinan, tidak boleh dishalati dan dimakamkan di pemakaman Muslim. Mengingat konsekuensi yang berat, pengkafiran tidak boleh dilakukan sembarangan. Harus didasarkan kepada standar yang pasti dan disepakati, dilakukan oleh lembaga yang kompeten, dan atas bukti-bukti yang meyakinkan. Ketika ada kemungkinan yang membuat orang diselamatkan dari hukuman, opsi tersebut harus diambil. Hal ini karena, Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Idra’ al-hudud bi al-syubuhati” atau “Jangan jatuhkan vonis jika ada keraguan”.

Belum lagi, mayoritas ulama yang ternyata tidak mengkafirkan para pembangkang zakat pada masa Abu Bakar. Berdasarkan pandangan mayoritas ulama, pengkafiran karena dosa sebagaimana kebiasaan kelompok kekerasan ekstrim, adalah tidak punya dasar dalam syariat. Wallahu a’lam.