Tahun 2020 belum memasuki separuhnya namun ia telah memunculkan kecemasan bagi penduduk di seluruh dunia dengan merebaknya COVID-19. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pun terlah mengingatkan jauh-jauh hari. Di Indonesia virus ini terdeteksi pertama kali pada 2 maret dengan diumumkannya dua orang positif asal depok. Hingga hari ini, data-data itu terus bergerak dan belum tahu entah kapan akan menurun. Sayangnya pemerintah memberikan tanggapan cukup mengecewakan, berkelakar tidak pada tempatnya.
Misalnya pernyataan Wakil Presiden, Maruf Amin yang menyebut bahwa doa qunut sebagai tameng menghadapi COVID-19. Menteri Kesehatan, Terawan, menyebut bahwa doa dan agamalah yang menghalau virus ini. Ia juga menyebut bahwa jamu sebagai penangkal paling mujarab dan masker hanya untuk orang sakit saja. Kemudian Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, tempo hari lalu menyebut bahwa Covid-19 akan hilang secepatnya karena tidak akan kuat dengan cuaca Indonesia yang lembab dan panas. Padahal kelakar semacam Indonesia akan baik-baik saja karena rempah dan doa semata hanya akan meneguhkan bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani pandemi ini.
Tidak hanya kelakar yang menyedihkan namun sikap pemerintah yang tidak jujur dalam menyajikan data awal penyebaran dan data pasien membuat saya bergidik. Pasalnya Menurut tim pakar Fakultas Kesehatan UI menilai bahwa virus ini telah masuk ke Indonesia sejak minggu ke-3 januari 2019, dua bulan lebih awal sejak diumumkannya pasien positif pada maret. Hal itu membuat saya bertanya-tanya apa sebenarnya maksud beragam pernyataan di atas? jika alasannya untuk meredam keriuhan masyarakat, bukankah itu bertentangan dengan Undang-Undang keterbukaan Informasi Publik yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi demi penyelenggaran negara yang terbuka.
Dalam situsasi yang tidak kondusif Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan atauran penanganan pandemi melalui Surat Telegram (ST) berseri ST/1098/IV/HUK.7.1/2020. Surat tersebut akan menindak siapa saja yang menghina presiden dan pejabat pemerintah pada saat wabah ini. Aturan tersebut dinilai rawan untuk disalahgunakan karena ia tidak memiliki indikator yang objektif dan terukur, sehingga akan samar dengan upaya sesorang yang hendak mengkritik. Kebebasan berpendapat masyarakat akan dibatasi untuk menutupi kerja pemerintah yang belum maksimal.
Padahal kritik-kritik yang bermunculan di kalangan masyarakat disebabakan oleh pernyataan yang tak berdasar dalam berbicara dan bertindak. Membatasi suara rakyat hanya akan menyulitkan pemerintah untuk mengatasi virus ini. Dalam Islam mengkritik terhadap ketidakadilan adalah kewajiban bagi semua muslim. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al-Nisa’ ayat 135
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ وَإِن تَلۡوُۥٓاْ أَوۡ تُعۡرِضُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Pemahaman yang terkandung dalam ayat ini bahwa semua orang wajib untuk menegakan keadilan dan berkata jujur di setiap situasi dan kondisi. Pemerintahan Joko Widodo perlu berlaku jujur dalam pengelolahan dan penyajian data COVID-19 agar masyarakat dapat memahami situasi secara objektif dan langkah apa yang seharusnya mereka ambil dalam pencegahan diri. Sehingga masyarakat tidak akan menyepelakan saran-saran dari pemerintah misalnya menghindari mudik, tetap di rumah aja dan jaga jarak.
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini menurut saya masih kurang cermat dan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan di tengah-tengah masyarakat. Karena pertama, Sebagaimana dilaporan CNN Indonesia, masyarakat tengah resah karena aturan pemerintah yang plin plan salah satunya tentang mudik. Kedua, indonesia menjadi negara dengan rasio pengujian paling sedikir hanya berkisar 161 tes per satu juta penduduk. Sedangkan rasio kematian terhadap kasus sebesar 9,13% dengan 469 kematian dari 5.136 kasus, jauh di atas CFR global yang berkisar 6,34% dengan 117.217 kematian dari 1.848.439 kasus.
Sudah saatnya pemerintah bertindak lebih serius dalam menghadapi pandemi sebesar COVID-19. Sudahi bermain bahasa politik, sudahi memuaskan ego sendiri, sebelum masayarakat satu demi satu merenggang nyawa.