Bagaimana Mohammed Hameeduddin, walikota muslim di Tanaeck, New Jersey, terpilih kembali menjadi pemimpin di kota yang penduduknya Yahudi, Kristen dan agama-agama lain. Apalagi, di tengah islamophobia yang kian marak di Amerika Serikat? Melalui WhatsApp, Romo Agung Wahyu, Penggerak Gusdurian Batu yang sekarang berkhidmat di AS, mengirim pesan sebagai berikut:
“Kota Teaneck, NJ tempat tinggal saya, dilihat dari katagori agama, mayoritas penduduknya beragama Yahudi , kemudian disusul nasrani ( “santri”maupun “abangan”). Tapi yang menarik kota ini memilih walikota yang beragama Muslim bernama Mohammed Hameedudin migran dari India. Menariknya ia dua kali terpilih menjadi walikota 2010-2014, kemudian terpilih lagi 2016- sekarang”
Teaneck, Kota kecil dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 50.000 jiwa ini mewartakan kabar bahwa demokrasi tumbuh tanpa melihat latar etnik dan agama. Kota yang mayoritas penduduknya beragama Yahudi Ortodoks dan ras kulit putih ini dengan lapang dada penuh kesadaran memilih seorang walikota beragama Islam dari keturunan India, bahkan sampai dua periode.
Selama proses kampanye sampai terpilihnya Mohammed Hameedudin tidak ada sedikitpun kampanye hitam atau kampanye negatif berbau agama atau ras. Para Rabi Yahudi ataupun Romo Katolik di Teaneck tidak menggunakan fatwa-fatwa agama untuk menggiring umat agar menolak Hameedudin. Demikian pula para pemuka muslim di Teaneck juga tidak menjadikan sandaran religius sebagai alasan memilih Hameedudin.
Peradaban politik di Teaneck telah berada pada fase sedemikian rupa yang memungkinkan tidak terjadinya perang ayat dan perang fatwa dalam politik. Hameedudin terpilih menjadi walikota bukan karena agamanya, tetapi karena kapasitas sebagai pemimpin.
Populasi Muslim di Teaneck hanya kurang dari 1%, persentase minimalis yang menempatkan muslim sebagai minoritas. Jika yang menjadi sandaran adalah agama, apalagi sampai ada fatwa dari pemuka Yahudi dan Katholik bahwa memilih pemimpin Muslim adalah haram, niscaya Mohammed Hameedudin tak akan jadi walikota.
Sekali lagi, integritas dan kapasitas Hameedudin-lah yang menjadi acuan warga Teaneck memilih walikota, bukan agamanya. Warga Teaneck sangat rasional.
Lebih dari itu, Hameedudin juga menjadi komentator sahih untuk menepis Islamophobia di Amerika Serikat. Dia menjadi juru bicara untuk menjembatani dialog antara komunitas muslim dengan Komunitas Yahudi dan Nasrani. Dan, sekaligus, juru bicara melawan stigma Islamophobia.
Hameedudin, dalam wawancara dengan sebuah jaringan televisi berujar :
“Kami Muslim Amerika, kami tetangga, kami politisi, kami dokter, kami pengacara. Anda tahu kami adalah guru. Kami bagian dari sejarah Amerika. Dan untuk memisahkan kita, secara tidak konstitusional, Anda mengatakan Kami tidak dapat mempraktekkan agama yang kami anut, dan tuntutan anti-syariah dan hal-hal seperti itu. Para Islamofobia sangat pandai menempatkan isu di luar sana. Itu adalah sesuatu yang komunitas kami benar-benar merasa terluka”
Dari penggalan komentar di atas, Hameedudin memberi penegasan bahwa Muslim Amerika adalah bagian dari sejarah Amerika. Kontribusi muslim di segala bidang menunjukkan kecintaannya pada Amerika, yang dengan kontribusi seperti itu, gerakan Islamophobia membuat muslim di Amerika terluka.
Pun, sebagai seorang muslim, Hameedudin adalah pribadi yang moderat dan demokrat. Elie Katz, walikota sebelumnya berseloroh :
“Hameedudin membuat saya menjadi Yahudi yang lebih baik. Ia menegur saya di saat seharusnya saya beribadah ke Sinagog”
Teaneck dan Hameedudin adalah teladan tentang demokrasi yang sehat dan bermartabat. Demokrasi yang tidak melihat sekat agama dan ras sebagai kutukan, tetapi sebagai rahmat.