Jokowi, Prabowo dan Islamisme Politik

Jokowi, Prabowo dan Islamisme Politik

Jokowi, Prabowo dan Islamisme Politik

Pakdhe memang asli tukang kayu yang pinter catur. Pengusaha yang praktis dan ngirit. Mereka kaum nyinyir tak berkesudahan pusing tujuh keliling. Mau nyerang dari mana? Barikade sudah rapat.

Para pengkritik kebijakan harus hati-hati, kecuali mereka sudah mau nekat berani distempel haram karena anti Ulama dan musuh Islam.

Kaum islamisme politik terdiam. Mau gimana lagi? Backdrop yang kemarin mereka jual, sudah dibeli Jokowi.

Proposal keamanan harus mlipir atau entah mau memutar untuk berteduh ke sudut mana. Mau teriak-teriak demonstrasi di jalanan? Lapangan? Atau Masjid? atau ada ancaman disintegrasi bangsa? Ancaman dari Hongkong? Mungkin akan ada hal lain yang jadi korban, tapi tidak akan laku semahal yang sudah-sudah.

Kaum Sarungan sudah menang berturut-turut. Reputasi duniawinya sudah selevel dengan kaum priyayi, intelek, saudagar dan para bandar. Bahkan mungkin skornya sudah lebih unggul.

Sementara ummat Islam yang ngotani dan urban juga sudah membuktikan, mereka bisa bertahan hampir satu abad dengan cara yang kreatif, cara yang tidak bergumul satu kerumunan dengan Islam yang ndesani tadi.

Dari semua itu, peta belum berubah sama sekali. Sekat antara Islam sarungan dan Islam berdasi tetap terjaga, kehormatan masing-masing tetap harus diakui.

Dulu, saat NU pecah dari Masyumi induk semangnya tetap dihormati, pun demikian hingga sekarang. Kawan-kawan PAN dengan induk Muhammadiyahnya adalah orang-orang Islam yang secara ekonomi cenderung mapan, baik yang tinggal di desa maupun di kota.

Sedangkan para kader dan simpatisan PKS adalah kaum muslim urban dan berpendidikan relatif tinggi. Dibandingkan dengan warga NU yang mayoritas tinggal di pedesaan dan berekonomi menengah ke bawah (mustadh’afin), keduanya jelas merasa bermartabat lebih tinggi. Keduanya jelas gengsi bila mengekor NU, bahkan untuk urusan politik. Dan mereka telah mampu membuktikannya selama ini.

Zaman Soeharto, orang Muhammadiyah dekat dengan pemerintah sementara orang NU nyaris menjadi seperti warga kelas dua. Kini keadaan berbalik, NU sejak Gus Dur jadi presiden, hampir selalu dekat dengan pemerintah. Dan Muhammadiyyah lalu PKS dan PAN memilih jalan oposisi. Begitulah memang kehormatan yang harus dijaga. Toh PAN dan PKS mampu membuktikan diri tetap eksis sebagai oposisi, seperti warga NI yang juga tetap eksis di bawah tekanan Orde Baru di masa lalu.

Zaman SBY menjadikan kedua sisi Islam ini, modern dan tradisional cukup terombang-ambing. Latar belakang intelijennya menempatkan harapan pada kaum tradisional, sementara di saat yang sama juga memberikan angin sesegar-segarnya pada islamisme politik. Akibatnya tak cukup ruang bagi masing-masing pihak untuk bergerak dan bergaya bernas. Masing masing nyaris terkekang meski terasa longgar. Untungnya kaum Tradisional muslim cepat tersadar dan segera ambil posisi yang lebih tepat, lebih nyaman dan lebih leluasa. Kini Muslim modern pun turut melepaskan diri darinya.

So, satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah mantan, tetap harus ada yang menjenguknya, menengoknya dan menghiburnya. Mungkin dengan sesekali membacakan puisi kenangannya, menyanyikan lagu-lagu kesukaannya. Bagaimana pun juga dunia itu kejam, kita takkan tega mantan dirundung kemalangan. #SAVEMANTAN