Rasulullah SAW mendapatkan banyak julukan tercela dan ujaran kebencian dari kaum Quraisy saat berdakwah. Seharusnya kita belajar banyak dari Nabi ketika mendapatkan situasi yang sama.
Manusia ialah makhluk ciptaan Allah yang tak luput dari kesalahan. Tak ada manusia yang dilahirkan sempurna. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan yang melekat pada dirinya. Kekurangan-kekurangan itulah yang menimbulkan sifat-sifat dan karakter seperti halnya perasaan berburuk sangka, dengki, iri, mencaci, menghina, mencela, bahkan menghujat antar sesama manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak bisa lepas dari berbagai macam sifat dan karakter manusia. Sebaik apapun kita terhadap sesama manusia belum tentu dipandang baik oleh manusia lainnya. Sebagai manusia kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Mengapa? Karena setiap orang memiliki perspektif dan cara pandang yang berbeda. Dari perspektif itulah yang mendasari pemikiran setiap individu.
Memasuki era digital, banyak sekali ditemukan permusuhan di mana-mana. Ujaran kebencian dengan mudahnya kita dapatkan karena bersleweran di media sosial. Siapapun dapat memposting dan melontarkan pendapat-pendapat yang mereka pikirkan. Permusuhan ini timbul karena seseorang terlalu disibukkan mengamati kehidupan orang lain dibandingkan kehidupannya sendiri. Dari situlah timbul perasaan iri dan dengki atas pencapaian-pencapaian yang orang lain dapatkan, kemudian berkembang menjadi perasaan tidak suka lalu akhirnya berakhir dengan mencaci, menghina demi merendahkan pihak yang lain agar tidak lebih tinggi darinya. Lantas bagaimana kita menyikapi sikap seseorang yang seperti itu?
Nabi Muhammad adalah sebaik-baiknya suri tauladan yang baik dan orang yang paling mulia akhlaknya. Hingga Allah memujinya dalam al-Qur’an sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Qalam: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Belajar dari tauladan Nabi Muhammad dalam menyikapi kaum Quraisy yang senang mengejek dan menghina beliau dengan julukan-julukan yang tak pantas seperti Sāḥir, Kāhin, Syā’ir, Majnun, Kādzib, dan lain sebagainya.
Ketika kaum Quraisy merasa muak dengan semua yang dilakukan Nabi Muhammad, mereka berusaha keras untuk menghalang-halangi dakwah Rasululullah yang mengajak pada penyembahan Allah semata. Ketika itu, hanya beberapa hari menjelang tibanya musim haji, mereka sangat fokus pada para jema’ah haji. Kemudian orang-orang Quraisy berkumpul di kediaman Al-Walid ibn Al-Mughirah, seorang yang terhormat dan yang dituakan.
Dalam pertemuan itu, Al-Walid mengajak kaum Quraisy untuk menyatukan opini mereka dan melupakan perselisihan agar mereka tidak saling mendustakan apa yang akan mereka sebarkan. Karena ketika musim haji telah tiba, delegasi-delegasi bangsa Arab akan datang dan mendengarkan permasalahan kaum Quraisy.
“Katakanlah kepada kami apa yang harus kami katakan,” timpal salah satu dari kaum Quraisy. “Tidak, kalian saja yang mengatakan. Aku akan mendengarkannya.” ujar Al-Walid.
Mereka mengatakan, “Kita katakan saja bahwa dia (Nabi Muhammad) adalah dukun.” “Dia bukanlah seorang dukun. Kita telah mengenal banyak dukun, tetapi Muhammad tidak pernah berkomat-kamit dan bersajak layaknya dukun,” tandas Al-Walid.
“Mereka berkata lagi, ”Bagaimana jika kita katakan bahwa Muhammad itu gila?”. Al-Walid menyanggah, “Dia tidaklah gila. Kita telah sama-sama melihat dan mengetahui orang gila. Pernahkah kalian dicekik digoda, dan dibisikinya?”
Mereka berkata lagi tentang julukan tercela untuk nabi, “Bagaimana jika kita nyatakan bahwa Muhammad itu seorang penyihir?”. Al-Walid menjawab, “Dia bukanlah seorang penyihir, Kita telah mengetahui seluruh bentuk sya’ir, baik yang rajaz, hajaz, qarīdh, maqbūdhah, maupun mabsūthah. Apa yang disampaikannya itu bukan termasuk sya’ir.”
Mereka mengusulkan satu julukan tercela untuk nabi, “Kita katakan saja bahwa Muhammad adalah seorang penyihir. Al-Walid membantah, “Dia bukanlah seorang penyihir. Kita sudah melihat para penyihir dan mengetahui sihir mereka. Dia tidak berkomat-kamit dan tidak membuat buhul (tali) layaknya penyihir.”
