Pada zaman dulu, tantangan khotib jumat (pengkhutbah sholat jumat) hanya satu: ditinggal ngantuk oleh jamaah sholat jumat. Saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, tantangan khotib untuk mendapatkan atensi yang sungguh-sungguh tulus dari jamaah bertambah yakni, selain ditinggal ngantuk, khotib ditinggal main hand-phone oleh sebagian jamaahnya.
Tantangan di atas tentu saja di luar tantangan yang tidak kasat mata, yakni jamaah tampak serius mendengarkan khotib namun sebenarnya melamun. Memikirkan pekerjaan, memikirkan cicilan, memikirkan anak istri, memikirkan menu makan siang setelah jumatan dan lain-lain.
Sementara itu, khotib dengan suara lantang berpengeras suara dengan volume tinggi asyik dengan paparannya. Lalu, jika kita simak dari sisi cara dan kontennya, banyak khotib yang cara khutbah dan konten yang disamapaikannya masuk ketegori yang gitu-gitu aja. Anda yang rajin jumatan tentu mafhum dengan yang “gitu-gitu aja”. Sekurangnya ada dua hal yang penulis ajukan untuk dapat menjadi acuan dalam melihat khutbah yang dapat dikelompokkan dalam kategori “yang gitu-gitu aja”.
Pertama, dari sisi konten atau materi yang disampaikan. Dari sisi konten biasanya tidak jauh-jauh dari hal-hal: (i) ancaman siksa kubur atau neraka di hari pembalasan; (ii) balasan berupa pahala jika melakukan ibadah dan siksa jika melanggar; (iii) mengajak jamaah untuk lebih rajin beribadah mahdhah (ibadah yang hablum minallah, yakni yang berhubungan langsung dengan Allah dalam kerangka relasi antara hamba dengan Allah; (iii) menghardik umat agama lain; (iv) Jika khotib agak mengikuti hal-hal kekinian, khotib melakukan kontekstualisasi namun justru terjebak pada kontekstualisasi yang kurang pas, misalnya menyampaikan hal-hal terkait kontestasi politik. Namun, yang disampaikan bukan politik dalam kerangka nilai-nilai yang adiluhung yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan universalitas lainnya, namun materi yang mengandung unsur dukung-mendukung kandidat.
Menjadi mafhum jika kemudian terseret ke dalam perkubuan sehingga muncullah ujaran-ujaran kebencian kepada pihak tertentu yang justru kurang Islami. Dalam konteks ini, hal ini sangat jamak kita temui di berbagai kota di banyak masjid-masjid yang berada di kota-kota.
Kedua, dari sisi cara atau teknis penyampaian. Dari sisi ini, kategori khutbah yang “gitu-gitu aja” itu tidak akan jauh dari cara-cara penyampaian yang: (i) meledak-ledak dengan suara lantang penuh agitasi, seperti orasi saat demonstrasi jalanan; (ii) jika tidak meledak-ledak, khotib biasanya mengeluarkan jurus kalimat-kalimat yang bernada “ancaman-ancaman”; (iii) pemaparannya panjang, tidak runut dan acapkali berulang-ulang; (iv) memilih kalimat dan diksi-diksi yang tidak empan-papan atau tidak sesuai dengan lokasi dan latar belakang jamaah yang biasanya sangat beragam.
Sejauh pengamatan penulis, jamaah biasanya tidak menyimak hal-hal yang kurang cocok dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang mendasar. Di tengah situasi begini, biasanya jamaah mencari penyaluran yang tidak jauh-jauh juga dari 3 hal: melamun, mengantuk dan main hand-phone. Ada diskoneksi antara khotib dan jamaah. Ketak-tersambungan yang komplek, baik dari sisi konten maupun dari sisi cara berkhutbah. Ini tantangan kita semua, khususon tantangan bagi khotib, pendakwah, guru agama dan organisasi keagamaan. Ironis memang, di zaman yang serba terkoneksi ini, justru khutbah menjadi medium yang mengakibatkan putusnya koneksi.
Penulis khawatir jika hal ini tidak mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh maka khutbah akan semakin tidak diminati oleh jamaah. Oleh sebab itu, perlu ada perubahan yang mendasar baik dari sisi konten maupun dari sisi cara atau teknik penyampaian. Arah perubahannya dapat di awali dari upaya membangun khutbah yang “gitu-gitu aja” menuju khutbah yang “gini aja“. Yakni khutbah yang mampu merekatkan kembali relasi antara khotib dengan jamaah, antara konten yang lebih baik dengan cara atau teknis yang enak nan renyah. Konten yang “gini aja” bisa dimulai dari menambah muatan khutbah yang menyerukan pentingnya ibadah ghoiru mahdhah, yakni ibadah yang tidak hanya antara hamba dengan Allah, namun antara hamba dengan hamba, hablum minannas. Lalu tidak selalu harus memaksakan mencari pembenaran dengan dalil-dalil naqliyyah namun memperkuat penggunaan dalil-dalil aqliyyah jika memang tidak terdapat landasan naqli-nya.
Untuk dapat melakukan itu, maka khotib cukup mengasah secara rajin kepekaan sosial dan individu dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang secara sunnatullah-nya memang sangat komplek dan multidimensi. Sehingga, akan ada satu kesatuan antara konten yang disampaikan dengan cara atau teknik penyampaiannya, dalam bahasa sholatnya akan muncul tauhidul wijhah (kesatuan arah pandang), tauhidul harakah (kesatuan gerak) dan tauhidul lughah (kesatuan bahasa). Ketiga kesatuan inilah yang dapat menjadi panduan kita dalam membangun maslahah, kemanfaatan yang lebih luas, tidak hanya untuk satu golongan tertentu saja.
Dari sisi cara atau teknik, perlu ada inovasi-inovasi, mungkin dengan cara pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat bantu khutbah. Misalnya menggunakan video atau power-point yang disorot di layar sehingga lebih atraktif dan menarik. Apakah secara fiqhiyyah diperbolehkkan? Silakan para ahli fiqh membahas hal-hal ini. Penulis tidak dalam kapasitasnya masuk ke dalam pembahasan ini.
Khutbah tidak hanya menjadi “milik” khotib, tetapi juga “milik” jamaah, bahkan milik publik yang turut mendengarkan khutbah melalui pengeras suara yang sangat nyaring itu. Jika dari sisi konten maupun cara tidak ada perubahan dari yang “gini-gini aja” menuju yang “gini aja”, maka kita akan terus menyaksikan khutbah yang hanya menggugurkan syarat-rukun sholat jumat.
Hemat penulis, ini satu hal yang penting dan mendesak untuk kita benahin segera dibanding kita semua sibuk dengan kabar pulangnya atau ketidak-pulangannya seseorang yang oleh sebagian kecil orang dianggap sebagai imam besar. Sekian. Wallahu a’lam!
Jakarta, Jumat, 23 Februari 2018
Ah Maftuchan, jamaah sholat jumat (aktif sejak kanak-kanak) dan santri mbeling yang pernah mampir mondok di Pondok Pesantren Al-Qoumaniyyah, Bareng, Jekulo, Kudus.