Ali Mustafa Yaqub lahir di Kemiri, Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 2 Maret 1952 M dan meninggal pada Kamis tanggal 28 April 2016. Di Indonesia Ali Mustafa Yaqub dikenal sebagai pakar Ilmu Hadis. Selain menjadi pengasuh Pondok Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat, ia juga sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia, Guru Besar Hadis & Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Fatwa, Penasihat Syariah Halal Transactions of Omaha Amerika Serikat dan beberapa jabatan lainnya.
Adalah sudah menjadi barang yang lumrah bahwa setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan umat Islam Indonesia selalu disibukkan dengan persoalan berapa jumlah rakaat shalat tarawih yang sebenarnya dan bagaimana hukumnya. Persoalan pertama menyangkut jumlah rakaat shalat tarawih, beberapa melaksanakan shalat tarawih dengan delapan rakaat sementara yang lain 20 rakaat.
Mereka yang melaksanakan tarawih dengan delapan rakaat umumnya menggunakan hadis yang terdapat dalam kitab Shahih Ibnu Hibban riwayat Jabir bin Abdullah. Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi Saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan”. Nabi Saw. kemudian bertanya, “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab. “Orang-orang di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Quran. mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir”. Jabir kemudian berkata, “Maka hal itu diridhai Nabi Saw. karena beliau tidak berkata apa-apa”.
Sedangkan mereka yang melaksanakan shalat tarawih dengan 20 rakaat umumnya mengggunakan hadis riwayat Imam Thabrani. Dari Ibnu Abbas, katanya, “Nabi Saw. shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.
Menurut Ali Mustafa Yaqub kedua hadis tersebut merupakan hadis yang lemah. Hadis yang pertama, dinilai lemah karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah yang dinilai oleh Imam Ibnu Ma’in dan Imam Al-Nasa’I bahwa Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Sementara pada hadis yang kedua yang digunakan sebagai dasar shalat tarawih 20 rakaat sebagaimana dikatakan Ibnu hajar Al-Haitami dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah, adalah lemah sekali. Kelemahan hadis ini karena dalam sanadnya terdapat rawi bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Ustman yang dinilai sebagai seoarang pendusta.
Lanjut, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa praktek shalat tarawih baik yang dilaksanakan dalam delapan rakaat maupun 20 rakaat semuanya adalah benar apabila menggunakan hadis yang shahih, di mana Nabi Saw. tidak membatasi jumah rakaat shalat malam ramadhan atau qiyam Ramadhan, yang kemudian lazim dikenal dengan shalat tarawih. Rasulullah Saw. brsabda, “Siapa yang menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni. (Hadis riwayat Al-Bukhari).
Menurut Ali Mustafa Yaqub berdasarkan hadis tersebut Nabi Saw. tidak membatasi jumlah rakaat shalat malah Ramadhan. Baik delapan rakaat, maupun 20 rakat bila menggunakan hadis ini semuanya adalah benar. Ali Mustafa Yqub menambahkan, hanya bedanya nanti, mana yang lebih afdhal saja. Bisa jadi 20 rakaat itu lebih afdhal apabila dilakukan dengan baik, khusyu, dan lama. Demikian pula yang dilakukan dengan delapan rakaat. Bisa saja ia lebih afdhal apabila dilakukan dengan baik, khusyu, dan lama.
Persoalan lain menyangkut jumlah shalat tarawih adalah dari mana para sahabat tahu bahwa shalat tarawih 20 rakaat, padahal tidak terdapat hadis Nabi Saw. yang menjelaskan itu.
Dalam menanggapi persoalan tersebut, sebagai ahli hadis, Ali Mustafa Yaqub mengungkapkan bahwa secara umum Nabi saw. hanya melakukan shalat tarawih berjamaah pada dua atau tiga malam saja. Pada malam ketiga atau keempat Nabi saw. ditunggu-tunggu akan tetapi tidak beliau tidak keluar menuju masjid. Sejak masa itu sampai masa Abu Bakar sahalat tarawih tidak lagi dilakukan secara berjamaah. Shalat tarawih baru dilakukan secara berjamaah baru dilakukan kembali pada masa Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab sebagai Imamnya dengan jumlah shalat tarawih 20 rakaat.
Menurut Ali Mustafa Yaqub apa yang dilakukan para sahabat adalah hadis mauquf. Dengan mengutip Al-Suyuti, Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa apabila tidak berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dan pelakunya dikenal tidak menerima keterangan-keterangan dari Yahudi dan Nasrani maka hadis mauquf tersebut sama halnya dengan hadis marfu’. Ali Mustafa Yaqub kemudian menambahkan bahwa jumlah shalat tarawih tersebut bukan termasuk ke dalam masalah ijtihadiyah dan tidak terdapat sangkut paut dengan kaum Yahudi maupun Nasrani. Oleh sebab itulah, meski hadis tersebut mauquf namun statusnya sama dengan hadis marfu’.
Sebagai pamungkas, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa seyogyanya dalam ibadah shalat tarawih tidak berorientasi pada angka alias jumlah rakaat melainkan adalah lama dan bagusnya shalat itu. Menurutnya dengan mengikuti hadis yang tidak membatasi jumlah shalat tarawih maka baik delapan rakaat, 20 rakaat, atau 40 rakaat adalah baik asalkan tidak menuruti selera hawa nafsu.