Mereka menjawab, “Wallahi! Perkataannya benar-benar manis, pangkalnya benar-benar indah dan cabangnya benar-benar matang. Tidaklah kalian mengucapkan sedikit saja dari perkataan tersebut, melainkan dia mengetahui bahwa itu bukanlah hal yang batil. Namun sebutan yang paling mirip untuk dia, hendaklah kalian mengatakannya sebagai penyihir. Dia datang membawa suatu perkataan menyerupai sihir yang bisa memisahkan antara seseorang dengan bapaknya, seseorang dengan saudaranya, seseorang dengan istrinya, seseorang dengan kerabat dekatnya, sehingga kalian terpecah belah karenanya.”
Setelah semua orang yang hadir dalam pertemuan menyepakati keputusan tersebut, mereka pun membubarkan diri. Ketika musim haji tiba, orang-orang Quraisy duduk-duduk di pinggir jalan yang dilalui manusia yang akan datang ke Mekkah. Mereka menyebarkan peringatan dan penjelasan mengenai Nabi Muhammad kepada setiap orang-orang yang melewati jalan tersebut. Dengan dimikian, orang-orang mendengar cerita tentang Nabi Muhammad sebelum mereka melihat atau mendengarkan sesuatu langsung dari beliau sendiri.
Saat hari-hari pelaksanaan haji tiba. Rasulullah mengajak para jama’ah haji untuk memeluk Islam, seraya berkata, “Wahai sekalian manusia! Katakanlah, Tiada Tuhan selain Allah, maka kalian akan beruntung.” Abu lahab terus membuntuti Rasulullah untuk mendustakan dan menyakitinya. Sehingga setelah musim haji berakhir, bangsa Arab mengetahui perkara tentang Rasulullah. Tetapi meskipun begitu, Nabi Muhammad sama sekali tidak menyerah dan tidak menghentikan dakwahnya untuk mengajak menyembah Allah semata.
Julukan tercela, penghinaan dan olok-olok tersebut dimaksudkan untuk melecehkan Rasulullah dan kaum muslimin, serta menggembosi kekuatan mental mereka. Kaum Quraisy menuduh Rasullullah sebagai seorang penyihir, penyair gila, dukun, penyihir dusta, pembohong yang mengada-ada, serta tuduhan-tuduhan lainnya. Ketika Rasulullah datang atau pergi ke suatu tempat, mereka memandangi beliau dengan tatapan dendam dan benci. Orang-orang Quraisy tidak pernah berhenti menghina, mengolok-olok, mencela, dan menertawakan, sehingga membekas dalam jiwa Rasulullah. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,
{وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُون} [الحجر: 97]
“Dan sungguh kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan”.
Kemudian Allah pun meneguhkan hati beliau dan menjelaskan kesempitan itu akan segera sirna dalam firmannya,
{فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ (98) وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (99)} [الحجر: 98، 99]
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu”.
Bahkan sebelum itu Allah telah menghibur hati beliau lewat firmannya,
{إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ (95) الَّذِينَ يَجْعَلُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ (96) } [الحجر: 95 – 97]
“Sesungguhnya kami memelihara kamu (Muhammad) dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu). (Yaitu) orang-orang yang menganggap adanya tuhan selain Allah. Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat-akibatnya)”.
Tidak hanya itu, Allah menegaskan bahwa perbuatan mereka itu akan berbalik menjadi bencana terhadap diri mereka sendiri. Allah menyatakan:
{وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (10)} [الأنعام: 10]
“Dan sungguh telah diperolok-olok beberapa Rasul sebelum kamu (Muhammad), maka turunlah kepada orang-orang yang memperolok-olok di antara mereka balasan (azab) atas olok-olokan mereka”.
Memiliki hati yang lapang untuk menerima cacian dan hujatan ialah anugerah yang luar biasa dari Allah untuk umatnya begitupun dengan kesabaran. Sabar akan terasa sulit jika tidak diimbangi dengan keikhlasan. Sebagai seorang muslim yang baik, seseorang harus mengetahui bagaimana cara menghadapi julukan tercela, cacian dan hujatan yang dilontarkan orang lain agar selamat di akhirat kelak.
Meneladani cara Nabi Muhammad menghadapi ejekan-ejekan tercela tersebut merupakan pedoman hidup yang perlu kita ikuti. Semoga dengan meneladani sikap Nabi Muhammad, manusia semakin dimuliakan akhlaknya dan selamat di dunia dan di akhirat.
Wallahu a’lam bi shawwab.
Baca juga tulisan lain tentang Sirah Nabawiyah