Gregoria Mariska Tanjung atau Jorji sampai saat ini jadi satu-satunya atlet Indonesia yang raih medali di Olimpiade Paris 2024. Tidak hanya itu saja, ia jadi atlet (baca: perempuan) yang kalahkan semua atlet (baca: laki-laki) di tim Olimpiade kita dan sampai semifinal dan renggut medali pertama.
Padahal, jauh sebelum olimpiade, mata publik ditujukan kepada atlet laki-laki saja. Jorji praktis tidak diungggulkan. Pertanyaannya, kenapa tidak ada yang memerhatikan?
Dalam rikus patrialkal, perempuan jadi manusia nomor dua dan perhatian dilamatkan ke laki-laki. Urusan olahraga juga sama saja. Bahkan tak jarang, perempuan hanya dilihat dari parasnya saja. Termasuk jika jadi atlet.
Misalnya, narasi yang menyebalkan gini… Cantiknya Atlet… Atlet A bertubuh.. dan pelbagai narasi menjengkelkan tersebut, bersisian dengan atlet laki-laki yang diunggulkan karen prestasi.
Perempuan hanyalah pelengkap atas atlet laki-laki yang berjung dan narasi itu menyebalkan.
Pada kasus Badminton yang jadi unggulan Indonesia di Olimpiade, perhatian hanya tertuju pada laki-laki, mulai dari Jonathan Jojo Christie sampai Fajar/Alfian.
Padahal, jika mengacu pada Olimpiade Beijing 4 tahun lalu, tak ada satupun laki-laki Indonesia yang raih emas dan semuanya digendong oleh duo perempuan, yaitu Greyia Poli dan Apriyani Rahayu. Keduanya pun sama, diragukan di awal.
Saya merasa, ini bukan sekadar prestasi atlet putri kita yang cenderung menurun terus usai era Susi Susanti tahub90an, tapi lebih dari itu, ada struktur sosial yang membuat kita dibuat lebih agungkan laki-laki alih-alih membuatnya setara dengan perempuan.
Dewi Candraningrum, akademisi dan pengkaji Ekofeminisme misalnya berpendapat, salah satu masalah utama ketimpangan soal laki-laki perempuan ada di tempurung kepala. Kepalanya siapa? Ya, laki-laki dan subtilnya, kita semua seolah menyetujui secara tidak sadar.
Menyetujui bahwa laki-laki di atas perempuan dalam urusan apa pun, tak terkecuali urusan prestasi. Dan olahraga yang identik dengan fisik merupakan milik laki-laki.
Prestasi Jorji ini sekali lagi jadi bukti, perempuan bahkan bisa di atas laki-laki dan sudah seharusnya diperhatikan lebih, oleh kita, sistem maupun negara.
Badminton–seperti halnya sepakbola, kerap hanya dianggap milik laki-laki dan Jorji membuktikan sebaliknya. Jorji bukanlah kita yang gemar menomorduakan perempuan.